Senin, 15 September 2008

EVERYTHING HAS ITS TIME


Semuanya akan ada masanya. Semuanya akan terasa indah pada waktunya. Saya bukan orang Nasrani tetapi saya terkesan akan ‘statement’ yang ada di bible tersebut. Saya lupa nama suratnya tetapi saya yakin di agama-agama lain mungkin juga ada pembahasan itu tetapi besar kemungkinan menggunakan istilah yang berbeda-beda. Saya meyakini akan semuanya ada masanya.

Dari mulai kita dilahirkan oleh ibunda tercinta, kalau memang belum waktunya, tentu saja kita belum ada. Begitu juga ketika sekolah, menikah, mempunyai anak, meninggal dunia, jika memang belum digariskan akan datang, maka bagaimanapun juga tidak akan datang. Macam suratan takdir, qada dan qadar menurut Al-Qur’an. Tetapi selalu saja kita harus mengusahakannya, dengan sebaik mungkin. Selebihnya hanya bisa memasrahkan diri kepada Tuhan.

Masih teringat ketika kita benar-benar sangat mendambakan sesuatu hal, tetapi ketika Tuhan belum mengijinkan, maka semuanya belum dapat menjadi kenyataan. Ketika kita masih kecil atau remaja, seringkali kita selalu mengeluh mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaan kita. Karena darah muda, kita seringkali mengabaikan makna dibalik peristiwa yang kita alami, selalu tidak sabar menunggu hikmah Tuhan yang datang pada kita.

Tidak mudah memahami bahwa semuanya itu selalu saja ada waktu yang tepat. Setiap hal, peristiwa, kejadian selalu saja ada masa yang tepat untuk semuanya yang terjadi. Misalnya, pasangan suami istri yang belum mendapatkan putra setelah menikah. Mungkin saja, Tuhan mempunyai rencana sendiri dan melihat bahwa pasangan tersebut belum waktunya memiliki anak karena secara mental belum siap. Atau saja ada sebab-sebab lain yang maknanya lebih dalam dari yang diketahui pasangan tersebut.

Saya jadi teringat peristiwa-peristiwa lampau yang telah terjadi pada diri saya maupun keluarga. Sekolah saya, saya jadi semakin yakin kenapa dulu saya gagal di UMPTN (terus terang saja waktu itu saya masih merasa ragu dengan pilihan saya karena banyak disarankan oleh keluarga). Ketika saya pilih Psikologi di universitas lain, maka jalan hidup saya berkaitan dengan Psikologipun berlanjut hingga akhirnya kuliah doctoral sekarang. Mungkin jika tembus UMPTN, jalan hidup saya tidak seperti sekarang. Menjadi dosen Psikologi di Universitas Negeri, bisa lanjut sekolah hingga S3.

Begitu juga dengan jodoh. Mungkin juga jika saya tidak bertemu dengan suami saya, hidup saya tidak akan seperti ini. Ya, jalan hidup saya telah terbentang, dengan semua kemungkinan terkait dengan pilihan yang saya ambil. Dan semuanya ada masanya.

Saya baru merasakan setelah lulus kuliah, bekerja, berkeluarga hingga saat ini. Memang inilah yang terbaik buat saya dari Tuhan. Tetapi Tuhan tidak langsung memberitahukan, Dia menunggu saat yang tepat untuk memberitahukan. He just wait the right time to say that everything has its time…

LET’S TALK ABOUT LOVE


Orang sering menyebut dan mengagung-agungkan kata-kata “cinta” tetapi seringkali tidak benar-benar meresapi maknanya. Cinta melewati batas-batas budaya, suku, ras, etnik, agama, usia, bangsa atau Negara. Cinta bersifat universal, tidak hanya terbatas pada hubungan dua kekasih. Cinta memerlukan saling pengertian, mutual understanding, saling bekerjasama untuk saling mengisi. Cinta bahkan dapat memberikan semangat untuk lebih maju, berbuat yang terbaik dan sikap pantang menyerah.

Terkadang cinta juga dapat saling membenci, menyakiti dan pada akhirnya merusak. Kadarnya yang terlalu berlebihan atau malah berkurang dapat membutakan mata orang untuk mencinta. Kebutaan itu yang mengakibatkan kehancuran, karena dia tidak dapat melihat dengan jernih.

Kecintaan tidak hanya pada seseorang tetapi juga “sesuatu” yang bisa berwujud abstrak maupun konkrit. Sesuatu yang bersifat materi dapat membutakan mata untuk melihat bahwa apa yang telah diambil adalah bukan haknya tetapi merupakan hak orang lain. Semuanya yang dilarang (haram) dapat menjadi halal. Itulah yang dinamakan korupsi.

Kecintaan yang tiada batas terhadap supremasi suku, agama maupun negara dapat memancing sikap fundamentalisme. Pemujaan yang berlebihan dapat mengakibatkan superioritas satu pihak dan menihilkan peran yang lain (bahkan dapat mengarah ke deindividuasi - tidak lagi memanusiakan manusia). Inilah yang terjadi ketika peristiwa holocaust, pembersihan etnis di sejumlah negara, bahkan yang terjadi di Indonesia.

Secara kasat mata, bagaimana seorang manusia yang dikaruniai akal budi oleh Tuhan sebagai penanda makhluk yang paling sempurna di dunia ini, dengan seenaknya melenyapkan nyawa manusia yang lain, sesama makhluk Tuhan bahkan dengan cara-cara di luar batas kemanusiaan, melebihi insting binatang untuk mempertahankan hidup.

Cinta ternyata dapat berubah menjadi kompleks, bahkan menjadikan “horror drama” sepanjang masa ketika suatu kelompok manusia dengan atas nama Tuhan (yang menciptakan) mampu berbuat hal-hal di luar batas kemanusiaan. Menghancurkan semua ciptaan Tuhan yang hidup atas perkenaan Tuhan, dengan cara sangat memilukan dan mereka sama sekali tidak merasa bersalah karena apa yang mereka lakukan, mereka yakini atas kehendak Tuhan mereka.

Itulah manusia dan cinta-nya. Terkadang bisa begitu indah dunia diciptakan dengan dasar cinta tetapi tidak jarang pula betapa mudah dunia dirusak, dihancurkan atas dasar nama cinta.

LABELLING


Masyarakat awam seringkali memberikan julukan atau label kepada orang-orang tertentu. Bahkan orang tua kepada anak-anaknya. Julukan atau panggilan seperti : anak pintar, anak rajin, anak bodoh sesuai dengan keadaan anak tersebut. Hal tersebut dinamakan labeling.

Seringkali orang-orang tersebut “sok tahu” dengan memberikan prediksi tentang orang lain, yang diberi julukan tersebut. Anak bungsu pasti manja, tidak dapat mandiri, begitu juga dengan anak tunggal. Anak sulung pasti anak yang bertanggungjawab, mandiri dsb. Anak tengah tidak terlalu diperhatikan jika tidak ada prestasi menonjol. Semua hal yang terjadi dikaitkan dengan label yang ada di dalam diri seseorang.

Saya senang dengan orang yang suka sewenang-wenang memprediksikan saya. Senang karena saya akan berusaha keras mematahkan anggapan mereka, prediksi mereka tentang saya, tentu saja yang bernada negatif dan tidak membangun.

Keangkuhan dan kesewenangan mereka memberikan charge tambahan energi positif buat saya untuk berbuat terbaik. Keberadaan saya sebagai putri tunggal seringkali menjadi “alasan empuk” bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan memiliki niat tertentu ketika mereka tidak berhasil mempengaruhi saya yang berkait dengan sesuatu yang mereka harapkan.

Ketika saya mendapat peluang untuk studi lanjut S3 karena mereka takut tersaingi, mereka membuat excuse “dasar anak tunggal, sombong, mau-maunya sendiri..” karena saya tidak mau menuruti mereka untuk membatalkan niat tulus saya. Alasan mereka banyak dan sewenang-wenang.

Kalau alasan mereka tulus, tentunya saya tidak akan keberatan, walaupun belum tentu peluang itu datang 2 kali. Tetapi ketika ternyata saya ketahui bahwa alasan itu banyak dibuat-buat dan mereka sendiri ternyata tidak mau mendelegasikan tugas (yang ternyata ada “uang di balik gimbal..”), kemudian memang ada unsur-unsur yang “tidak sehat”, iri, dengki, envy (bukan penis envy-nya Freud loh ya..), ya sudah..mulai pasang telinga kedap suara. Maksudnya supaya tidak cepat naik darah kalau-kalau difitnah macam-macam. Konsekuensinya ya seperti itu…

Ketika saya masih kecil, saya pernah diduga nanti akan tumbuh menjadi anak yang selalu canggung, tidak bisa mandiri dan sebagainya. Ketika sekolah saya (bahkan sampai sekarang, dapat tembus strata 3 di universitas terpandang di Indonesia, di kota besar metropolitan pula), banyak yang terbengong-bengong. “Ngga ngira saya..”, begitu selalu yang diucapkan.

Selalu ingat bahwa semua hal kembali lagi ke orang yang bersangkutan. Pribadi seseorang memang terbentuk mulai dari lahir tetapi pola asuh orang tua, pendidikan, lingkungan sosial dan pengalaman hidup akan lebih mempertajam pribadi orang tersebut menuju ke arah mana. Sekarang-sekarang ini, sangatlah laku pelatihan-pelatihan tentang EQ, SQ, ESQ, AQ, Quantum Ikhlas dan lain-lain. Ternyata inteligensi hanya menyumbang 20% dari keberhasilan seseorang. Lalu apakah yang 80% itu? Jawabannya banyak, ada yang bilang soal ketekunan, jejaring, semangat pantang menyerah dan sebagainya.

Ketika dulu saya sekolah, mulai SD-SMP rasa-rasanya ranking 5 besar itu selalu di tangan. Ketika SMA mulai agak goyah, saingannya banyak dan pandai-pandai disamping banyaknya mata pelajaran yang membuat kuwalahan. Kuliah, seneng karena merupakan sesuatu yang baru, profesi lebih senang lagi karena praktek melulu. S2 mulai di Jakarta, adaptasi dan lain-lain membuat tantangan semakin tajam lagi. Hasil-hasil semua kuliah, profesi dan S2 (begitu juga S3 sekarang) lumayan, walaupun tidak cemerlang banget.

Sikap nekad dan keukeuh saya yang paling dominan. Mungkin pula, darah sanguinis alias darah Minang saya membuat saya “keras kepala” dan “keras hati” dalam menghadapi segala rintangan dan riak-riak kehidupan. Tentu saja nekad yang positif dan tidak menghalalkan segala cara. Dan terutama adalah tidak mengambil yang bukan milik kita, bukan jatah kita.

Ibaratnya tidak bisa jalan, ya merangkak, tidak bisa merangkak ya ngesot… Ketika berkali-kali diguncang hambatan baik yang sebesar pasir maupun sebesar batu kali, saya berusaha untuk tidak berhenti atau bahkan mundur. Tetap harus jalan walaupun jalannya hanya sedikit atau bahkan harus berjingkat-jingkat ataupun yang terparah, tetap berjalan walau terpincang-pincang.

Hal yang buruk yang dapat terjadi karena proses labeling adalah ketika sebenarnya orang yang sudah dilabel berbuat baik tetapi tetap diberikan label negatif sehingga akhirnya dia benar-benar berbuat yang negatif seperti yang dituduhkan. Seringkali pula orang dengan label baik, sekali saja dia lengah dan khilaf, berbuat kesalahan seolah-olah dia berbuat salah yang sangat besar dan tak ada baik-baiknya sama sekali.

Memang benar pepatah Indonesia yang berkata, “Karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga..”. Labelling terutama yang negatif, untuk amannya janganlah digunakan karena hal itu akan membekas dan bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Label yang positif dapat berfungsi sebagai pembangkit motivasi supaya tetap terpelihara dengan baik tetapi jangan sekali-kali menganggap bahwa manusia itu adalah malaikat, yang selalu benar dan tidak pernah salah.

Kasus seorang da’i kondang yang kemudian tenggelam karena kasus poligami. Tidak ada orang yang punya salah atau kekurangan. Hal manusiawi tetapi karena ini menyangkut figur masyarakat yang dalam setiap sisi kehidupannya selalu ditiru dan dikagumi, maka menjadi perbincangan hangat dan menjadi pro-kontra.

Maka, tidaklah wajar ketika orang tersebut bilang, silahkan saja mencari figur lain untuk diteladani atau dikagumi. Hal itu sangat tidak dapat diterima, kecuali ketika orang itu sudah tidak lagi dalam posisi “yang menyuruh-nyuruh” masyarakat pemerhatinya untuk berbuat. Arti lugasnya ya jangan lagi jadi public figure, apalagi seorang pemuka agama yang oleh masyarakat sudah terlanjur distempel sebagai orang yang “lebih” dibandingkan dengan orang kebanyakan.

Labelling yang terjadi pada tokoh tersebut telah berubah dari positif ke negatif. Apapun yang dia perbuat, publik tetap tidak dapat lupa tentang tindakannya yang “melukai” hati publik tersebut. Dan yang sangat disayangkan adalah hal tersebut berbuntut dengan semua usaha yang dia rintis dan melibatkan penghidupan orang banyak. Sangatlah disayangkan, karena perbuatan (atau kesalahan, tergantung apa persepsi orang tentang poligami) seseorang, berpuluh-puluh penghidupan orang lain menjadi taruhan. Hanya gara-gara labeling. Jika saja, orang mau berpikir panjang …Makanya mungkin didalam Al-Qur’an,ada disebut..maka beruntunglah kaum yang mau berpikir…


HIDUP ADALAH PERBUATAN

HIDUP ADALAH PERBUATAN


Meminjam slogan dari iklan yang menampilkan seorang tokoh dimana kalimat itu sangatlah berkesan buat saya pribadi. Memang benar, inti dari kehidupan kita adalah perbuatan kita. Apa yang telah kita lakukan, akan kita lakukan..Tidak penting apakah nantinya perbuatan itu akan menguntungkan kita atau tidak, yang jelas adalah bahwa perbuatan itu positif dalam koridor moral.

Seringkali orang termangu ketika mendapatkan hambatan atau tantangan. Boleh-boleh saja termangu tetapi jangan lama-lama. Bangkit dan berbuatlah, jangan pernah menyerah. Orang itu gagal ketika mereka berhenti, putus asa dan termangu meratapi kegagalan. Wise man said that you never fail until you stop trying..

Tidak dapat dipungkiri, tidak semuanya dapat kita raih di dunia ini. Tidak semua mimpi kita akan menjadi kenyataan, tidak semua harapan terkabul…Maka dari itu ada yang namanya pilihan, konsekuensi dan usaha. Tidak ketinggalan adalah doa dan selalu berpijak pada kenyataan. Ketika kegagalan datang, itu adalah cobaan..apakah kita kuat menerimanya..ketika kuat dan ternyata kita tidak berhenti, maka mental kita telah terasah untuk tantangan lebih lanjut.

Ada banyak orang yang kagumi tetapi untuk yang ini ada dua orang anak manusia yang saya kagumi. Yang satu adalah Partahi Mamora Lumban Toruan (Mora), yang lainnya adalah ibunya (ibu sambungnya), saya lupa namanya. Saya tidak pernah mengenal orang-orang tersebut selain dari media massa yang meliputnya. Mora adalah mahasiswa tingkat doctoral dari Indonesia yang kuliah di Virginia Tech, USA. Dia meninggal tertembak ketika ada mahasiswa asal Korea yang terganggu jiwanya menembak secara brutal mahasiswa dan dosen di kampus tersebut.

Saya kagum padanya karena begitu bersemangatnya untuk bersekolah dan memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Sedangkan ibunya yang notabene adalah ibu tirinya (ibu kandungnya meninggal ketika Mora masih kecil karena kecelakaan) benar-benar menyayanginya melebihi apapun. Ibunya tersebut yang membiayai sekolahnya di Amerika bahkan sebelum peristiwa tersebut, sudah akan menjual tanah warisan dari orang tuanya untuk membiayai sekolah Mora yang hampir selesai. Begitu besar kasih bunda…begitu semangatnya untuk keberhasilan putranya bahkan untuk seorang anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Begitu keji, orang yang telah memisahkan mereka bahkan dengan cara biadab seperti itu.

Cerita ibu-anak tersebut sangat menyentuh hati saya, saya membayangkan Papa-Mama saya yang telah berjuang susah payah sehingga saya menjadi seperti ini. Mereka tidak pernah meminta bantuan materi pada orang lain untuk membesarkan dan menyekolahkan saya. Kasih mereka tidak akan pernah dapat terbalaskan oleh saya, sampai kapanpun..So, hidup saya, perbuatan saya, apapun yang saya lakukan saat ini, semuanya adalah sebagai balas budi saya pada orang tua dan akan selalu saya dedikasikan untuk mereka, yang terutama ...