Selasa, 01 Juli 2008

DIAM TIDAK SELAMANYA EMAS

Saya dan suami seringkali melakukan perjalanan ke luar daerah di Indonesia. Pada tahun 2007 lalu, kami berkesempatan bepergian ke daerah Palu, Sulawesi Tengah. Perjalanan dari Jakarta ke Palu, kami lewati dengan satu kali transit di Balikpapan karena harus ganti pesawat. (Jakarta-Balikpapan dengan Mandala, Balikpapan-Palu dengan Batavia).

Yang menarik yang akan saya ceritakan disini bukan cerita perjalanan maupun wisatanya (karena telah ditulis suami di http://trans-ports.blogspot.com tentang wisata kota) tetapi persinggungan kami dengan beberapa orang ketika di bandara Sepinggan, Balikpapan maupun di kota Palu.

Ketika transit di Balikpapan, kami menunggu cukup lama karena pesawat yang digunakan berbeda. Pada saat kami antri cek-in di counter Batavia, ada rombongan dari suatu instansi lengkap dengan seragam penanda mereka dari instansi tertentu (tidak perlu saya cantumkan karena kejadiannya sangat memalukan). Mereka berombongan banyak sekali dan seperti biasa karena berombongan (jumlahnya banyak), mereka agak sedikit “berulah”. Hal ini yang dimaksud dengan psikologi massa, diffusion of responsibility etc etc yang orang psikologi pasti tahu ini.

Mereka datang tidak atas nama perorangan karena kalau ada masalah, mereka “tercover” dengan identitas kelompok, yang diperkuat dengan seragam yang mereka pakai (jadi membulatkan tekad saya untuk meneliti soal seragam ini). Dengan arogannya, mereka meminta petugas cek-in (waktu itu petugasnya seorang perempuan, masih muda dan hanya 1 orang) untuk mendahulukan rombongan mereka dibandingkan penumpang yang lain sementara bawaan mereka bejibun banyaknya dan tidak terkoordinir.

Anehnya, sudah rombongan begitu, masing-masing anggota kelompok saling tidak percaya satu sama lain terutama mengenai bagasi mereka. Sudah minta didahulukan tapi tidak sekaligus sehingga mbaknya agak kesulitan dan meminta mereka untuk ikutan antri kalau tidak bisa sekaligus. Rombongan tersebut sepertinya baru saja studi banding ke luar negeri (kalau tidak salah dari Singapura) dan kemungkinan untuk pertama kali karena melihat dari obrolan yang mereka perbincangkan sehingga mereka mungkin merasa “statusnya agak naik” dibandingkan orang lain.

Kasihan sekali mbak tersebut disudutkan oleh salah satu orang tersebut (entah pimpinan rombongan atau tidak, soalnya kalau pimpinan rombongan kok tidak dipercaya anggota yang lain) yang masih terus memaksa bahkan menyalahkan petugas cek-in. Akhirnya, karena sudah tidak tahan melihat kelakuan mereka, suami mulai membela mbak tersebut yang memang telah melakukan pekerjaannya dengan cepat tetapi direcoki oleh rombongan tersebut. Karena kaget, mungkin tidak mengira akan ditegur orang lain dan karena memang posisinya salah, orang tersebut akhirnya mau menepi dan tidak ribut lagi.

Banyak penumpang lain yang resah dan jengkel pada mereka tetapi sepertinya tidak mau ribut berurusan dengan mereka kalau meng-complain. Tetapi masalahnya, terkadang saya melihat manusia, mungkin tidak hanya di Indonesia saja, kalau tidak ditegur sama sekali tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut salah atau bahkan malah merugikan orang lain. Ketika orang diam untuk mengalah atau menghindari keributan, sepintas hal tersebut no big deal, tetapi untuk orang lain yang melakukan hal tersebut merasa bahwa tindakannya tidak merugikan orang lain karena melihat tidak adanya reaksi dari yang bersangkutan. Dan untuk kasus ini, bayangkan berapa orang yang akan terlambat cek-in hanya gara-gara ulah rombongan tersebut?

Melihat kasus lain yang mungkin dapat dijelaskan adalah soal korupsi yang sulit diberantas di republik ini. Amien Rais pernah menyatakan adanya penyakit sosial yang kronis didalam masyarakat yaitu “korupsi berjemaah”. Yang korupsi lebih banyak daripada yang tidak korupsi. Menurut teori soal diffusion of responsibilities akan lebih terlihat dengan tidak adanya pihak yang benar-benar merasa bertanggungjawab karena adanya difusi itu. Semuanya melakukan korupsi tersebut. Karena jumlahnya lebih banyak, maka mereka menilai yang tidak korupsi itu yang bodoh, salah karena tidak mengikuti yang mayoritas sementara yang tidak korupsi untuk mempermasalahkan..ah.. buang-buang waktu dan tenaga.. belum tentu juga selamat jadi yang penting saya tidak korupsi sehingga banyak pihak yang tahupun diam, tidak mau ada masalah, tapi bagi sebagian orang yang nuraninya jernih selalu dibayangi rasa bersalah. Benarkah sikap diam itu benar? Benarkah sikap diam itu menyelesaikan masalah? So, ternyata untuk beberapa kasus “Diam itu tidak selamanya menjadi emas”.

Tidak ada komentar: