Rabu, 10 Desember 2008

TEAR WINDOW

Ada suatu teori yang bernama “Tear Window”, jika retakan yang kecil itu tidak segera dibenahi maka ia akan berpotensi menjadi besar dan menyulitkan. Saya sangat heran dengan sikap orang-orang saat ini, sudah bermaksud baik kadang masih juga dicemooh bahkan “dibantai”, tetapi mereka yang jelas-jelas berkedok hal yang baik tetapi dibelakangnya tersembunyi kejahatan atau hal yang buruk malah diagung-agungkan seperti pahlawan. What’s wrong with our society? Apa sudah tidak tahu lagi membedakan mana yang benar dan salah? Sudah tidak bisa lagi mana yang hak dan bukan haknya?

Contoh yang sangat jelas adalah soal merokok dan buang sampah. Seingat saya waktu masih kecil, pada saat itu orang yang me rokok itu setelah selesai selalu memadamkan apinya, biasanya dengan menginjang puntung rokok yang masih menyala. Tetapi sekarang? Coba aja lihat, mereka dengan seenaknya membuang puntung rokok yang menyala itu di jalan. Kalau waktu itu ada tumpahan minyak bagaimana? Makanya tidak heran sekarang banyak peristiwa kebakaran yang parah, mungkin alasannya juga sepele. Korbannya tidak hanya materi saja tetapi juga nyawa. Karena hal sepele menyebabkan masalah yang besar.

Soal buang sampah. Orang dengan ringannya membuang sampah di sembarang tempat selain di rumahnya. Padahal katanya di negara ini, banyak orang yang beragama, banyak yang berduyun-duyun haji tapi tetap saja untuk kelakuan satu itu, dia tidak mengingat bahwa “Kebersihan itu adalah sebagian dari Iman”. Aneh kan? Padahal sampah juga dapat membuat malapetaka, dari mulai banjir hingga penyakit.

Ketika orang melihat tumpukan sampah tidak pada tempatnya, kok ya dengan entengnya menaburkan sampah baru lagi ke tempat itu. Mereka berpikir, wong sudah banyak sampah itu berarti tidak salah dong saya membuang ke sana. Padahal dia tidak memperhitungkan bahwa sampah yang ditambah darinya itu semakin membuka peluang orang lain untuk berpikiran yang sama seperti dirinya. Jadi semakin menggununglah tempat itu dengan sampah-sampah dari orang yang tidak merasa bersalah. Jika ada tempat yang bersih dari sampah, orang akan segan membuang sampah sembarangan di tempat tersebut. Ketika orang masih saja cuek, disinilah disiplin berperan, ketika ada sanksi diterapkan tanpa pandang bulu dan tidak ada bargaining maka orang akan berpikir ratusan kali untuk melanggarnya.

Begitu juga perilaku orang bersepeda motor yang sekarang ini seperti tidak peduli dengan nyawanya, mungkin kalo ada wajib militer, mereka bisa masuk pasukan berani mati. Salip kiri, salip kanan, kadang keluar dari gang, tidak pernah tengok kiri-kanan dan tidak pernah mengurangi kecepatan. Kalau kecelakaan karena hukumnya selalu memnangkan sepeda motor daripada mobil, mareka dengan enaknya menyalahkan orang lain. Begitu juga ketika malam tiba, banyak dari mereka tidak memakai lampu motor, sehingga ketika ada orang tua yang sudah agak rabun matanya, bisa-bisa gelagapan.

Saya bahkan sempat dengan tegas menegur seorang co-pilot (inilah contoh underestimate orang, dipikir semua orang tidak tahu bdanya pilot dengan co-pilot). Dia di dalam bandara menuju keluar (didalam ruangan, dekat tempat pengambilan bagasi), merokok dan terang-terangan. Dia pikir mungkin memperkirakan tidak ada yang berani dengan mereka—karena mereka pakai seragam pilot. Terus seragam pilot itu memiliki persepsi yang “wah”—menunjukkan strata yang tinggi dibanding yang lain. Tapi itu nggak berlaku buat saya dan suami. Orang itu terkadang memang harus ditegur supaya dapat berpikir dengan jelas. Tentu saja cara menegurnyapun harus elegan supaya orang tersebut tidak tersinggung.

Ketika papan “no smoking” dilewati, dia digamit suami dan dibilangin secara baik-baik untuk mematikan. Tapi dia hanya “nyengir monyet”. Tahu kan maksudnya? Tidak mengira ada yang menegurnya seperti anak kecil yang ketahuan melakukan apa yang dilarang orang tuanya, tapi di sisi lain juga gengsi (karena kebetulan dia berjalan bareng dengan yuniornya—tahu dari mana saya? Iya ya lah..yang satu tidak pake tanda “bar”, yang merokok itu “bar”nya 2). Dan desertasi saya soal ini. Saya sering diadu argumen oleh dosen saya soal ini. Saya bilang sudah berkali-kali ketemu kasus ini. Orang berpikir, alah perkara sepele..tapi anda tahu betapa banyaknya malapetaka yang muncul dari hal-hal yang sepele ini?

Terus akhirnya saya yang menegur lumayan keras, “Jangan begitu, yang fair dong…yang lainnya tidak boleh merokok, kok situ seenaknya sendiri…masih jadi co-pil aja sudah begitu, gimana kalo sudah jadi kapten?”. Iya kan…coba bayangin, pendidikan pilot itu termasuk yang ketat karena sama sekali tidak mentolerir adanya kesalahan. Hampir seperti militer. Mengapa? Ya karena pekerjaannya menyangkut keselamatan banyak orang. Orang-orang yang membayar tiket mahal-mahal untuk menjadi penumpang pesawat. Jadi ya jangan seenaknya gitu dong…bisa dibayangkan kan..di darat yang ada banyak orang aja seperti itu, bagaimana kalo di kokpit, yang hanya kru pesawat dan Tuhan yang tahu…

Dan kadang kru pesawat yang lain seperti pramugari tidak berani menegur. Lain dengan pramugari di maskapai nasional Myanmar. Anda pikir di negeri yang terbelenggu oleh kediktatoran pemimpin negaranya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang takut-takut, mental terjajah? Belum tentu, ternyata mereka berani menegur pilot yang ketahuan merokok. Bahkan ketika pilotnya cuek, dia menulis nota keberatan ke maskapai yang bersangkutan. Di Indonesia yang katanya negara demokrasi, masih sering takut-takut dan itu lho…gemesnya mental terjajahnya kok ya ngga’ hilang-hilang.

Yang temannya karena mungkin pangkatnya lebih rendah, dia tahu seniornya salah tapi nggak berani bicara dan berbuat apa-apa. Ini juga yang menjadi tesis saya di S3. Semuanya terbukti kan? Padahal kan harusnya tidak seperti itu dan semestinya dengan seragam itu, mereka lebih hati-hati. Sayangnya karena tidak tertera nama maskapainya, jadi agak sulit mengkomplain ke maskapai yang bersangkutan.

Saya sering gregetan kalo di pesawat, ada aja yang masih keganjenan sms/pake hp apalagi itu sudah mau take off. Ngapain sih mereka tidak sabar barang satu atau 2 jam untuk tidak pakai hp. Kalaupun perjalanan panjang toh ya pasti ada waktu pada saat transit. Kadang orang itu hanya sok-sok’an saja. Ada juga yang iseng pengen ditegur pramugarinya..Ada lho, sudah jelas-jelas pengumuman dari pramugari untuk mematikan hp itu barusan terdengar eh..dia malah mulai buka hp dan menelpon. ‘Gatal’ nggak sih, orang lihat juga jijay…

Soal hp itu memang ada perdebatan apa benar-benar mengganggu atau membahayakan penerbangan. Tapi kalau saya sih simple aja memandangnya, apa ruginya sih kita mematikan hp? Kalau memang itu untuk keselamatan bersama. Saya pribadi sih tidak mau celaka gara-gara orang-orang seperti itu. Keluarga saya masih menunggu di rumah. Kalau memang mau celaka ya celaka aja sendiri, nggak usah ngajak-ngajak orang lain. Kalau pengen yang bebas pake hp sepanjang waktu tanpa gangguan ya naik kereta api saja sana atau naik mobil atau kapal. Nggak usah naik pesawat. Jadi bisa dibayangkan selain dari kejadian di atas, kita terkadang juga ‘dealing’ dengan penumpang-penumpang ‘narsis’ ini.

Apakah karena maskapainya yang LCC (Low Cost Carrier) maka penumpangnya juga tidak terseleksi? Tidak tentu juga, kadang-kadang di maskapai yang katanya “berkelas” banyak juga yang seperti itu. Jadi ya tidak menjamin. Kan disitu banyak juga orang yang bertugas dinas dibayari kantor sehingga kadang-kadang mereka bisa seenaknya sendiri.

Saya sering mendengar keluhan dari pegawai-pegawai maskapai apalagi kalau penumpangnya ‘merasa’ wakil rakyat (kenapa saya kasih kata ‘merasa’—ya kalau dia atau mereka benar-benar wakil rakyat, mereka justru tidak seenaknya sendiri, bahkan dengan sewenang-wenang menyuruh rakyat lain menunggu keterlambatan mereka). Iya kan? Sudah begitu, tahu kan kalau sudah merasa terlambat, ya mempercepat langkah. Jangan santai-santai bahkan lenggang-lenggang kangkung malah serasa kaya’ raja dan ratu sehari. Keterlaluan kan? Siapa sih ‘rakyat’ yang memilih mereka sebagai wakilnya?

Akhirnya saya yang mempelajari ilmu tentang manusia sampai sejauh ini cuma bisa bilang, “Kita tidak pernah tahu akan manusia…”

IF ONLY I KNEW

Ketika kami akan ke Johor lewat darat, banyak yang bilang di sana agak danger. Hal itu disebabkan posisi Johor yang dekat dengan Singapura dan tempat bertemunya para pekerja kasar asing. Yang namanya perbatasan, tempat bertemunya orang-orang dari luar yang belum tentu baik semua dan kebanyakan mereka yang mungkin tidak tertampung di Singapura, tentunya menimbulkan persepsi negatif tersendiri. Tetapi terkadang memang tergantung perspektif yang bersangkutan. Seperti kami, beberapa tempat di Indonesia yang menurut pandangan sementara orang negatif tetapi ketika kita sendiri jalani, juga tidak sepenuhnya benar.

Ketika kami ke Palu dan Ambon bahkan papa saya sendiri bilang, “Ngapain ke sana, tempatnya bahaya, rusuh..”. Menurut kami, ya.. sebelumnya harus cari informasi tentang tempat itu di internet dan media massa. Apalagi waktu itu Trans TV seringkali menayangkan liputan tentang tempat-tempat menarik di Indonesia, tidak hanya tempat wisata alamnya saja tetapi juga wisata kota.

Ketika browsing internetpun ternyata banyak orang yang telah melakukan perjalanan seperti kami, mungkin untuk perjalanan dinas, pekerjaan atau mengunjungi famili. Tetapi seperti kami yang melakukan perjalanan untuk mengenali negara kami sendiri secara lebih intim? Mungkin ada ya.. but not much..Mereka mungkin prefer pergi ke luar negeri dengan segala tujuannya..rasanya mungkin tidak terlalu cool menjelajahi Indonesia dibanding luar negeri terutama buat gengsi.

Kembali ke Johor, kami melihat ada bus yang tujuannya ke Johor. Bus itu yang berhenti di Queen Street, kebetulan tidak jauh dari hotel kaami di jalan Besar jika jalan kaki. Malam sebelum berangkat, suami saya survei di internet untuk mencari hotel di kota tersebut. Harganya tentu saja lebih miring dari Singapura. Akhirnya dengan ransel di punggung (suami saya tentu saja, saya nggak akan kuat berjalan dengan beban seberat itu di punggung, praktis ya..2 orang bawa hanya 1 ransel untuk kebutuhan).

Sampai di Queen St, kami mendengar ada orang yang berbicara soal Johor. Mukanya sih definitely Chinnese, ngomongnya Inggris. Jadi ..lumayan bisa ada yang ditanyain. suami Ketika suami tanya, dia bilang “Sorry, It’s been my 1st time too..” Terus dia ngeliat saya sambil terus ngobrol sama suami saya. Dia bilang mau ke tempat temannya di Johor. Saya yang kemudian ngeh pas waktu itu memakai kaos ITB, eh pada saat ngomong-ngomong, “By the way, where are you from?” tanya dia pada suami saya. Ketika suami saya bilang, “Indonesia” sontak dia bilang dengan bahasa Indonesia logat suatu daerah “Yah..ginilah kalo orang Indonesia ketemu orang Indonesia dan baru pertama kali pergi, tanya-tanya ya mana ada yang ngerti?” Kita langsung ngakak bareng. Ternyata orang itu orang Medan (sampai lupa tanya namanya), dia dari Penang mau ke Singapura dan balik lagi ke Medan tapi mau beli tiket di Johor karena dihitung-hitung lebih murah jika beli di Johor. Bayangin dia naik bis dari Penang ke Sin hampir 9 jam.Apa nggak remuk ya badan? Tapi untungnya bisnya nyaman katanya.

Kebetulan bus kami datang, teman itu tanya, berapa harga tiket ke Johor. Di daftar itu ada 2 tempat di Johor tapi sudah beda 10 Cent. Yang satu Johor Junction (pas border-imigrasi) $ SIN 1.80 kemudian terakhir di Terminal Larkin $ SIN 1.90. Waktu itu kita pikir hanya sampai border saja karena menurut suami saya di internet bilang bahwasanya di border itulah jalan besarnya yaitu jalan Tun Abdul Razak yang banyak hotel tertera. Tetapi menurut teman kami tadi (yang mungkin memang ke down town, ketika tanya sopirnya yang orang India apa tidak lebih baik ke down town). Dia juga nawarin gimana kalo sharing cab (kongsi taxi). Kita yang waktu itu juga masih bingung ikut ajalah. Tapi pas di border, kita ternyata lebih cepat. Jadi ketika kita mau tunggu bus lagi, suami yang masih ragu bilang gimana mau disini atau di terminal? Saya lihat daerah itu sudah ramai. Ya sudahlah paling tidak kita tidak tersesat seperti di Sin kemarin (benar-benar bikin capek—cari-cari hotel gak ketemu-ketemu begitu juga makanan sampe lapar banget).

Kita terus jalan, cari Money Changer (MC), nukarin uang dulu. Kemudian cari hotel. Banyak cerita lucu ketika cari hotel. Pernah di sebelah MC itu sepertinya ada penginapan. Ketika suami nukarin uang, saya tanya pada yang jaga, dia bilang harganya 70 RM, ditunjukkin gambar kamarnya. Saya lihat kok agak suram ya? Saya ngga ‘ngeh’, ketika suami menghampiri, saya bilang cari lainnya dulu.

Waktu kita keluar dari tempat itu, baru ‘ngeh’ ketika tertulis “Rumah Tumpangan”. Tahukah anda maknanya? Kata teman suami yang pernah ke Mal, hal itu berarti hotel untuk transaksi seks, bisa juga untuk menginap tapi anda bisa bayangkan jika menginap di tempat itu? Makanya tadi di tangga, ada perempuan mengejar laki-laki sambil tanya,”Bagaimana..? Lagi tak?”. Laki-laki itu menggeleng dan bergegas pergi. Walah-walah..baru kali ini ada pengalaman seperti itu..Tetapi menurut saya sich ya fair enough,cukup fair, karena lebih jelas. Kalau ke sana ya berarti untuk transaksi “itu” walaupun bisa juga ke hotel lain yang lebih bagus dan tidak ada tulisan “Rumah Tumpangan”.

Ada lagi hotel yang memang jauh lebih murah tapi no breakfast, no TV, no towel, no soap dan banyak “no-no” yang lain. Saya yang waktu itu sudah mulai puyeng, malah jadi khawatir kalo tiba-tiba ada tulisan “no bedroom” tertulis tapi kita terselip tahu. Bayangin, mau nginap tapi kalo nggak ada kamarnya terus kita apa mau tidur di lorong? Akhirnya kita sampai di hotel JB (Johor Baru) yang bagus mungkin sudah level bintang 3 atau 4. Harganya 138 RM (include breakfast). Kita pikir pilih yang agak luxury dikit lah..mengingat “kesengsaraan” di Sin sebelumnya. Bayangin ya 138 RM dikalikan kurs rupiah waktu itu sekitar 3300 jadi sekitar Rp 454.400 ya setara kamar standar hotel bintang 3 atau 4 di Jakarta / Semarang.

Masih lumayan daripada $SIN 75 untuk kamar standar (standaaaar banget alias minimalis banget, showernya ngepas badan plus toilet, dipannya rendah banget praktis hanya kasur, AC pas nyentrong di kepala) sukses membuat masuk angin sehingga di Johorpun tak ayal ritual kerikan juga dimulai dan dobel sukses juga terjadi ketika hasil kerikan membuat line merah gosong di punggung dan leher, di lantai 4 tanpa lift alias krenggosan naik tangga. Benar-benar cocok bagi yang ingin membesarkan otot paha secara alami. Eh..si recepsionisnya seorang kakek yang sebenarnya lumayan ramah bilang, “Never mind…exercise…”sambil meragakan orang berolahraga, eh dianya nggak tahu kalo kita cari hotel aja, sudah berpusing-pusing ria. Harga yang dirupiahkan menjadi (dikalikan kurs waktu itu $SIN 1 ≈ Rp 8000) Rp 600.000. Bisa anda bayangin untuk kamar yang di Indonesia dapat sekitar Deluxe Room hotel bintang 5 kalo anda beli langsung di hotelnya, tidak lewat travel agent. Benar-benar bikin menggerutu sepanjang jalan…

Kami dapat kamar di lantai 19 dengan view Johor Junction yang indah terutama di waktu malam. Hotel itu juga cukup unik, no room boys. Room boy yang kita tahu hanya satu itupun merangkap stunt-man reception. Benar-benar efektif ya? Untung kita cuma bawa ransel, kalo tidak lumayan payah juga. Kamarnya luas banget cukup untuk 10 orang kruntelan tidur didalamnya dengan posisi seperti ikan pindang dijejer.

Sorenya, kita cari makanan, lewat sebelah hotel, ada yang jualan martabak yang baunya…bener-bener bikin perut keroncongan tapi karena barusan hujan, jadinya peminatnya banyak sampai meluber keluar. Ah, nanti dululah, jalan-jalan dulu terus waktu menyeberang jalan, persis di depan hotel itu mall yang lumayan besar termasuk cineplex-nya. Kita tadinya mau cari souvenir yang khas Malaysia, diberitahu orang hotel kalo di dalam mall ada yang menjual souvenir.

Mallnya bernama Johor Bahru Square. Hampir seperti mall Ciputra di Jakarta atau Semarang. Putar-putar kok gak nemu juga tokonya, ternyata tokonya tidak berjudul Souvenir Shop tapi malah Pewter Shop jadi ternyata si penjual tidak hanya menjual kaos-kaos dan souvenir khas Malaysia tapi juga menjual kerajinan dari bahan timah. Harganya sekitar 16-17 RM untuk 1 kaos, tapi masih bisa ditawar. Untuk tempelan kulkas sekitar 10 RM juga masih bisa ditawar. Kalo beli banyak bisa minta diskon.

Yang bikin sebal adalah si Malay ini benar-benar plagiat. Kaosnya ada yang bermotif dan bertuliskan “Malaysian Batik” yang dia bilang “nice”. Iya untuk dia, enak di elo, gak enak di gue donk…bisa dibayangkan kalo kita beli, orang-orang satu Indonesia akan ramai-ramai nimpukin kita. Begitu juga dengan kaos yang bertuliskan “Malaysian Primitive” yang meniru kaos-kaos Kalimantan (Borneo Primitive). Benar-benar nggak ada yang original mereka. Paling-paling yang bergambar menara Petronas. Makanya saya waktu membaca majalah menyebutkan kalau banyak pengusaha Indonesia yang memasok kerudung, jilbab ke Malaysia dan Singapura langsung laris manis. Bagaimana tidak, mereka sendiri tidak kreatif dan tekun kok..

Habis jalan-jalan, kita singgah di salah satu kedai yang dari kejauhan terlihat ramai. Kita pesan martabak (seperti martabak di Indonesia tetapi minus sayuran, ditambah kuah kari). Ada yang menggunakan daging ayam, ada juga yang daging kambing. Namanya Martabak Singapore. Kedai itu yang bernama Yemenian Café. Lagi-lagi seperti di Singapura, saya hanya bisa minum selain mineral water alias air putih juga milo. Yang berjualan sih orang-orang dengan tampang antara orang India dan orang Timur Tengah. Tetapi pas bayar, kasirnya sangat ramah. Dia sering senyum dengan mengayun-ayunkan tangan dan kepala seperti orang India.

Waktu malamnya kami cari makan di kedai kaki lima yang banyak menjual makanan dalam bentuk kelompok, jadi semacam “jalur makanan” dengan konsep tenda dan open air seperti yang ada di Melayu Square di Tanjung Pinang, Peunayong di Banda Aceh dan Merdeka Walk di Medan. Mereka menjual aneka makanan dan minuman khas daerah itu juga dari daerah lain. Seperti sop kambing yang lengkap dengan segala jerohannya tapi dengan kuah yang sangat kental. Ada juga masakan Indonesia, lagi-lagi seperti juga di bagian Indonesia lain, orang Jawa Timur dengan segala penyetannya (ayam, ikan, tempe dan lain-lain) beberapa kali kami temui di Johor maupun Singapura. Sea food ala Chinnese food, but you believe or not masih enakan yang di Tanjung Pinang (dengan gong-gongnya). Roti jala, laksa dan lain-lain yang sebenarnya di Indonesia juga banyak dengan segala variasinya. Restoran Padang juga ada di dekat hotel kami tapi kami kok pengen mencoba yang lain daripada yang lain, apalagi ini kan di Johor, masih banyak makanan yang halal. Akhirnya pilihan kami pada sop kambing, karena masih mind set di Indonesia, kuah yang saya campurkan cukup banyak sehingga rasanya agak eneg, ngga habis, terpaksa deh suami “turun tangan’ untuk menghabiskan.

Setelah makan, kami masih sight seeing sekitar hotel dengan jalan kaki. Pada salah satu blok ketika kami jalan, ada beberapa anak muda India yang bergerombol, kalau sudah kayak gini sih mending cari jalan yang lain. Itulah yang dinamakan Smart Travelling. Kalau sudah ragu ya jangan diterusin, belum berarti semuanya itu benar, bisa saja mereka cuma anak muda yang berkumpul tapi safe is safe ya jangan dilewati, daripada menyesal kemudian. Lalu kita coba lihat lagi di bordernya, lihat bus yang akan kita naiki besok untuk pulang ke Singapura.

Benar-benar semalam di Malaysia. Besok paginya, jam 7 waktu Johor, kami melanjutkan perjalanan pulang lewat Singapura dengan bis yang sama seperti waktu kami datang. Percaya atau tidak, ketika orang di Singapura bisa tertib, mengantri, ketika di Johor mulai keluar sifat aslinya ‘tidak mau mengalah”. Mereka berjubelan bahkan melebihi ketidakdisiplinan orang di Jakarta, hanya saja yang “supervisor” di bus yang bersangkutan sangat “strict” sekali dan tidak bisa disuap dengan uang atau rokok. Jadi, kalau sudah benar-benar penuh, yang lainnya harus menunggu bus selanjutnya. Dan yang bikin aman lainnya adalah…tidak ada calo…padahal penumpang yang komuter kelihatannya banyak juga, bayangkan kalau ada pungutan-pungutan liar seperti itu, habis berapa mereka…

Ah, I wish Indonesia bisa seperti itu, semoga program polisi berantas preman akan selalu kontiniu. Kalau soal infrastruktur dan “pungli-pungli” itu tadi bisa hilang, niscaya orang akan merasa nyaman dan aman maka negara juga akan bisa lebih maju. Jadi jangan underestimate dulu dengan semua program itu, masih mending daripada tidak ada program. Teori “Tear Window” harus diadopsi, kalau yang kecil saja tidak dibenahi, bagaimana kalau menjadi besar? Bagaimana menangani yang besar?

Oh ya, kami kembali ke Singapura lewat jalur MRT di Stasiun Kranji menuju Harbourfront. Habis itu, selagi menunggu ferry kita datang, kita coba ke Vivo City, mall besar yang ada di pelabuhan untuk mencari makan. Setelah dapat food court, mulai deh rasa ketidakenakan muncul. Udahlah, cari masakan Indonesia lagi yang sama seperti di Lucky Plaza yaitu Java Kitchen. Kalau di Lucky Plaza, makan nasi langgi. Di Vivo City, coba ayam cobek yang lumayan enak karena ayamnya empuk tapi juga lumayan mahal. Damn..tapi mending masih bangsa sendiri.

You know what? Yang bikin kita bangga, di mall yang elit itu, masakan Indonesia masih diapresiasi oleh orang luar. Saya nggak tahu apakah orang itu orang Chinnese Indonesia yang di sana, orang Singapura sendiri atau malah dari Taiwan/RRC karena waktu itu yang beli gado-gado, nasi kuning, nasi langgi ataupun ayam cobek sangat banyak bahkan sepertinya ada yang sudah langganan, terbukti seperti beberapa pembeli dikenali oleh kasirnya yang orang Jawa dan sepertinya mereka senang mencoba menu-menu baru Indonesia.

Indonesia, here we home…!!!

Ini saya dapatkan dari buku Edensor-nya Andrea Hirata , “Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena bebetulan…” (Harun Yahya).

Akhir-akhir ini, saya memang sangat menikmati buku tentang perjalanan terutama yang terkait dengan segala kontemplasi hidup. Bukunya Marina Silvia K tentang Keliling Eropa dengan 1000 Dolar di tangan ternyata tidak hanya travelling melulu tetapi juga digambarkan dengan cantik mengenai pertemuannya dengan warga dunia lain yang berbeda dengan kita, bagaimana berdialog tanpa menang sendiri, bisa menerima keberadaan orang lain yang berbeda dengan kita dan semua tentang kontemplasi hidup…Benar-benar bagus dan ada kalanya mengharukan. Bagaimana bisa orang-orang yang asing bagi kita (bahkan kita sering sudah memberikan penilaian negatif) ternyata malah menjadi malaikat penolong yang sebenarnya juga tidak mengenal kita tetapi malah bisa bersikap ikhlas terhadap kita.

Mungkin juga karena usia yang beranjak tua, mungkin juga karena kami (saya dan suami) sedang berencana untuk travelling ke luar negeri setelah perjalanan keliling Indonesia sudah khatam (masih ada yang mengganjal karena belum bisa ke sana—yaitu Papua, habis tiket ke sana dan ke luar negeri, at least ASEAN, lebih murah ke ASEAN). Target tersebut adalah termasuk agenda hidup saya dan suami selain menyelesaikan sekolah tahun 2009 atau paling lambat 2010.

Beda dengan orang lain, yang mengandalkan perjalanan dinas atau sekolah atau ke rumah family, kami dari dulu ketika bepergian ya mengandalkan kami sendiri dan peta juga internet. Ada beberapa yang mengkontak teman SMA suami atau adik kelas suami saat di Taruna Nusantara. Mereka yang kebetulan bisa mengantar dari bandara ke hotel atau pas jalan-jalan. Pada saat ke Kupang, kami sampai disana benar-benar sudah malam. Kebetulan di bandara ketemu teman sekelas suami waktu SMA yang sekarang menjadi tentara di NTT. Langsung saja dia kontak anak buahnya (yang kebetulan juga adik kelas jauh saat SMA). Mereka yang menjemput kami di bandara dengan menempuh perjalanan selama 45 menit dari Atambua ke Kupang. Terus di Palembang juga ada adik kelas suami yang dosen di Unsri, dia yang mengantar kami jalan-jalan di Palembang.

Praktis hanya 2 tempat itu. Sementara yang lainnya by ourself, waktu ke Banda Aceh, sebenarnya mau dijemput juga tetapi karena temannya itu tentara, tiba-tiba ditugaskan ke Medan. Waktu dia mengabari, kami masih di Polonia transit menunggu pesawat ke Banda Aceh eh…dia akan berangkat ke Medan jadi malah berselisih arah…Ya sudah kita ya sendiri. Benar kan serba kebetulan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan tetapi enjoy aja…nikmati aja, inilah inti dari wisata kota dengan semi back-packer..

Di Palu lain lagi, seperti sudah saya ceritakan di blog lain, kami banyak ditolong oleh stranger, yang benar-benar ketemu ‘by accident’ di bandara dan dengan sabarnya mereka membantu kami mendapatkan hotel di Palu yang selalu fully booked, kami akhirnya dapat di Mess Kabupaten Poso, coba bayangkan kalau kita tidak bertemu pak Kasman (yang orang Padang tapi tinggal di Jakarta) dan mas Ais (yang orang Minahasa) itu bagaimana mungkin kami tahu ada Mess Kabupaten Poso yang bisa ditempati. Wong kita tahunya juga dari internet cuma daftar hotel di kota Palu. Pak Kasman tersebut yang berkata dengan kalimat yang menyejukkan hati, “Jangan khawatir ibu, ibu ini pasti orang baik, percayalah kalau orang baik itu pada akhirnya akan bertemu orang baik pula..”. Dialah mungkin ‘malaikat penolong’ yang dikirim oleh Tuhan untuk membantu kami.

Saya jadi ingat waktu pertama kali di Depok, tahu-tahu harus kuliah di Jakarta (ada beberapa mata kuliah yang dosennya meminta kami datang ke rumahnya atau ke kantornya karena mereka tidak sempat datang ke UI Depok. Saya yang seumur-umur baru kali itu sendirian, tahu-tahu harus mencari tempat di rimba Jakarta, belum lagi angkutannya pakai apa, belum tahu. Aha…Tuhan mengirim lagi ‘malaikat’ itu yang merupakan teman saya, mbak Naning namanya. Orang Malang.

Kebetulan dia menginap di rumah kakaknya di daerah Rancho, Tj Barat. Jadi masih bisa bareng. Dia pula waktu itu yang menggandeng tangan saya (kalau saya ingat dia, jadi ingat mama saya habis orangnya mirip-mirip sifatnya dengan mama saya) waktu harus menyebrang setelah turun dari bis ke Pulo Mas yang traffic-nya benar-benar gila, ramaaaaai banget…mana tidak ada jembatan penyebrangan. Dia sempat bilang ke saya, “Mbak, kalau ada apa-apa dengan kita, anggap aja kita mati syahid…Haaa?

Selain itu ada mas Wibowo, kakak kelas saya waktu S1 yang waktu itu juga sangat mensupport saya S2, dia bela-belain meminjamkan buku TPA, TOEFL nya pada saya untuk dipelajari waktu akan tes. Dia juga yang mencarikan saya tempat kos di Depok dan mengajari saya menghafal nama-nama stasiun yang dilewati ketika saya harus kuliah di Salemba, dari UI ke Cikini. Dia benar-benar ‘malaikat’ penolong saya yang tulus walaupun kami berbeda. Dia seorang non-pri yang beragama lain dengan saya, siapa bilang persahabatan selalu harus dengan yang sama dengan kita?

Kadang-kadang sesuatu yang pahit itu belum tentu tidak baik bagi kita. Saya pernah mengalami harus memperbaiki nilai untuk 1 mata kuliah, saya waktu itu jengkel…tetapi tahu tidak dosen yang mengampu itu ternyata malah orang yang nantinya menguatkan hati saya untuk menempuh S3.

Beliau yang sangat membantu saya, bahkan dia mau jadi promotornya, kalau tidak bisa beliau yang ikut menyampaikan ke Profesor lain. Ketika saya tidak yakin dan banyak orang tidak yakin bahkan menghambat saya, beliau yang menyemangati saya bahkan sampai sekarang…Beliau bilang, “Kalau tidak bisa di tempat ini Puti, kamu sudah diterima di X (suatu perguruan tinggi lain)”. Bayangkan beliau yang tidak ada hubungan apa-apa dengan saya begitu gigih membela saya. Lama-lama ketika melihat beliau, saya jadi ingat Datuk saya karena bentuk tubuh dan rambut yang mirip. Blessing in Disguise kan? Obat itu pahit tetapi ia menyembuhkan, sebaliknya racun itu terasa manis tetapi ia mematikan.

Di tempat bekerja, selalu ada saja yang membantu saya di saat ada orang-orang tertentu yang zalim. Dan ternyata memang begitu, karma memang menemukan jalannya sendiri bahkan dengan caranya yang misterius. Begitu juga dengan orang-orang baik lainnya, yang mungkin…benar kata Andrea, yang tadinya seperti tidak ada artinya kepada kita tetapi pada saat lain yang dibutuhkan, mereka justru menjadi ‘malaikat penolong’. IF ONLY I KNEW

MY LITTLE HONEY BUNNY

Putri saya Audrina, tanggal 4 Januari ini akan berumur 4 tahun, sudah TK-A (dulu jaman saya TK 0 Kecil). Semangatnya bersekolah bertalu-talu, banyak teman bilang, just like mother like daughter’. Usia 2 tahun dia sudah masuk Play Group. Sebenarnya kata gurunya waktu itu, selama dia sudah bisa ngomong usia 1,5 tahun itu sudah boleh masuk. Tapi saya berpikir biar dulu selama 1 tahun itu dia belajar mengenali lingkungannya sendiri di rumah.

Dia tumbuh pesat menjadi gadis kecil yang lincah. Hobbynya sekarang adalah wayang, baik itu wayang orang atau kulit. Heran kan, kok anak jaman sekarang masih kenal wayang?

Waktu itu berawal dari pemikiran mama saya yang melihat kok dia nonton film Warkop Dono-Kasino-Indro, yang menurut beliau banyak hal yang tidak pantas untuk dilihat anak-anak seumur dia. Kebetulan Mama punya koleksi VCD Wayang Orang dari Sekar Budaya Nusantara, iseng-iseng disetel eh…dia kok suka dan keterusan sampai sekarang.

Koleksi Mama sekarang jadi lengkap karena dia terus saja merengek minta disetelkan wayang kalau mau tidur siang atau malam. Jadi akhirnya pesan semua VCD yang waktu itu belum punya dan minta dikirim.

Semua tokoh di hapal, bahkan yang jarang disebut-sebut seperti Kalabendono, Udawa, Betara Indra, Durmagati. Gerakan menarinya hampir sempurna padahal dia tidak ikut les. Kesukaannya adalah meniru Cakil (buto—raksasa), tahu kan? Gerakannya kan sembarangan tapi gagah. Dia tidak pernah suka yang model keputren—cewek alias tidak sabar. Begitu juga meniru gerakan Dursasana, yang berangasan terutama gerakan tangannya.

Pernah dibelikan wayang-wayangan Punakawan 1 set dari kayu waktu Mama ke Borobudur. Begitu juga kaos, ketika kami bertiga (saya, suami dan Audri) ke Solo. Kaos tersebut bergambar Dewi Banowati (Hayo yang merasa orang Jawa, Dewi Banowati ini istrinya siapa? Tahu tidak, jangan-jangan kalian kalah sama anak kecil yang belum genap berumur 4 tahun). Sebenarnya dia minta yang gambarnya Punakawa tapi karena tidak ada yang kecil maka dia pilih Banowati.

Tokoh favoritnya adalah Punakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong). Selain itu juga Arjuna, Wisanggeni, Gatotkaca, Baladewa dan Kresna. Semua jalan cerita maupun alur ceritanya, dia sangat hapal. Bahkan ada adegan-adegan yang selalu diulang-ulang dia ketika menonton terutama saat punakawan maupun Kalabendono masuk.

Dari siapa bakat menarinya muncul? Saya dulu memang sering pentas menari tetapi tidak seintens dia dalam pemahaman soal wayang (walaupun dulu nilai bahasa daerah saya selalu bagus dan sangat hapal soal aksara jawa dan wayang) sementara Mama memang dulunya pernah menjadi penari dan sangat hapal juga suka cerita wayang jadi kemungkinan darah itu menurun ya dari Mama saya. Banyak yang bilang supaya diikutkan les menari. Sudah didaftarkan tetapi dia masih malu-malu. Tapi kalau di rumah, jangan ditanya…bagaimana polahnya dalam menari berikut semua aksesorisnya (senjata, panah, busur dll).

Sekarang dia sudah mulai menanyakan mengapa ibunya kok bersekolah di Jakarta, tidak di Semarang saja (I wish there will be a doctoral psychology program in Semarang…someday), mengapa bapaknya kerja di Jakarta, mengapa tidak di Semarang saja. Kalau dijawab, lha nanti kalau bapak tidak kerja, yang belikan susunya Audri siapa? Terus jawabnya yang membikin miris hati adalah “ya aku minum susunya kan nggak banyak, jadi sedikit aja…”Waduh, If only you knew

Program sekolah saya sudah separuh jalan, kalau lancar ya mulai penelitian dan menyusun desertasi, semoga 1 tahun lagi ( I wish…), saya bisa cepat selesai…Wish me luck…so I can go home and see my Honey Bunny again…

DESTINY IS OURS

Bagaimana kondisi dunia saat ini? Mencemaskan, membuat ragu-ragu? Mengkhawatirkan dan segala hal negatif lainnya? Anda tentunya tidak sendirian, ribuan orang yang berpikir demikian bahkan mungkin jutaan.. Terus kemudian apa yang harus kita lakukan? Sudah cukupkah persiapan kita ini?

Tahu tidak, my friend, dulu saya rasanya pemberani sekali. Naik pesawat sendiri saat masih muda dulu, di dalam pesawat, karena duduk dekat wing merasakan ada guncangan yang tidak enak, saya perkirakan ada burung yang masuk. jadi tahu tiba-tiba kok ada guncangan jadi sudah terbang harus turun lagi. Tapi hal itu masih tenang aja. Dari Jakarta ke Semarang sendirian, tahu-tahu pesawat dialihkan ikut maskapai lain (waktu itu Merpati) yang mau ke Surabaya. Masih tenang pula, padahal waktu itu orang tua masih perjalanan menuju Semarang, jadi rumah di Semarang masih dalam keadaan kosong. Waktu itu karena ada ujian, jadi saya disuruh duluan pulang ke Semarang. Mana nomer telepon keluarga di Jakarta tidak kebawa, jadi terpikir lha kalau pesawatnya cancel bagaimana…saya kan sendirian? Apalagi waktu itu saya belum kenal seluk beluk Soekarno Hatta seperti sekarang.

Saya pikir waktu itu toh takdir di tangan Tuhan dan saya bepergian ini dalam rangka jihad. Jihad untuk bersekolah, menuntut ilmu yang syukur-syukur bisa bermanfaat untuk orang banyak. Jadi perjalanan takdir, saya pasrahkan kepada Tuhan. Dear God, my life is Absolutely Yours…

Waktu ada accident-accident pesawat itu saya tetap aja ‘asyik’ mencari tiket yang murah untuk pergi ke pelosok Indonesia. Ketika Jakarta banjir bandang, flight saya dari Semarang langsung saya switch ke Pontianak bareng suami, kebetulan pas week-end. Dan ternyata perjalanan ke Pontianak sangat mulus dan cuaca di sana panasnya ngaudzubillah. Pernah juga dari bandara, langsung bablas naik Prima Jasa ke Bandung karena bus damri Pasar Minggunya nggak tentu datang perginya akibat banjir.

Tetapi karena terlalu sering naik pesawat ke seluruh penjuru Indonesia, saya jadi hapal nama-nama pilotnya. Makanya ketika ada kabar crash, langsung aja hati rasanya langsung meleleh. Siapa sih yang nggak meleleh, kita pernah naik pesawat itu, pernah dengar nama pilot itu, begitu juga pramugarinya rasanya kok pernah lihat. It could be us

Jadi terkadang, yang saya rasakan terutama setahun terakhir ini, saya jadi agak penakut. Ada guncangan dikit, sudah pucat. Pesawatnya manuver dikit alias miring juga sudah takut. Nggak tahu kenapa…itupun setelah rutinitas menjelajah negeri sudah khatam…mungkin juga saya menyadari anak saya sudah mulai tumbuh dewasa, saya masih ingin bersama dia dan keluarga saya. Tapi tetap saja “my obligation going 1stSaya tetap harus menyelesaikan sekolah ini karena ini penting untuk pembelajaran anak saya untuk tetap “keep on going and fighting spirit”.

Padahal gara-gara itu, saya jadi seperti pengamat dan sedikit peramal lho.. Kalau rasanya seperti ini, kayaknya anginnya nggak bagus deh atau mungkin awannya banyak kosong. Kalau begini, rasa-rasanya ini akan hard landing, jadi sudah siap-siap dulu. Kadang saya juga cross-check dengan pegawai maskapainya, terutama kalau di Semarang. “Anginnya kenceng ya Mas? Kok pesawatnya putar-putar dulu?”. Kebanyakan tebakan saya tepat.

Ada kalanya seperti yang pernah saya bilang, mata saya seringkali menjadi seperti mata ‘yuyu’ (kepiting), selalu basah. Kadang kita tahu kabar pesawat crash dan pilot yang menjadi korban adalah pilot yang ramah, tidak arogan, alim dan nggak macam-macam. Tahu kan, kadang kelakuan oknum pilot seperti apa, rahasia umumlah, semuanya banyak yang tahu.

Ketika semuanya sudah melupakan bahkan mungkin maskapai penerbangan itu sendiri, saya masih teringat. Kata Papa, kamu terlalu banyak mikir. Tapi kadang dalam kontemplasi saya, kenapa sih Tuhan begitu banyak mengambil orang yang baik, sementara orang yang asshole (I’m sorry with my language, saya tidak bisa menemukan istilah halus yang lain) malah masih berkeliaran saja di dunia ini. Mengapa bukan mereka saja? Tidak ada yang kehilangan mereka karena mereka tidak lebih dari a****** yang merugikan orang banyak, malah mungkin banyak yang bersyukur mereka telah hilang.

Tahu tidak, my friend, orang-orang inilah yang terkadang bahkan sering mengambil keuntungan dari kesengsaraan, derita orang lain. Orang yang humanis-relijius mengatakan karena Tuhan memberi kesempatan untuk mereka bertobat. Hah…? Berapa lama hingga mereka sadar, mereka telah merenggut kesempatan, harta, bahkan nyawa orang lain? Dengan itu, mereka mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang baik langsung maupun tidak langsung. Si humanis-relijius itu bilang lagi, “Tidak akan lama, Dear…mereka sama sekali tidak akan mendapatkan kedamaian dengan itu semua..”

Tahu tidak, my friend…Seperti kata Leo Tolstoy, “Tuhan Tahu tapi Ia Menunggu”. Menunggu apa…? Kata orang bijak dari Jawa, “Becik ketitik Ala Ketara”—artinya kebenaran dan kesalahan itu akan selalu terbukti. Dan karma akan menemukan jalannya sendiri. Semuanya itu ada takdirnya masing-masing…Begitu juga dengan kita. Kita memegang takdir kita masing-masing. Selalu saja harus ada proses untuk mematangkan jiwa kita dan untuk memahami bahwa Destiny is OursKita yang mempertanggungjawabkan…

LOST IN SINGAPORE

Perjalanan pertama saya ke luar negeri adalah Singapura dan Malaysia (lebih tepatnya Johor Bahru). Berdasarkan info dari internet dan teman yang tinggal/sudah pernah ke sana. Kepergian ke Singapura hanya satu hari kemudian kami lanjut ke Johor, yang letaknya dekat dari Singapura.

Saya dan suami terus terang tidak terkesan dengan Singapura. Banyak hal seperti harga yang lebih mahal daripada Malaysia, sulitnya mencari makanan yang halal di sana, perilaku warganya yang lebih banyak indifferent pada orang asing (atau lebih tepatnya dengan Melayu / Indonesia, yang mungkin identik dengan tenaga kerja kasar di sana). Rasanya selama putar-putar itu, jarang sekali orang yang terlihat tersenyum, ramah dan terbuka. Mereka rata-rata seperti orang autis, hidup di dunianya sendiri dan seperti “robot”. Memang ada sih beberapa yang lumayan ketika ditanya kami tetapi kebanyakan ya itu..kurang semanak (kalau dalam bahasa Indonesianya kurang lebih ya hangat, ramah, bersahabat). Langsung aja deh kita ngacir ke Johor, cari atmosfer baru yang terasa lebih beda.

Di Singapura, kami kebanyakan memakai MRT (Mass Rapid Transport-semacam kereta api cepat, yang ternyata tidak ada masinisnya, murni memakai teknologi) dan bus (semacam busway tapi lebih lapang). Kalau tidak ya jalan kaki aja..putar-putar. Kebingungan pertama sudah mulai ketika kami masuk ke Harbourfront, Singapura. Masuk ke imigrasi, cap stempel dan ini dia..ke down-town, waktu itu kita masih bingung mau naik MRT/bus. Sampai akhirnya pilihan ke MRT, karena paling tidak kita sudah punya peta (dapat dari teman kantor suami, yang orang Singapura). Masuk ke stasiun MRT yang lokasinya di sub-way sudah bikin panik (sedikit sih, karena kita sih sudah pernah keliling Indonesia dan bertemu banyak orang asing). Mana eskalator ke bawahnya sangat cepat dibanding eskalator-eskalator yang ada di Indonesia.

Untuk dapat masuk MRT, selain tahu rutenya, kita juga harus beli tiketnya di mesin (namanya kartu EZ Link). Untuk yang baru pertama kali jelas panik, untungnya di dekat mesin yang mirip mesin ATM tersebut ada petugas-petugas yang siap membantu. Siap-siap dengan bahasa Inggris yang ajaib-ajaib (maklum kebanyakan dari mereka dari etnis Cina, yang terkadang Inggris-nya masih kental dengan logat Mandarin dan diucapkan agak cepat). Ada juga yang orang India, yang biasanya lebih tidak ramah. Kami ketemu orang ini ketika tanya arah dari MRT yang kami maksud. Hampir tidak mengeluarkan suara, mukanya sama sekali tidak ramah, hanya kepalanya yang dia anggukkan ke kanan/kiri, kaya mainan anjing-anjingan di dashboard mobil.

Mungkin kelebihan Singapura dibanding Indonesia adalah di sini, infrastruktur yang sangat memadai. Cepat, pasti dan terintegrasi. Peraturannya yang ketat tidak memungkinkan adanya pelanggaran seperti dilarang makan dan minum di MRT, dilarang buang sampah sembarangan. Di stasiun hampir tidak ada tempat sampah jadi tidak ada alasan buang sampah. By the way, untuk masalah buang sampah ini ternyata tidak terlalu berlaku di daerah-daerah kantong pemukiman seperti di Little India, Bugis Street yang ternyata ditemukan beberapa sampah. Untuk yang lainnya, saya pikir hampir sama ya dengan Indonesia. Indonesia tidak kalah dengan mereka. Macam shopping centre di Orchard Road (favorit belanja orang-orang berduit dari Indonesia). Banyak juga mall di Indonesia yang sebesar dan semegah itu.

Lalu lintasnya dibilang teratur banget ya nggak juga..Karena kepemilikan mobil pribadi dibatasi dan sulit, mobil di sana kalau jalan, kenceng-kenceng. Kalau di perempatan untuk belok, mereka dengan tenangnya tidak mengurangi kecepatan. Cuma untuk pejalan kaki memang terjamin banget, kalau menyebrang di tempatnya, ada sign hijau untuk boleh menyebrang. Di jalan-jalan kecil yang tidak ada traffic lightnya, mobil yang akan melintas harus menunggu sampai pejalan kaki sudah menyebrang.

Untuk yang lain-lain, saya pikir di Indonesiapun ada. Di Little India mungkin hampir seperti wilayah di kota Medan yang banyak orang Indianya. Begitu juga di Bugis Street. Makanan, pernik-pernik yang dijual, di Indonesiapun banyak dan mungkin lebih murah. Mereka tidak memiliki masakan/makanan khas. Adanya hanya Chinnese Food (yang lebih banyak tidak halalnya, karena mereka kebanyakan pakai minyak babi kalau tidak daging babi), masakan India (ini dia yang kami nggak berani coba..takut selain halal/tidak, kayaknya rempahnya cukup kuat, takut kalau perut gak kuat). Gak lucu juga sakit perut di negeri orang.

Masakan Malaysia (ini yang akhirnya setelah lama berpusing-pusing ria, ketemu nasi lemak). Ini dia yang mungkin bagi orang Semarang, agak menaikkan alis karena sebal, di sana ada lumpia (mereka namakan popiah) yang rasanya jauh dari lumpia Semarang. Nasi lemak (rasanya gurih, kalau menurut saya sih cenderung eneg), macam nasi uduk Betawi atau nasi gurih, nasi liwet kalau di Solo. Lauknya ada ayam goreng, teri goreng dan kacang goreng, telur dadar dan beberapa jenis lauk tergantung paket. Nasi lemakpun pernah kami temui di Palembang dan Jambi, bahkan ada yang menamainya nasi minyak.

Yang heran adalah hampir beberapa orang Singapura kita tanya soal Merlion selalu bingung. Heran kan? Tadinya kami pikir karena pronouncision kami tapi kelihatannya tidak. Baru ketika dijelaskan soal Lion Statue baru ngeh..Dobel heran lagi ketika ditanya soal restoran Chinnese sebelah mereka tinggal (di tempat kami menginap), mereka tidak tahu sama sekali soal tetangga mereka. Agak keterlaluan sih…bener-bener kayak orang autis..Di tempat kami menginap, di jalan Besar, daerah Little India, banyak juga café-café pinggir jalan (kebanyakan masakan North Indian), selain itu juga ada…Thai Massage…lengkap dengan gadis-gadis pemijatnya yang seronok.

Untuk makanannya, ada pengalaman tak terlupakan. Dari browsing internet, kami menemukan Lucky Plaza di daerah Orchard sering sekali disebut untuk pencari makanan Indonesia karena disana banyak berkumpul TKI. Setelah ketemu Merlion, kemudian berfoto-foto dengan ‘Sir Stamford Raffles’ termasuk latar belakang Esplanade Theatre dan Fullerton Hotel, kami langsung mencari bus ke Lucky Plaza.

Setelah tanya-tanya dengan supir bus yang lumayan informatif (sopirnya bapak-bapak sudah tua dan masih ganteng) dan secara kebetulan (mungkin ini yang dinamakan jalan Tuhan) kami bertemu Bu Anis, TKW yang sudah 6 tahun bekerja di Singapura. Beliau ikut dengan majikannya yang orang Indonesia yang membeli rumah di kawasan Marina Bay (anda tahu berapa harga rumah di sana? Menurut info dari orang Sin sendiri sekitar $SIN 10.000.000). Hebat kan orang Indonesia? Yang orang Singapura aja sudah ngos-ngosan beli apartemen yang sempit sampai diikuti dengan kerja keras dan hampir-hampir ngga punya keramahan karena selalu sibuk kerja eh…orang Indonesia enak aja beli properti di sana…Siapa bilang orang Indonesia miskin?

Kami diantar bu Anis ini sampai di depan rumah makan Indonesia di Lucky Plaza. Saya yang mengikuti dari belakang sempat santai aja waktu masuk Lucky Plaza. Ramai sekali, banyak orang lalu lalang dan rasanya parasnya mirip dengan orang Indonesia, Cuma yang saya agak terkesiap, banyak sekali diantara mereka yang berpakaian minim dan terbuka.

Masak sih orang Indonesia kok seterbuka itu? Memang di Singapura, banyak sekali wanitanya yang berpakaian minim, tahu-tahu bu Anis yang sudah jauh di depan saya menghampiri saya dan berbisik, “Hati-hati bu, disini sekarang sudah banyak Filipino”. Oh…ternyata yang dari tadi saya lihat itu tenaga kerja dari Filipina yang memang mendapat jatah libur hari Minggu dan kebetulan mereka banyak yang mengirim uang ke kampung halamannya. Menurut cerita dari internet dan teman-teman, TKI biasanya memang mangkal di Lucky Plaza, tapi kalo melihat cerita bu Anis, mereka sudah tergusur oleh tenaga kerja Filipina.

Sampai saya masih berpikiran baik, mungkin TKI-TKI kita sudah naik derajat karena kerja keras mereka sehingga mereka tidak lagi nongkrong di Lucky Plaza, tapi di tempat lain. Soalnya rasanya nggak tega melihat mereka yang sudah berani mencari uang di luar negeri, mencari sesuap nasi dengan meninggalkan negeri tercinta dan seringkali mendapat perlakuan kurang manusiawi baik dari bangsanya sendiri maupun dari bangsa lain masih harus tersingkirkan oleh bangsa lain.

Sudah sepatutnya pemerintah yang terkait memikirkan masalah ini dan mereka yang sudah kaya turut membuka hati untuk turut membangun dalam negeri, tidak hanya membuat rumah atau shopping di luar negeri. Itulah pemikiran saya, seorang half back-packer, yang pergi ke luar negeri dengan biaya sendiri, tabungan kami (bukan karena dinas apalagi dari uang rakyat) untuk melihat sekelumit kehidupan anak bangsa di rantau orang.

ONE NIGHT AT MALAYA

Ketika kami akan ke Johor lewat darat, banyak yang bilang di sana agak danger. Hal itu disebabkan posisi Johor yang dekat dengan Singapura dan tempat bertemunya para pekerja kasar asing. Yang namanya perbatasan, tempat bertemunya orang-orang dari luar yang belum tentu baik semua dan kebanyakan mereka yang mungkin tidak tertampung di Singapura, tentunya menimbulkan persepsi negatif tersendiri. Tetapi terkadang memang tergantung perspektif yang bersangkutan. Seperti kami, beberapa tempat di Indonesia yang menurut pandangan sementara orang negatif tetapi ketika kita sendiri jalani, juga tidak sepenuhnya benar.

Ketika kami ke Palu dan Ambon bahkan papa saya sendiri bilang, “Ngapain ke sana, tempatnya bahaya, rusuh..”. Menurut kami, ya.. sebelumnya harus cari informasi tentang tempat itu di internet dan media massa. Apalagi waktu itu Trans TV seringkali menayangkan liputan tentang tempat-tempat menarik di Indonesia, tidak hanya tempat wisata alamnya saja tetapi juga wisata kota.

Ketika browsing internetpun ternyata banyak orang yang telah melakukan perjalanan seperti kami, mungkin untuk perjalanan dinas, pekerjaan atau mengunjungi famili. Tetapi seperti kami yang melakukan perjalanan untuk mengenali negara kami sendiri secara lebih intim? Mungkin ada ya.. but not much..Mereka mungkin prefer pergi ke luar negeri dengan segala tujuannya..rasanya mungkin tidak terlalu cool menjelajahi Indonesia dibanding luar negeri terutama buat gengsi.

Kembali ke Johor, kami melihat ada bus yang tujuannya ke Johor. Bus itu yang berhenti di Queen Street, kebetulan tidak jauh dari hotel kaami di jalan Besar jika jalan kaki. Malam sebelum berangkat, suami saya survei di internet untuk mencari hotel di kota tersebut. Harganya tentu saja lebih miring dari Singapura. Akhirnya dengan ransel di punggung (suami saya tentu saja, saya nggak akan kuat berjalan dengan beban seberat itu di punggung, praktis ya..2 orang bawa hanya 1 ransel untuk kebutuhan).

Sampai di Queen St, kami mendengar ada orang yang berbicara soal Johor. Mukanya sih definitely Chinnese, ngomongnya Inggris. Jadi ..lumayan bisa ada yang ditanyain. suami Ketika suami tanya, dia bilang “Sorry, It’s been my 1st time too..” Terus dia ngeliat saya sambil terus ngobrol sama suami saya. Dia bilang mau ke tempat temannya di Johor. Saya yang kemudian ngeh pas waktu itu memakai kaos ITB, eh pada saat ngomong-ngomong, “By the way, where are you from?” tanya dia pada suami saya. Ketika suami saya bilang, “Indonesia” sontak dia bilang dengan bahasa Indonesia logat suatu daerah “Yah..ginilah kalo orang Indonesia ketemu orang Indonesia dan baru pertama kali pergi, tanya-tanya ya mana ada yang ngerti?” Kita langsung ngakak bareng. Ternyata orang itu orang Medan (sampai lupa tanya namanya), dia dari Penang mau ke Singapura dan balik lagi ke Medan tapi mau beli tiket di Johor karena dihitung-hitung lebih murah jika beli di Johor. Bayangin dia naik bis dari Penang ke Sin hampir 9 jam.Apa nggak remuk ya badan? Tapi untungnya bisnya nyaman katanya.

Kebetulan bus kami datang, teman itu tanya, berapa harga tiket ke Johor. Di daftar itu ada 2 tempat di Johor tapi sudah beda 10 Cent. Yang satu Johor Junction (pas border-imigrasi) $ SIN 1.80 kemudian terakhir di Terminal Larkin $ SIN 1.90. Waktu itu kita pikir hanya sampai border saja karena menurut suami saya di internet bilang bahwasanya di border itulah jalan besarnya yaitu jalan Tun Abdul Razak yang banyak hotel tertera. Tetapi menurut teman kami tadi (yang mungkin memang ke down town, ketika tanya sopirnya yang orang India apa tidak lebih baik ke down town). Dia juga nawarin gimana kalo sharing cab (kongsi taxi). Kita yang waktu itu juga masih bingung ikut ajalah. Tapi pas di border, kita ternyata lebih cepat. Jadi ketika kita mau tunggu bus lagi, suami yang masih ragu bilang gimana mau disini atau di terminal? Saya lihat daerah itu sudah ramai. Ya sudahlah paling tidak kita tidak tersesat seperti di Sin kemarin (benar-benar bikin capek—cari-cari hotel gak ketemu-ketemu begitu juga makanan sampe lapar banget).

Kita terus jalan, cari Money Changer (MC), nukarin uang dulu. Kemudian cari hotel. Banyak cerita lucu ketika cari hotel. Pernah di sebelah MC itu sepertinya ada penginapan. Ketika suami nukarin uang, saya tanya pada yang jaga, dia bilang harganya 70 RM, ditunjukkin gambar kamarnya. Saya lihat kok agak suram ya? Saya ngga ‘ngeh’, ketika suami menghampiri, saya bilang cari lainnya dulu.

Waktu kita keluar dari tempat itu, baru ‘ngeh’ ketika tertulis “Rumah Tumpangan”. Tahukah anda maknanya? Kata teman suami yang pernah ke Mal, hal itu berarti hotel untuk transaksi seks, bisa juga untuk menginap tapi anda bisa bayangkan jika menginap di tempat itu? Makanya tadi di tangga, ada perempuan mengejar laki-laki sambil tanya,”Bagaimana..? Lagi tak?”. Laki-laki itu menggeleng dan bergegas pergi. Walah-walah..baru kali ini ada pengalaman seperti itu..Tetapi menurut saya sich ya fair enough,cukup fair, karena lebih jelas. Kalau ke sana ya berarti untuk transaksi “itu” walaupun bisa juga ke hotel lain yang lebih bagus dan tidak ada tulisan “Rumah Tumpangan”.

Ada lagi hotel yang memang jauh lebih murah tapi no breakfast, no TV, no towel, no soap dan banyak “no-no” yang lain. Saya yang waktu itu sudah mulai puyeng, malah jadi khawatir kalo tiba-tiba ada tulisan “no bedroom” tertulis tapi kita terselip tahu. Bayangin, mau nginap tapi kalo nggak ada kamarnya terus kita apa mau tidur di lorong? Akhirnya kita sampai di hotel JB (Johor Baru) yang bagus mungkin sudah level bintang 3 atau 4. Harganya 138 RM (include breakfast). Kita pikir pilih yang agak luxury dikit lah..mengingat “kesengsaraan” di Sin sebelumnya. Bayangin ya 138 RM dikalikan kurs rupiah waktu itu sekitar 3300 jadi sekitar Rp 454.400 ya setara kamar standar hotel bintang 3 atau 4 di Jakarta / Semarang.

Masih lumayan daripada $SIN 75 untuk kamar standar (standaaaar banget alias minimalis banget, showernya ngepas badan plus toilet, dipannya rendah banget praktis hanya kasur, AC pas nyentrong di kepala) sukses membuat masuk angin sehingga di Johorpun tak ayal ritual kerikan juga dimulai dan dobel sukses juga terjadi ketika hasil kerikan membuat line merah gosong di punggung dan leher, di lantai 4 tanpa lift alias krenggosan naik tangga. Benar-benar cocok bagi yang ingin membesarkan otot paha secara alami. Eh..si recepsionisnya seorang kakek yang sebenarnya lumayan ramah bilang, “Never mind…exercise…”sambil meragakan orang berolahraga, eh dianya nggak tahu kalo kita cari hotel aja, sudah berpusing-pusing ria. Harga yang dirupiahkan menjadi (dikalikan kurs waktu itu $SIN 1 ≈ Rp 8000) Rp 600.000. Bisa anda bayangin untuk kamar yang di Indonesia dapat sekitar Deluxe Room hotel bintang 5 kalo anda beli langsung di hotelnya, tidak lewat travel agent. Benar-benar bikin menggerutu sepanjang jalan…

Kami dapat kamar di lantai 19 dengan view Johor Junction yang indah terutama di waktu malam. Hotel itu juga cukup unik, no room boys. Room boy yang kita tahu hanya satu itupun merangkap stunt-man reception. Benar-benar efektif ya? Untung kita cuma bawa ransel, kalo tidak lumayan payah juga. Kamarnya luas banget cukup untuk 10 orang kruntelan tidur didalamnya dengan posisi seperti ikan pindang dijejer.

Sorenya, kita cari makanan, lewat sebelah hotel, ada yang jualan martabak yang baunya…bener-bener bikin perut keroncongan tapi karena barusan hujan, jadinya peminatnya banyak sampai meluber keluar. Ah, nanti dululah, jalan-jalan dulu terus waktu menyeberang jalan, persis di depan hotel itu mall yang lumayan besar termasuk cineplex-nya. Kita tadinya mau cari souvenir yang khas Malaysia, diberitahu orang hotel kalo di dalam mall ada yang menjual souvenir.

Mallnya bernama Johor Bahru Square. Hampir seperti mall Ciputra di Jakarta atau Semarang. Putar-putar kok gak nemu juga tokonya, ternyata tokonya tidak berjudul Souvenir Shop tapi malah Pewter Shop jadi ternyata si penjual tidak hanya menjual kaos-kaos dan souvenir khas Malaysia tapi juga menjual kerajinan dari bahan timah. Harganya sekitar 16-17 RM untuk 1 kaos, tapi masih bisa ditawar. Untuk tempelan kulkas sekitar 10 RM juga masih bisa ditawar. Kalo beli banyak bisa minta diskon.

Yang bikin sebal adalah si Malay ini benar-benar plagiat. Kaosnya ada yang bermotif dan bertuliskan “Malaysian Batik” yang dia bilang “nice”. Iya untuk dia, enak di elo, gak enak di gue donk…bisa dibayangkan kalo kita beli, orang-orang satu Indonesia akan ramai-ramai nimpukin kita. Begitu juga dengan kaos yang bertuliskan “Malaysian Primitive” yang meniru kaos-kaos Kalimantan (Borneo Primitive). Benar-benar nggak ada yang original mereka. Paling-paling yang bergambar menara Petronas. Makanya saya waktu membaca majalah menyebutkan kalau banyak pengusaha Indonesia yang memasok kerudung, jilbab ke Malaysia dan Singapura langsung laris manis. Bagaimana tidak, mereka sendiri tidak kreatif dan tekun kok..

Habis jalan-jalan, kita singgah di salah satu kedai yang dari kejauhan terlihat ramai. Kita pesan martabak (seperti martabak di Indonesia tetapi minus sayuran, ditambah kuah kari). Ada yang menggunakan daging ayam, ada juga yang daging kambing. Namanya Martabak Singapore. Kedai itu yang bernama Yemenian Café. Lagi-lagi seperti di Singapura, saya hanya bisa minum selain mineral water alias air putih juga milo. Yang berjualan sih orang-orang dengan tampang antara orang India dan orang Timur Tengah. Tetapi pas bayar, kasirnya sangat ramah. Dia sering senyum dengan mengayun-ayunkan tangan dan kepala seperti orang India.

Waktu malamnya kami cari makan di kedai kaki lima yang banyak menjual makanan dalam bentuk kelompok, jadi semacam “jalur makanan” dengan konsep tenda dan open air seperti yang ada di Melayu Square di Tanjung Pinang, Peunayong di Banda Aceh dan Merdeka Walk di Medan. Mereka menjual aneka makanan dan minuman khas daerah itu juga dari daerah lain. Seperti sop kambing yang lengkap dengan segala jerohannya tapi dengan kuah yang sangat kental. Ada juga masakan Indonesia, lagi-lagi seperti juga di bagian Indonesia lain, orang Jawa Timur dengan segala penyetannya (ayam, ikan, tempe dan lain-lain) beberapa kali kami temui di Johor maupun Singapura. Sea food ala Chinnese food, but you believe or not masih enakan yang di Tanjung Pinang (dengan gong-gongnya). Roti jala, laksa dan lain-lain yang sebenarnya di Indonesia juga banyak dengan segala variasinya. Restoran Padang juga ada di dekat hotel kami tapi kami kok pengen mencoba yang lain daripada yang lain, apalagi ini kan di Johor, masih banyak makanan yang halal. Akhirnya pilihan kami pada sop kambing, karena masih mind set di Indonesia, kuah yang saya campurkan cukup banyak sehingga rasanya agak eneg, ngga habis, terpaksa deh suami “turun tangan’ untuk menghabiskan.

Setelah makan, kami masih sight seeing sekitar hotel dengan jalan kaki. Pada salah satu blok ketika kami jalan, ada beberapa anak muda India yang bergerombol, kalau sudah kayak gini sih mending cari jalan yang lain. Itulah yang dinamakan Smart Travelling. Kalau sudah ragu ya jangan diterusin, belum berarti semuanya itu benar, bisa saja mereka cuma anak muda yang berkumpul tapi safe is safe ya jangan dilewati, daripada menyesal kemudian. Lalu kita coba lihat lagi di bordernya, lihat bus yang akan kita naiki besok untuk pulang ke Singapura.

Benar-benar semalam di Malaysia. Besok paginya, jam 7 waktu Johor, kami melanjutkan perjalanan pulang lewat Singapura dengan bis yang sama seperti waktu kami datang. Percaya atau tidak, ketika orang di Singapura bisa tertib, mengantri, ketika di Johor mulai keluar sifat aslinya ‘tidak mau mengalah”. Mereka berjubelan bahkan melebihi ketidakdisiplinan orang di Jakarta, hanya saja yang “supervisor” di bus yang bersangkutan sangat “strict” sekali dan tidak bisa disuap dengan uang atau rokok. Jadi, kalau sudah benar-benar penuh, yang lainnya harus menunggu bus selanjutnya. Dan yang bikin aman lainnya adalah…tidak ada calo…padahal penumpang yang komuter kelihatannya banyak juga, bayangkan kalau ada pungutan-pungutan liar seperti itu, habis berapa mereka…

Ah, I wish Indonesia bisa seperti itu, semoga program polisi berantas preman akan selalu kontiniu. Kalau soal infrastruktur dan “pungli-pungli” itu tadi bisa hilang, niscaya orang akan merasa nyaman dan aman maka negara juga akan bisa lebih maju. Jadi jangan underestimate dulu dengan semua program itu, masih mending daripada tidak ada program. Teori “Tear Window” harus diadopsi, kalau yang kecil saja tidak dibenahi, bagaimana kalau menjadi besar? Bagaimana menangani yang besar?

Oh ya, kami kembali ke Singapura lewat jalur MRT di Stasiun Kranji menuju Harbourfront. Habis itu, selagi menunggu ferry kita datang, kita coba ke Vivo City, mall besar yang ada di pelabuhan untuk mencari makan. Setelah dapat food court, mulai deh rasa ketidakenakan muncul. Udahlah, cari masakan Indonesia lagi yang sama seperti di Lucky Plaza yaitu Java Kitchen. Kalau di Lucky Plaza, makan nasi langgi. Di Vivo City, coba ayam cobek yang lumayan enak karena ayamnya empuk tapi juga lumayan mahal. Damn..tapi mending masih bangsa sendiri.

You know what? Yang bikin kita bangga, di mall yang elit itu, masakan Indonesia masih diapresiasi oleh orang luar. Saya nggak tahu apakah orang itu orang Chinnese Indonesia yang di sana, orang Singapura sendiri atau malah dari Taiwan/RRC karena waktu itu yang beli gado-gado, nasi kuning, nasi langgi ataupun ayam cobek sangat banyak bahkan sepertinya ada yang sudah langganan, terbukti seperti beberapa pembeli dikenali oleh kasirnya yang orang Jawa dan sepertinya mereka senang mencoba menu-menu baru Indonesia.

Indonesia, here we home…!!!