Selasa, 29 Juli 2008

PICTURE PERFECT

Setiap manusia ditakdirkan untuk saling berpasangan sehingga tercipta suatu harmoni diantara mereka. Ketika Tuhan menyatukan dua insan, tidak seorangpun manusia yang dapat memisahkannya.

Anda percaya jodoh? Dulu waktu saya remaja, saya tidak begitu percaya. Rasanya kok too good to be true..Memang di dalam agama sudah tertulis bahwa yang namanya lahir, jodoh dan mati merupakan kekuasaan penuh Yang Di Atas. Tetapi ketika hal itu terjadi sendiri pada saya, mau tidak mau saya benar-benar percaya akan sejatinya perjalanan jodoh itu. Tidak mudah memang tetapi juga bukannya tidak mungkin.

Dari dulu, saya berharap bahwa jodoh saya adalah orang dari suku lain (saya keturunan Jawa-Minang) supaya bisa lebih tahu tentang Indonesia, selain itu orang tersebut dapat membimbing saya, mengatasi semua ketakutan saya dan benar-benar paham akan diri saya. Saya sendiri tidak yakin ada figur orang yang benar-benar memahami saya—karena saya merasa berbeda dari kebanyakan orang, terutama waktu itu teman-teman sekolah dan teman sebaya saya. Tetapi believe or not, ternyata orang itu memang ada, dan telah diset oleh Tuhan menjadi pendamping saya. Dan lucunya dia adalah teman saya satu angkatan—walaupun saya dan dia tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

Ketika perjalanan jodoh saya sudah sampai, semuanya (kecuali berharap asal dari suku lain yang tidak terpenuhi) akhirnya menjadi kenyataan. Dan yang menjadi dasar kepercayaan saya akan jodoh itu ada adalah suami saya adalah teman seangkatan saya waktu SMP yang tidak pernah saya kenal sebelumnya bahkan ketika kami bertemu setelah 10 tahun kemudian. Kata Papa, itulah “retak tangan kamu” (garis tangan-takdir).

Saya dari mulai lahir sampai bekerja di Semarang, sementara dia sudah melanglang buana kemana-mana semenjak lulus SMP. SMA nya dia tempuh di Magelang (dia satu-satunya wakil dari SMP kami di SMA Taruna Nusantara), kuliah bahkan hingga S2 di Bandung sementara bekerja di Jakarta. Dia yang hampir tidak pernah pulang Semarang, kok ya pulang ke Semarang waktu kami bertemu untuk pertama kali. Saya jadi semakin yakin bahwa ada campur tangan Tuhan didalamnya.

Banyak teman SMP yang terbengong-bengong waktu mendapat undangan pernikahan kami atau mendengar kami bersama. Soalnya di SMP dulu, kami memang tidak pernah mengenal bahkan tidak pernah bertegur sapa. Saya orangnya serius, sementara dia lebih-lebih lagi, dobel serius… Memang kalau dipikir-pikir, too good to be true juga. Sahabat saya (selama 23 tahun hingga sekarang ini) yang mengenal kami berdua juga sangat kaget mendengar kebersamaan kami. Teman yang lain bilang, “Ketemu pirang perkoro kok iso dadi karo deknen?” (Ketemu berapa perkara kamu kok bisa jadian sama dia--ungkapan yang lazim diucapkan oleh orang Jawa kalau merasa keheranan, takjub dsb). Bisa dibilang kami malah mulus-mulus aja, tidak terlalu ada masalah berarti. Mungkin dia memang sudah jodoh saya sejak dari dulu, yang harus melewati puluhan tahun baru bisa ketemu.

Dan anehnya, memang setelah bersama dengan dia terutama semenjak menikah rasa-rasanya saya menjadi semakin berani. Bayangkan, saya yang dari dulu berkutat di Semarang, mengambil lompatan yang jauh tak terduga untuk mengambil S2 bahkan sampai S3 di UI, di Jakarta, suatu tempat dimana dulu semenjak kecil saya benar-benar anti dengan daerah ini. Bukan apa-apa, tetapi berita yang negatif dan tiap kali datang ke Jakarta selalu pusing dan stres soal macet dsb.

Begitu juga harapan saya soal keliling Indonesia (minus Papua) akhirnya dapat terpenuhi walaupun suami bukan dari suku lain, karena suami bekerja di maskapai penerbangan maka tiap waktu kami dapat pergi dengan memanfaatkan fasilitas konsesi (tiket gratis atau potongan harga). Bahkan tanpa konsesi kemudian kami tetap melakukan perjalanan ke tempat yang hendak kami tuju. Saya yang dulu rasanya selalu enggan untuk melakukan perjalanan jauh karena terbayang bagaimana ribetnya, repotnya melakukan persiapan, dengan adanya suami (yang semenjak SMA nya yang semi militer tersebut terbiasa packing secara ringkas dan praktis) berani untuk melakukan perjalanan semi back-packer. Hanya dengan membawa satu ransel untuk kami berdua dan keliling kota dengan menggunakan angkot. Bahkan ketika mencari makanan khas, oleh-oleh atau souvenir tertentu di suatu daerah.

Ketika orang sering menyebut tentang soul mate (belahan jiwa), sepertinya itupun yang saya rasakan terhadap suami saya. Beberapa hal jika ditanyakan pada suami saya maka jawaban yang sama akan meluncur dari saya. Banyak pandangan dan penilaian terhadap sesuatu hal hampir bisa dipastikan sama. Ketika satu orang tidak ada, maka yang lainnya akan merasa kehilangan. Bukan kami tidak ada perbedaan, bahkan banyak perbedaan diantara kami tetapi kami merasa perbedaan itu bukanlah untuk digembar-gemborkan tetapi adalah untuk saling melengkapi dan memperkaya kehidupan kami dalam berumahtangga.

Picture perfect—pada dasarnya tidak ada satupun manusia di dunia ini yang sempurna. Bahkan dari ketidaksempurnaan itu merupakan gambaran betapa perfect-nya dunia ini dimana kita masing-masing dapat saling menghargai, toleransi, menjaga, melengkapi dan memperkaya. Bayangkan saja jika Indonesia ini hanya terdiri satu suku saja, satu budaya, rambutnya keriting semua, kulitnya kuning semua..ah betapa bosannya wisatawan yang datang, hanya satu hari datang, sudah habis yang akan dilihat..Justru dari perbedaan itu muncul suatu peluang modal untuk membangun. Begitu juga dengan rumah tangga..

LULLABY

Lullaby and good night..with roses delight..with an angel in star…They will guard the from harm…etc..etc.. Anda tahu lagu Lullaby? Lullaby adalah lagu nina bobo untuk anak-anak. Menurut saya pribadi, lagu ini sangat meneduhkan, menenangkan dan cocok dengan kebutuhan anak kecil yang akan berangkat tidur. Lagu ini sangat syahdu, syairnya tentang guardian angel yang akan selalu menjaga mereka selagi mereka tidur.

Saya sendiri memiliki pengalaman yang mengesankan terkait dengan lagu Lullaby tersebut. Saya masih ingat hari itu, tanggal 4 Januari 2005 pukul 07.00 di pagi hari. Hari itu merupakan salah satu hari besar bagi saya karena saya akan melahirkan anak saya yang pertama di RS St Elisabeth, Semarang.

Saya harus menjalani operasi caesar, dimana seumur-umur usia saya saat itu (selama 27 tahun), baru kali itu saya menjalani operasi. Sebelumnya sama sekali belum pernah. Sampai tante saya yang menjenguk bilang, “Kasihan Puti, seumur-umur tidak pernah operasi, sekali melahirkan harus operasi”.

Menghadapi operasi, saya merasa biasa-biasa saja, tidak ada perasaan takut atau apa. Saya pikir yang harus terjadi ya terjadilah..Bahkan ketika masuk rumah sakit sehari sebelum dioperasi, saya sempat ditanya suster apakah akan dibius epidural atau total. Saya sendiri bilang terserah, baiknya bagaimana. Saya sama sekali tidak mengira kalau dengan dibius epidural, jika tidak siap melihat darah, misalnya, bisa membahayakan karena tekanan darah dapat naik-turun dan berbahaya. Untunglah, dokter anestesi saya (Profesor Naryo, beliau yang menangani sendiri) waktu itu sebelum operasi, menjenguk saya di kamar dan memberikan penjelasan pada saya sehingga sayapun mengambil keputusan untuk dibius total karena bagaimanapun juga saya tidak siap melihat darah.

Proses kesakitan sudah dimulai ketika harus dipasang kateter di lubang kencing. Saya sampai menangis dibuatnya. Kemudian ketika dibawa ke ruang operasi, suasana dingin menyergap karena pengaruh AC yang sedemikian dingin dan ruangan operasi yang rasanya, menurut saya waktu itu berwarna biru. Tidak tahu apa yang menyebabkan saya merasa demikian.

Ketika sampai di ruangan operasi di lantai dua dengan melewati lift, saya baru kali itu melihat ruangan operasi dan segala macam peralatannya. Sampai kemudian, saya dihampiri dokter anestesi saya, Prof Naryo dan diajak mengobrol. Beliau sangat kebapakan dan mungkin karena sudah berpengalaman, mengetahui keresahan saya sehingga saya terus diajak mengobrol.

Saya ditanya siapa dokter kandungannya, ketika saya jawab, “dokter Lilien” beliau langsung bilang, kalau dokter Lilien biasanya datang tepat waktu. Saya sempat tanya kok biusnya masih belum bekerja, beliaupun dengan sabarnya menjelaskan hingga dokter Lilien datang. Ketika dokter Lilien menyapa saya, “Selamat pagi Bu Puti..” tahu-tahu saya sudah tidak sadar…(saya sampai sekarang masih heran, kok ya bisa pas waktunya).

Sewaktu saya sadar, saya sama sekali tidak ingat kalau waktu itu saya habis melahirkan. Pengaruh bius yang sudah mulai hilang sedikit demi sedikit, membuat segala rasa sakit yang tidak terperikan mulai timbul. Pandangan saya yang masih kabur hanya melihat seliweran orang-orang yang memakai baju operasi, semuanya serba biru. Kemudian baru saya tahu kalau saya berada di ruang pemulihan. Di samping saya, ada seorang ibu yang sepertinya masih belum sadar, entah habis operasi apa (kemudian juga, saya tahu kalau ibu tersebut habis operasi gigi). Antara sadar dan tidak, saya tanya pada perawat yang lewat, anak saya laki-laki apa perempuan, sehat tidak, lengkap tidak dan dijawab oleh seorang perawat laki-laki kalau anak saya perempuan, sehat dan lengkap. Waktu itu rasanya sangat lega…tetapi sakit ini makin menjadi-jadi..

Perasaan saya waktu itu mengharu-biru dan ditambah rasa sakit, membuat air mata terus mengalir.. Para perawat yang ada sampai bingung kok saya masih menangis. Sampai kemudian Prof Naryo datang lagi menghampiri saya dan bilang kalau dia sudah banyak memberikan bius pada saya sehingga tidak bisa memberikan bius lagi, karena kalau ditambah lagi, bisa-bisa kelebihan dosis. Rupa-rupanya tubuh saya termasuk “liat” sehingga perlu bius yang lumayan banyak.

Saya kemudian minta ketemu dengan suami dan keluarga saya, tetapi perawat-perawat itu bilang, “Belum boleh ibu, ibu tunggu dulu sampai benar-benar sadar”. Kata-kata “belum boleh” itu semakin menekan perasaan saya yang waktu itu sudah benar-benar tidak karuan.

Di saat-saat yang sangat menekan dan membuat sedih itu, percaya tidak percaya, waktu itu saya mendengar rasa-rasanya ada yang bersiul menyanyikan Lullaby. Saya tidak tahu siapa karena tidak ada yang berada di dekat saya. Tapi siulan itu terasa sangat dekat dan membantu saya, karena saya tanpa disadaripun ikut menyanyi mengikuti siulan tersebut. Sampai akhirnya hati ini berangsur tenang, rasa sakitpun teralihkan hingga kemudian suara itu kemudian sayup-sayup hilang. Dan karena sudah sadar, sayapun dibawa keluar menuju kamar saya.

Berbulan-bulan sejak itu, saya masih terkenang akan Lullaby. Ketika Mama saya beli kaset yang didalamnya ada lagu tersebut, saya baru mengerti akan maknanya. Tentang malaikat-malaikat penjaga yang akan selalu melindungi. Apakah mungkin waktu itu malaikat penjaga saya yang menenangkan saya? My guardian angel? Wallahualam Bisawab…Allahu Akbar, Tuhan benar-benar Maha Besar…

SEE..? I’VE TOLD YOU SO

Benar kan? Apa kubilang? Ih… saya benar-benar sebel, bahkan jengkel ketika harus mengucapkan kata-kata itu. Apakah sering saya mengucapkan kata-kata itu? Wah…ngga kehitung. Biasanya ya itu kalau kita sudah ada “feeling” atau “intuisi” , hal ini biasanya muncul dari lubuk hati yang paling dalam dan berfungsi untuk melindungi kita dari kesalahan, kekecewaan atau yang lebih parah lagi.

Kadang-kadang tanpa kita sadari, conscience, hati nurani atau apalah itu, sudah mengirim sinyal kepada kita tentang sesuatu. Entah baik atau buruk, tentang seseorang atau sesuatu hal. Tetapi kadang-kadang kita memilih untuk mengabaikan bahkan meniadakan. Manusiawi memang, tetapi kembali lagi tergantung apa permasalahannya. Setiap orang memiliki conscience seperti halnya moral, tergantung apakah orang itu akan mengabaikan atau menggunakannya dengan baik untuk tujuan yang baik atau sebaliknya.

Berkali-kali perasaan saya tentang seseorang itu selalu benar, bahkan sebelum saya mengenalnya. Bukan berarti kemudian, saya adalah cenayang, yang tahu sebelum terjadi. Saya pikir, setiap orang dapat merasakan conscience-nya tergantung kepekaan masing-masing, dan yang terpenting adalah kemauannya untuk merasakan atau mengabaikan. Seringkali conscience itu terpatahkan oleh anggapan umum atau kenyataan waktu itu dan yang paling sering adalah pandangan atau pendapat pihak-pihak atau orang yang kita hormati atau segani.

Pernah, saya harus mengabaikan conscience itu karena ada pendapat orang, orang yang saya hormati. Saya waktu itu malah jadi berpikir, mungkin saya terlalu berprasangka. Ah..saya kok waktu itu jadi merasa menjadi orang yang jahat sedunia, karena berani “menghakimi” orang (padahal masih di dalam hati, jadi yang tahu hanya saya seorang). And you know what? Damn…, I was right.. Conscience saya berteriak pada saya..See? I’ve told you so…

Hal diatas adalah pertempuran saya dengan conscience saya. Masih lebih ringan karena hanya dealing dengan diri sendiri. Tetapi yang urusannya berkaitan dengan orang lain biasanya jauh lebih berat. Sering terjadi adalah pertempuran saya dengan orang-orang terdekat saya tentang seseorang (kebanyakan menyangkut orang sih, soalnya kalau sesuatu kan tidak terlalu signifikan atau “berulah” seperti manusia).

Saya ngotot karena saya merasa sayang dengan orang-orang dekat saya tersebut. Saya tidak rela kalau mereka terluka oleh orang lain, yang jelas-jelas saya sudah “rasakan” pada orang tersebut. Ketika hanya kita yang merasa seperti itu, tentunya butuh effort yang sangat besar untuk tetap teguh dengan pendirian kita.

Perasaan yang hadir memang tidak dapat digambarkan oleh kata-kata secara konkrit. But, somehow I knew that I was right..Tetapi sekali lagi, karena pendapat, pandangan dari orang-orang yang saya hormati pendapatnya mengatakan, “Ah..ngga mungkin..saya kan tahu dia..wong dia penampilannya seperti itu..and bla..bla..bla.. “(Ini semakin menguatkan Don’t ever judge book from its cover, looks can deceive), Ya sudah, saya tunduk, mungkin saya yang salah...saya terlalu berprasangka..etc..etc..Guess what?…Tuhan Maha Pengasih…Dia tahu saya tidak serendah itu, saya bukan tipe orang yang sejelek itu berprasangka. At the end…Dia tunjukkan kuasaNya, mungkin lewat pihak lain bahwa saya benar..

Ada satu kasus yang benar-benar telah melelahkan saya secara psikis. Saya tidak peduli dengan yang bersangkutan tetapi orang itu telah melibatkan orang-orang terdekat saya. Ya sudah, insting warrior saya mulai terusik.. Ya saya akan bertindak kalau menyangkut orang-orang yang saya cintai, whatever happened. Dan bagaimanapun…kebenaran akan selalu muncul, entah itu sooner or later, tetapi hal itu akan selalu terungkap. Trust on me…Never ever ignore your conscience…deep inside you’ll know that it’s always right..so you’ll never regreted in the end..

Jadi jangan lagi seperti saya, yang selalu diteriakin…SEE…,I’VE TOLD YOU SO…

LIFE IS SO FRAGILE

Setelah usia bergerak dewasa, saya merasakan bahwa mata ini seringkali berair. Mata yuyu, orang Jawa bilang yang artinya mata kepiting. Sering merasa tersentuh oleh berbagai peristiwa sehingga menyebabkan air mata. Benar..banyak peristiwa yang seringkali membuat sedih bahkan membuat menangis.

Saya masih ingat ketika dulu SMA kelas 3, ada siswa baru yang akan datang, tetapi masih dalam kondisi sakit sehingga harus pindah dari sekolahnya dulu, yang kebetulan memang sekolah terpandang di Indonesia dimana seleksinya sangat ketat. Namanya Gabriel Probo (setelah saya menikah, saya baru tahu kalau ternyata dia adalah kakak angkatan suami saya, yang sama-sama dari Semarang).

Walaupun namanya sudah ada di daftar absen (kebetulan waktu itu saya sebagai sekertaris di kelas saya) tetapi sang teman tidak pernah kunjung datang. Waktu itu, wali kelas saya bilang dia sakit leukemia dan masih berobat bolak-balik ke rumah sakit. Saya sempat datang ke rumah sakit, tempatnya dirawat inap tetapi yang bersangkutan masih tidur sehingga saya dan teman saya hanya bisa melihat dari luar kamar dan berbincang dengan kakak perempuannya. Kakaknya bercerita, betapa adiknya itu memiliki semangat yang tinggi untuk sembuh dan bisa bersekolah lagi dan betapa keluarga mereka berusaha mati-matian untuk mengobati Gabriel (waktu itu kami berdua memanggilnya, bahkan teman saya memanggilnya “Bobo”, ternyata menurut suami, panggilan di SMA adalah “Probo”).

Sampai suatu hari, harapan Probo untuk bersekolah pupus sudah. Yang Maha Kuasa telah memanggilnya untuk meringankan penderitaannya. Saya merasa sangat kehilangan (walaupun sama sekali belum pernah mengenalnya, hanya pernah melihatnya tidur dari luar kamar), saya sangat menyayangkan kepergiannya yang begitu dini, di tengah semangatnya untuk kembali bersekolah dan juga semangat orang tuanya untuk memperjuangkan kesembuhannya. Mengapa Tuhan mengambilnya? Sementara banyak sekali orang-orang muda, tunas-tunas bangsa yang menyia-yiakan kehidupannya bahkan menjadi beban orang tua dan bangsa ini. Mengapa bukan mereka saja?

Waktu itu, saya yang masih sangat muda, masih sweet seventeen, masih sering bertanya-tanya tentang hal itu…bahkan sampai sekarang. Mungkin banyak yang bilang, kamu masih SMA, having fun aja, kenapa memikirkan yang tidak ada hubungannya dengan kamu? Tidak tahu, dari dulu mungkin saya memang serius, makanya mungkin tidak cocok dengan kebanyakan anak SMA waktu itu banyak yang doyan hura-hura, main-main.

Bahkan di hari pemakamannya, saya bisa melihat betapa rumahnya sangat sederhana dan sesuai dengan cerita kakaknya bahwa orang tua mereka sudah habis-habisan. Mebel di rumah mereka sudah banyak yang dijual untuk menutupi biaya pengobatan. Saya tidak bisa melihat wajahnya karena ketika kami datang melayat, jenasahnya sedang didoakan menurut Katolik, agama yang dianutnya.

Ketika teman-teman saya banyak yang tidak begitu peduli (pada akhirnya memang mereka tidak dapat saya salahkan sepenuhnya karena pada dasarnya mereka memang tidak mengenal Gabriel dengan baik), saya yang berdiri di bawah pohon depan rumahnya, berkali-kali menyusut air mata yang selalu jatuh berderai, mengenang seorang teman yang bahkan tidak pernah saya kenal sebelumnya..mengenang semangatnya untuk sembuh dan sekolah.. Bahkan hingga seminggu setelah pemakamannya, sebelum tidur malam, saya masih menangisi dan tidak lupa untuk selalu mendoakannya..meminta Tuhan untuk selalu menjaganya…Padahal I barely didn’t know him

Semenjak itu, saya menyadari bahwa kehidupan ini sangatlah rapuh. Life is so fragile.. Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan akan kehidupan kita. Yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik mungkin yang kita bisa dan selalu memasrahkan segala usaha kita kepada Tuhan, karena Dia-lah pada dasar sang empunya kehidupan. We must try and do ourbest and let God does the rest…

STOCKHOLM SYNDROME

Saya tahu tentang Stockholm Syndrome tidak terlalu lama terutama semenjak kuliah S3. Banyak hal yang terkait dengan Stockholm Syndrome terutama tentang manusia dan hubungannya dengan manusia lain. Stockholm Syndrome adalah sindrom seseorang yang membelenggukan diri dengan penyandera – bisa tanda kutip pada kata penyandera.

Masih ingat film James Bond “The World is Not Enough” ? Di film itu ada tokoh yang bernama Elektra King yang anak seorang triliuner minyak dunia dan ayahnya merupakan teman dari M, atasan Bond. Elektra adalah contoh paling jelas tentang kasus Stockholm Syndrome.

Elektra ketika remaja diculik oleh penjahat, yang pada akhirnya malah mencintai sang penculik, dan marah kepada ayahnya yang sepertinya tidak peduli – dan di akhir cerita terungkap bahwa yang mengotaki pembunuhan ayahnya dan master mind dari segala konspirasi tersebut adalah dia, Elektra.

Bond dan M yang awalnya terenyuh dengan penampilan Elektra, yang terlihat rapuh dan tidak berdaya dan bertindak melindunginya sontak kaget melihat sosok yang beringas dan menyimpan dendam bahkan memanipulasi sang penculik yang menjadi kekasihnya untuk melakukan apapun yang dimintanya termasuk mengorbankan dirinya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah itu tidak ada di Indonesia? Jawabannya ternyata banyak, tentu saja tidak seekstrim Elektra tetapi simpul kasusnya hampir sama. Hal ini ternyata banyak dialami oleh wanita, yang secara struktur sistem masyarakat kita berada di posisi subordinat.

Sekarang ini banyak kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang terjadi di Indonesia. Kekerasan itu tidak hanya berbentuk fisik tetapi juga psikis. Dengan berkembangnya jaman, posisi tawar wanita sekarang semakin tinggi. Sudah banyak wanita yang mengisi posisi puncak dalam instansi tempatnya bekerja. Tidak sedikit pula masalah yang terjadi dengan maraknya dengan kenyataan tersebut.

Stockholm Syndrome terjadi karena banyak wanita pula yang menemui adanya fenomena glass ceiling, setinggi apapun yang selalu ada saja hambatan yang “kasat mata” – sehingga diumpamakan sebagai atap kaca, karena kita dapat melihatnya tetapi seakan-akan susah untuk menjangkaunya.

Lagi-lagi, masalah yang sama dan klasik yaitu urusan domestik rumah tangga, keluarga dan anak. Dan parahnya lagi, yang membuat segalanya memburuk juga berasal dari kaumnya sendiri, sesama wanita, entah itu tetangga, keluarga, teman kerja atau siapapun yang merasa iri akan keberhasilan kaumnya. Sangat dimengerti, tingkat kecemburuan wanita terhadap wanita biasanya lebih tinggi dibanding terhadap pria. Pria sukses di karir itu biasa, kalau wanita bisa jadi berita..

Sindrom mulai terjadi ketika wanita mulai “mengalah” atau takut menjadi sorotan kalau berhasil. Ketika mengambil peran tidak berdaya (seperti banyak stereotip tentang wanita), maka sang wanita mengambil sikap dependen terhadap sosok yang lebih memiliki power (dalam hal ini si pria), dan terjadilah Stockholm Syndrome tersebut.

Saya jadi ingat suatu kasus. Ada seorang wanita, sebut saja W. Dia anak bungsu, seorang sarjana dan pegawai negeri. Sampai usia yang hampir mendekati setengah abad, dia masih single. Ketika ada upaya untuk mencari jodoh lewat seseorang yang memiliki kemampuan spiritual (sebut saja F) ternyata W ini dalam rentang waktu yang cukup lama, jatuh cinta pada F. Dari pihak keluarga W mengecap bahwa F yang “menguna-gunai” W sehingga W seperti lupa daratan. Apalagi sosok W yang sepertinya rapuh, tidak berdaya dsb. Sementara F seperti gold-digger, pencari wanita-wanita bekerja yang dapat dikibuli untuk diperas uangnya. Status F sendiri juga menikah dengan anak yang banyak.

Ingat kan seperti siapa kasus W di atas? Benar, mirip banget dengan Elektra. Kalau anda sendiri mengikuti kasusnya, andapun akan mengira sama seperti banyak “penonton” lain. Ketika saya menelaah lebih lanjut, sampailah saya pada kesimpulan Stockholm Syndrome tersebut. Kemudian saya ingat ulasan Monty Setiadharma di Femina dimana kebetulan latar belakang W semenjak dulu sangat bergantung pada ayah dan kakak-kakaknya. Tidak pernah benar-benar mandiri.

Sosok F yang gold-digger, saya pikir tidak perlu dibahas karena ternyata banyak korbannya yang dapat lepas. Ketika kekuatan yang bukan kekuatan Tuhan beraksi, hal tersebut akan ada limitnya karena yang abadi hanya yang berasal dari Tuhan. Jadi “hal itu” akan ada batas expired-nya, akan tetapi ketika “hal itu” masih berjalan bahkan setelah sepuluh tahun berjalan maka yang terjadi adalah Stockholm Syndrome.

Saya bukan seorang feminis sejati tetapi saya juga paling benci ketika orang, tidak peduli wanita atau pria sudah “kalah sebelum berperang”. Yang penting adalah usaha kita. Nasib kita bukan orang lain yang menentukan tetapi kita sendiri, tentunya dengan perkenaan ijin Tuhan.

Orang sering mendramatisasi dirinya seakan-akan dirinya itu yang paling menderita, penderitaan orang lain tidak apa-apanya. Padahal banyak orang yang menderita tetapi tidak pernah mau menyerah, selalu berusaha bahkan untuk kehidupan yang lebih baik. When there is a will, there is a way…

Orang harus mempunyai tujuan yang jelas dalam hidup, sehingga dalam perjalanan hidupnya yang berliku itu dia tetap fokus terhadap tujuan hidupnya. Ketika dia tidak memiliki purpose of life, guess what..? You’ll know when and where there’s end up…

MY FUNNY FRIEND AND ME

Persahabatan terjadi ketika seseorang menemukan kecocokan dan kesamaan dalam cara berpikir, hobi dan pembicaraan. Persahabatan membutuhkan rasa saling toleransi, saling menghormati dan hal itu akan melewati sekat-sekat perbedaan berupa agama, suku, ras dan budaya. Itulah yang terjadi antara saya dan sahabat-sahabat saya.

Yang paling spektakuler adalah saya dan Mira, sahabat saya. Persahabatan kami pada tahun 2008 ini telah memasuki usia ke-23 tahun. Olok-olok diantara kami mengemuka bahwasanya jika misalnya kami adalah pasangan berbeda jenis dan menikah, pasti sudah hampir memasuki usia perkawinan perak dan anak-anak kami tentu sudah besar-besar.

Saya dan Mira memiliki perbedaan mendasar yaitu agama, tetapi hingga 23 tahun persahabatan, tidak pernah sekalipun kami berselisih soal itu. Perbedaan itu tidak untuk diperdebatkan apalagi diperselisihkan. Saya begini, dia begitu tetapi pada akhirnya akan ada yang mempersatukan, yaitu rasa kasih dan sayang antar sesama umat manusia dan hamba Tuhan.

Tidak seperti peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Toleransi kami sangat kuat. Begitu juga dengan sahabat-sahabat saya ketika kuliah. Mereka berasal dari etnis, agama dan latar belakang yang berbeda. Saya sering berpikir, jika kami bisa bersatu (seperti yang diharapkan oleh Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika), kenapa yang lain tidak bisa? Kalau kita, bangsa Indonesia ini bersatu, saya pikir, negara manapun tidak akan bisa mengusik keberadaan kita sebagai negara yang berdaulat. Dan ketika bangsa ini bersatu, kekuatannya akan benar-benar tidak terhingga.

Kembali ke persahabatan saya dan Mira. Kami sama-sama senang membaca buku, menonton film terutama silat Hongkong klasik. Saya masih ingat ketika kami berada di SD dan SMP yang sama, kami sering berkirim surat dengan inisial dan nama tokoh yang kami sepakati bersama (Patricia O’Hara, Marvelia Chalmers, Vassilisa…dsb…), kadang-kadang ditambah dengan bonus entah itu sticker, cerpen lepas atau jepit. Lucunya, bahkan ketika kami duduk sebangku. Bayangkan sudah duduk sebangku, ngomong langsungpun bisa..masih saja pakai surat, tetapi ya itulah kami..

Kami sering bertukar buku cerita, yang waktu itu didominasi oleh Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Empat Serangkai, St Claire, Mallory Towers dan beberapa serial dari Enid Blyton. Pandangan dan prinsip kami sama tentang etos kerja, kerja keras dan pantang menyerah. Dia adalah supporter utama saya ketika melanjutkan sekolah, bekerja maupun ketika menikah. Dia selalu ada untuk mendengarkan saya ketika ada masalah, begitupun sebaliknya.

Bersama dia, saya bisa ketawa ngakak mengingat kelucuan-kelucuan pada saat kami bersekolah, tentang orang-orang, peristiwa tertentu dsb. Uniknya lagi, dia di mata keluarganya adalah orang yang sangat serius, jarang banget tertawa lepas dan sangat tertutup. Tetapi kata mereka, dengan saya, dia bisa lebih terbuka dan ya itu…bisa ketawa ngakak keras-keras…

Ketika saya merasa ada pressure dalam bekerja dan saya berusaha untuk tetap berbuat baik di jalur yang benar, selain pada keluarga, kepada dialah saya berkaca, bahwasanya saya masih Puti yang dulu, yang mempunyai idealisme yang sama dan tidak ada perubahan yang negatif dalam diri saya. Dialah cermin saya, yang dapat memperlihatkan siapa jati diri saya sesungguhnya. Apakah akan berubah, menjadi “orang lain” seperti halnya orang-orang lain yang saya kenal ketika mereka menghadapi tekanan ataukah bahwa deep inside, saya yang dulu tetaplah masih ada.

Bagaimana tidak, 23 tahun kami bersahabat, kami sama-sama saling tahu semenjak kami masih kecil. Kami sama-sama serius dan tidak pernah berpura-pura satu sama lain. Kami adalah Puti dan Mira yang sama sejak 23 tahun yang lalu. Walaupun ketika kami pernah berpisah di SMA, kuliah, bekerja bahkan ketika saya sudah berkeluarga dan punya anak.

Di era sekarang ini, kadang-kadang sikap muna (fik..) seringkali paling efektif dikedepankan sebagai jalur pembebasan dari tekanan akan kompetisi kerja yang tidak sehat. Kebanyakan dari kita pasti sering melihat dan mungkin bahkan mengalami sendiri fenomena tersebut. Kita menjadi tidak tahu mana kawan mana lawan, apalagi di budaya yang serba “sungkan” seperti di Jawa ini. Selain suami dan keluarga, dialah yang mampu mengembalikan keseimbangan saya. Saya menjadi “balance” lagi, saya menjadi semakin yakin lagi kalau saya tidak pernah berubah…

Hanya saja sekarang-sekarang ini setelah saya sekolah kembali di Jakarta, perjumpaan kami menjadi berkurang karena kesibukan masing-masing. Tetapi kami masih saling ketemuan. Lucunya, dia mengikuti jejak saya untuk meraih gelar master di Semarang. Supporter utamanya selain keluarganya, tentu saja saya… Kesibukan dia bertambah dengan menjadi pengelola perusahaan keluarga, bisa dibilang sekarang dia menjadi young executive lady. Benar-benar unbelieveable…Setelah ditempa beberapa masalah intern maupun ekstern, kami berharap dapat menjadi wanita yang tangguh..tidak hanya untuk keluarga saja, tetapi juga untuk masyarakat sekitar kami.

What can I say at this term? A friend in need is a friend in deed... That’s all about My Funny Friend and Me…

Rabu, 16 Juli 2008

LONG LIFE EDUCATION

Orang tua saya adalah salah satu alasan terbesar saya untuk hidup, berkarya dan memberikan yang terbaik buat mereka dan masyarakat. Saya ingat Papa saya berkata bahwa beliau tidaklah ingin harta kekayaan tetapi yang sangat beliau inginkan adalah satu, saya tidak pernah kekurangan harta yang berbentuk ilmu pengetahuan. Karena menurut beliau, harta kekayaan tidaklah abadi sementara jika ilmu pendidikan tidak akan lekang oleh sang waktu, akan selalu memberi manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain bahkan jika nantinya kita telah tiada. Pahalanya akan selalu terus mengalir.

Keluarga kami bukanlah keluarga yang kaya tetapi kami selalu mengutamakan pendidikan sebagai sarana untuk mematangkan diri. Amanat dari eyang kakung saya (kakek dari mama) juga turut menguatkan saya untuk meneruskan pendidikan saya. Ada semacam ‘great expectation’ dari beliau ke anak keturunannya untuk pendidikan setinggi-tingginya. Dan beliau melihat hal itu hanya bisa diwujudkan oleh mama dan saya. Bukan berarti yang lainnya tidak sanggup tetapi lebih karena yang lebih concern terhadap pendidikan adalah keluarga kami.

Jadi ketika saya kemudian bekerja menjadi guru di suatu perguruan tinggi dan mampu melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat doctoral, betapa suka hati beliau. Jika banyak orang melanjutkan ke tingkat doctoral hanya supaya pangkatnya tidak mentok dan alasan materi lain, maka alasan terbesar saya adalah untuk membahagiakan orang tua. Maka karena sudah diniatkan, semangat saya adalah jihad. Dan ketika saya membaca buku “The True Life of Habibie” ternyata beliaupun seperti saya ketika pertama kali ke Jerman. Memenuhi permintaan ibunda untuk sekolah di sana dan kemudian cepat pulang untuk mengabdi ke negeri tercinta.

Terus terang, jalan yang saya hadapi sangat berliku. Jika niat saya hanya untuk hal yang bersifat materi, mungkin saya sudah putus harapan di tengah jalan. Tantangan bahkan hambatan sudah menunggu di tikungan jalan tempat saya berjalan. Sebanyak orang suka pada kita maka sebanyak pula yang tidak suka. Itu suatu hal yang lumrah apalagi jika menyangkut manusia (human factor) dan kembali lagi menyangkut hal yang bersifat materi.

Memang benar yang dikatakan para ulama, jalan yang ditempuh untuk sebuah kebaikan tidak semulus jalan yang ditempuh untuk suatu hal yang diniatkan jelek. But the show must go on..seperti yang sudah saya tulis sebelumnya..you must choose..apapun konsekuensi dan resikonya. Dan percaya tidak percaya untuk suatu kebaikan dimanapun kita berada akan selalu ada a guardian angel yang akan membantu kita, siapapun orangnya bahkan orang yang tidak kita sangka-sangka. Ketika Tuhan menutup satu pintu, maka Ia akan membuka dua bahkan tiga pintu yang lain..

Adanya hal-hal yang tidak menyenangkan, berbau sarkasme sering saya jumpai disamping nada-nada pujian, decak kagum dan support. Saya sih tidak ambil pusing karena ya itu tadi, kembali ke masalah komitmen saya kepada orang tua.. Saya juga sangat memaklumi dengan adanya fenomena ‘glass ceiling’. Setinggi-tingginya seorang wanita berpendidikan atau berkarir, kembali yang ditanya selalu saja masalah domestik rumah tangga. Untungnya juga suami adalah benar-benar soul mate saya, sehingga dia tahu benar istrinya dan selalu mendukung setiap langkah positif saya.

Tetapi yang sering saya sayangkan dan prihatin adalah mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan tetapi seringkali mengerdilkan dan cenderung melecehkan makna pendidikan itu sendiri. Tidak jarang saya temui orang-orang tersebut yang tahu saya sedang menyelesaikan S3 saya berkomentar : “Ah, kalau saya sudah tidak bisa mikir lagi, capek, saya S3nya Sluman Slumun Slamet (yang penting selamat) sajalah” , kemudian ada lagi yang bilang : “Nggak kedinginan mbak? Kalau aku es teh ajalah..”

Saya sih bisa paham kalau yang bilang itu bukan dari kalangan pendidikan atau orang-orang tua dari jaman dulu atau dari desa yang kurang terjangkau pendidikan. Tapi hallow..ini orang-orang dari kalangan pendidik, yang mendidik para tunas bangsa yang nantinya akan memegang kendali bangsa ini. Bagaimana jadinya hasil didikan mereka jika tahu dosennya saja tidak memiliki semangat bahkan di bidang mereka sendiri, yang mereka geluti sepanjang hari. Saya sih berharap mereka hanya bernada guyon saja (tapi kok saya agar ragu soal itu, gesture dan body language mereka tidak seperti itu, mudah-mudahan saja saya salah..).

Saya masih sangat optimis bahwa ada pihak yang masih mementingkan soal pendidikan. Bagaimanapun pendidikan adalah hal yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa dan negara termasuk didalamnya pendidikan tentang budi pekerti yang akan dapat membantu mengangkat moral bangsa ketika menghadapi berbagai masalah dan cobaan. Long Life Educationbagaimanapun pendidikan tidak pernah selesai…

THIS IS ABOUT COMMITMENT

Pada suatu hari, saya diajak suami untuk mengikuti kegiatan alumni teman-temannya waktu SMA. Kebetulan saya juga ada kepentingan untuk keperluan tesis S3 jadi ya sekalian.. sambil menyelam, minum air. Dari perjalanan tersebut saya banyak mendapat pelajaran soal komitmen, yang sebelumnya belum pernah saya rasakan. Sepertinya bagi sebagian orang hal ini terlalu klise tetapi saya merasa waktu itu benar-benar menjadi saksi mata sebuah hingar bingar acara yang melibatkan kata ‘komitmen’ tersebut.

Waktu itu ada pemilihan ketua perkumpulan alumni itu. Ada 3 calon yang benar-benar amazing menurut saya,

Calon pertama adalah teman angkatan suami (angkatan ke-3). Seorang doktor lulusan Swiss yang juga memiliki dua titel master dari Jerman dan insiyur dari ITB. Dia bekerja sebagai konsultan dan mengajar di Sama ITB. Wakil-wakilnya adalah adik-adik angkatannya; yang satu (angkatan ke-7) adalah master dari Teknik Kelautan ITB dan bekerja sebagai konsultan sementara yang satunya lagi (angkatan ke-6) adalah seorang insiyur IT dari NTU, Singapura yang juga mengambil master di tempat yang sama.

Calon kedua adalah adik angkatan suami (angkatan ke-5), dosen UI yang sebulan lagi meraih gelar doktornya dari UI. Dia memiliki tim yang solid di angkatannya. Dan pendukung utamanya yang waktu itu juga datang mendukung dirinya adalah putra pertama presiden yang tampil dikawal paspampres.

Calon ketiga adalah kakak angkatan suami (angkatan ke-2) seorang dokter kandungan yang juga dosen di UI yang menggandeng wakil dari angkatan ke-4 yang juga seorang konsultan dan dosen bergelar master di UI.

Melihat komposisi calon-calon ketua sempat membuat saya terbengong-bengong apalagi ketika saya tahu bahwa tidak ada keuntungan yang bersifat materi dengan menjadi ketua. Hare gene..kayak orang cari masalah saja soalnya tugas-tugasnya jelas sangat banyak. Apalagi melihat sebaran anggota yang di seluruh Indonesia bahkan manca Negara.

Tempat Pemungutan Suara (TPS) benar-benar seperti Pemilu beneran tersebar di beberapa daerah seperti Medan, Batam, Singapura, Balikpapan, Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Jogya, Surabaya, Denpasar dan lain-lain, ada tanda cap di jari ketika sudah mencoblos, ada road show kampanye ke daerah-daerah (saya sempat ikut waktu road show di Semarang) bahkan sampai ke Singapura, penggalangan dana kampanye, banner-banner bahkan poster kandidat-kandidat, konsolidasi setiap waktu bahkan silaturahmi ke pendiri-pendiri sekolah, kembali ke sekolah di Magelang waktunya Prasetya Alumni sambil silaturahmi dengan guru-guru dan pamong. Bahkan strategi dan kampanye yang model under ground sudah melampaui politikus asli. Benar-benar membuat kagum..Kalau politikus kan ada maunya kalau membuat move.

Semakin kagum lagi, bahwa tujuan mereka melakukan itu sama sekali tidak karena faktor uang (bahkan mereka harus keluar uang dari kantong mereka sendiri, bahkan pada beberapa kesempatan ada saweran), pangkat apalagi popularitas. Padahal mereka juga orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan keluarganya (kebanyakan mereka adalah keluarga muda dengan satu sampai tiga anak). Mereka berasal dari berbagai kalangan; militer, pengusaha, pegawai, professional, banker, dosen, dokter, pendeta, polisi, insiyur, ekspatriat di luar negeri dan sebagainya.

Banyak diantara mereka yang sudah menduduki top management di lembaganya tetapi masih mau bersusah payah untuk sebuah komitmen. Sebuah komitmen yang mungkin sudah banyak luntur di era masa sekarang ini apalagi pada kaum muda, yang sudah terkikis oleh sang waktu akibat banyak perubahan yang terjadi tetapi masih melekat erat di sanubari mereka. Komitmen memberikan yang terbaik pada lembaga pendidikan (yang sudah memberikan banyak pada mereka) dan akhirnya adalah komitmen pada bangsa dan negara.

Akhirnya, siapapun yang menang tidak ada masalah karena kemudian baik tim yang menang maupun yang kalah sama-sama memberikan apresiasi dan kemudian sama-sama berkonsolidasi untuk segera bertindak sesuai program-program yang telah mereka merencanakan dan mereka buat. Karena bagaimanapun juga tujuan mereka benar-benar satu..This is about commitment…their commitmentJadi ingat JFK, My loyalty to my party end when loyalty to my country begin…

TELL ME AGAIN ABOUT LIFE

Salah satu hobi saya adalah nonton film bioskop. Hobi tersebut ternyata sangat membantu saya memahami beberapa hal yang harus dipelajari ketika kuliah. Kuliah di Psikologi seringkali ada pemahaman-pemahaman yang bersifat ‘abstrak’ dan jarang ditemukan kasusnya di Indonesia. Dengan menonton film, pemahaman-pemahaman tertentu soal istilah dalam Psikologi sangatlah membantu. Seperti pembahasan Psikologi Klinis tentang Multiple Personality Disorder, Schizophrenia Paranoid, Obsesif Kompulsif, Psikopat dan lain-lain.

Dengan menonton film Beautiful Mind yang dibintangi oleh Russel Crowe membantu saya untuk lebih memahami seseorang dengan Schizophrenia Paranoid, dimana ada waham dan sebagainya. Begitu juga ketika melihat film Silence of the Lambs, Hannibal Rising maupun Hannibal dapat memperjelas latar belakang seorang psikopat. Film Never Talk to a Stranger, Separate Lives, Jade juga memberikan penjelasan tentang kepribadian ganda. Film Insting mengetengahkan tema tentang insting dasar manusia, pembahasan Sigmund Freud. Begitu juga serial Profiler dan film Bone Collector yang banyak melibatkan soal forensic psychology.

Saya sangat menikmati film-film yang banyak mengetengahkan unsur psikologi didalamnya. Dengan film juga, saya banyak belajar soal kehidupan. Selain film, membaca buku juga adalah cara untuk mengasah pengetahuan kita soal kehidupan. Dengan mengambil hikmah dari cerita maupun tokoh yang digambarkan, kita dapat memperkaya pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan. Kita tidak mungkin mengalami atau merasakan semuanya sendiri karena waktu kita hidup di dunia adalah sementara, terbatas.

Banyak film yang mengajarkan kita tentang arti kehidupan yang sesungguhnya, bahkan tidak jarang pula yang mengetengahkan berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh seseorang seperti Escape from Huang Zhi, Erin Brokovitz, Diary of Anne Frank, Schindler List dan sebagainya.

Begitu pula buku. Banyak buku yang membuat saya terinspirasi dan membuat semangat seperti buku-buku dari Rhenald Kasali (Change, Re-Code your DNA), Dino Patti Jalal (Pasti Bisa), Ali Alatas (tentang kiprah diplomat Indonesia di dunia). Buku biografi Habibie, Susilo Bambang Yudhoyono, LB Moerdani, Sumitro Djojohadikusumo, Ahmad Yani, Rudy Hartono, Prof. Dr AS Munandar (Sang Guru) dan lain sebagainya. Dalam buku-buku tersebut terselip cerita tentang perjalanan anak bangsa yang patut ditauladani oleh generasi penerus karena didalamnya terdapat semangat pantang menyerah mencapai cita-cita, prestasi, rasa patriotisme dan cinta tanah air.

Saya yakin setiap orang akan menorehkan sejarahnya sendiri. Tinggal bagaimana kita memulai untuk menggoreskan pena di “jurnal” kehidupan masing-masing. Tidak ada kata terlambat, tidak ada proses instan dalam mewujudkan cita-cita, semuanya butuh kerja keras dan semangat pantang menyerah. Semakin matang usia kita, sudah seharusnya semakin bijaksana tindakan yang diambil. So, just tell me again about life…

DADDY’S LITTLE GIRL (Kisah Putri Masako)

Didalam Psikologi, biasanya seorang anak perempuan lebih dekat dengan ayah sementara anak lelaki lebih dekat dengan ibu. Hal itu kemudian diterangkan lebih lanjut oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan teori ‘Electra Complex’ dan ‘Oedipus Complex’.

Siapa tidak kenal Putri Masako? Putri Masako yang nama aslinya adalah Masako Owada adalah permaisuri pangeran Naruhito, pewaris tahta kerajaan Jepang. Tidak seperti putri pada umumnya yang berasal dari kalangan kerajaan, dia berasal dari kalangan orang biasa seperti ibu mertuanya, Putri Michiko (Michiko Sodha). Ayahnya seorang professor yang dihormati di kalangan akademisi di Jepang. Masako memiliki dua adik perempuan. Sama seperti lazimnya dunia timur, sang ayah rupanya sangat mengharapkan anak sulungnya adalah seorang anak lelaki. Ketika mengetahui bahwa anak sulungnya adalah perempuan dan kemudian dua anak lainnya juga perempuan maka secara tidak langsung, sang ayah mendidik Masako dengan sangat keras.

Masako pada dasarnya memang anak yang pintar dan mandiri. Kuliahnya di Harvard (sama dengan mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton) diselesaikannya dengan hasil yang sangat cemerlang. Masako kemudian bekerja menjadi diplomat sehingga seringkali melanglang buana ke luar negeri yang kemudian membentuk kepribadiannya yang sangat terbuka. Ketika Pangeran Naruhito bertemu dan ingin menyuntingnya sebagai permaisuri, dia sama sekali tertarik dengan kehidupan istana yang dirasanya sangat tidak cocok dengan dirinya.

Ketika kemudian Masako akhirnya menerima pinangan Pangeran Naruhito, banyak kalangan dekatnya yang tahu bahwa hal tersebut tidak lepas dari peran sang ayah. Pangeran Naruhito mendekati ayah Masako yang ternyata pada akhirnya memang benar-benar didengar dan dituruti oleh Masako. Perjalanan menuju istana sangatlah menyiksanya yang terbiasa hidup sebagai diplomat yang bebas tanpa aturan protokoler ketat. Bahkan ketika sudah bertahun-tahun tidak memiliki anak mengakibatkan Masako menderita depresi berkepanjangan. Tuntutan untuk melahirkan putra mahkota bagi kerajaan sangat menekan dirinya. Bahkan beberapa kali dia tidak mendampingi suaminya dlam kunjungan kenegaraan karena sakit berkepanjangan. Pemberitaan media massa juga sangat menyudutkan dirinya, hingga suaminya sampai meminta kepada media untuk tidak mengganggu Masako dengan pemberitaan yang bertubi-tubi.

Pada akhirnya, Putri Masako memang melahirkan bayi perempuan. Jepang pada waktu itu mengalami krisis putra mahkota, sampai-sampai Perdana Menteri Juniciro Koizumi melempar suksesi tentang Putri Mahkota. Hal itu tidak lama berselang karena Pangeran Akisino yang merupakan adik Pangeran Naruhito memiliki anak lelaki.

Dari kisah ini, saya menggarisbawahi bahwa kisah Putri Masako adalah suatu bentuk baktinya pada orang tua terutama ayahnya. Dia selalu memenuhi semua harapan ayahnya yang mengharapkan seorang anak laki-laki. Dia tidak mau mengecewakan ayahnya sehingga mengorbankan kebebasannya ketika menerima pinangan Pangeran Naruhito dan menghadapi protokoler istana yang sangat kaku dan ketat, yang sangat berbeda dengan dunianya.

Sebenarnya banyak Masako-Masako lain yang mengalami kisah yang sama. Daddy’s Little Girl Sangat mulia usaha mereka untuk membahagiakan dan membuat bangga sang ayah akan putri kecilnya. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa setiap orang memiliki pilihan-pilihan sendiri yang pada akhirnya harus dikompromikan, karena pada dasarnya kehidupan itu adalah milik orang yang menjalaninya.

IN THE NAME OF MY DAUGHTER

Anak saya, Audrina sekarang sudah berusia 3,5 tahun. Banyak sekali kemajuan yang telah dicapainya dan hal ini berbanding lurus dengan kebandelannya. Menurut psikolog anak, memang sudah seharusnya seperti itu karena sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Saya ingat dulu ketika menikah, saya dan suami berkomitmen untuk tidak punya anak dulu karena waktu itu saya sedang menyelesaikan S2 saya. Waktu itu hanya terpikir, tidak sanggup dengan segala kerepotan dan keribetan yang terjadi dengan kehamilan itu. Tetapi ternyata rencana hanya tinggal rencana, pada bulan Mei 2004 sebelum ulang tahun saya ke 27 tahun, saya dinyatakan positif hamil oleh dokter.

Berbeda dengan reaksi kebanyakan orang yang akan melonjak kesenangan ketika dinyatakan hamil, saya dan suami (terutama saya) langsung terhenyak. Waktu itu yang langsung terbayang di pelupuk mata adalah S2 saya terancam gagal, saya harus mengejar berapa tahun lagi.

Pada tahun 2004, saya memang tinggal menyelesaikan tesis. Kami memang tidak menggunakan KB dari dokter, hanya sistem kalender saja. Dan waktu itu (kami menikah bulan Februari 2003) rasanya aman-aman saja. Setelah mama saya dan suami saya wisuda S2 di tahun yang sama, saya dan suami berencana untuk keliling Indonesia. Waktu tahun 2004 tersebut, kami baru saja pulang dari perjalanan ke Denpasar, Manado dan Lombok.

Saya takut dengan bayangan kegagalan dan kekecewaan dari orang tua jika saya gagal menyelesaikan tesis. Kehamilan membuat saya berpikir banyaknya hal yang saya sukai akan dilarang dan dibatasi. Saya pada dasarnya orang yang dinamis, mobile (baca: tidak dapat diam) bahkan jika harus bepergian dengan angkutan jika di Depok atau menyetir mobil sendiri ketika di Semarang. Kesukaan saya akan traveling sudah jelas akan terganggu dengan adanya kehamilan ini. Padahal waktu itu, time schedule kita berdua berikutnya adalah Batam dan kemudian ke Medan yang dengan terpaksa kami batalkan. Kemudahan tiket gratis (konsesi) dari maskapai penerbangan tempat suami bekerja akhirnya tidak kami gunakan.

Pada akhirnya memang ada penerimaan dari diri saya ketika suami yang begitu sabar membujuk saya bahwa kehamilan tidak perlu dikhawatirkan, sebaiknya tetap fokus terhadap tujuan dan tidak meninggalkan apa yang sudah kita rencanakan. Kebetulan si bayi dalam kandungan sepertinya tahu kalau ibunya harus menyelesaikan sekolah, sehingga tidak pernah rewel dan bermasalah. Kami tetap pergi ke Denpasar lagi karena ada tawaran, kemudian Batam dengan Medan kami alihkan untuk ke Bandung dan Bogor yang lebih dekat dan tetap menarik.

Waktu itu bahkan saya tidak merasakan kalau saya hamil dan saya juga tidak berpikir kalau saya hamil. Tesis tetap jalan terus, konsultasi dengan dosen pembimbing walaupun harus naik turun tangga tetap jalan terus, begitu juga ketika harus melakukan penelitian di Magelang.

Kalau merasa suntuk dan pengen suasana baru, saya dan suami pergi ke Bandung atau Bogor bahkan dengan cueknya waktu antri lesehan ketika beli tiket kereta api di Gambir karena loket belum buka dan waktu itu travel ke Bandung belum seperti sekarang dimana dari Depokpun ada di beberapa tempat. Berburu makanan enak, mainan yang lucu dan putar-putar naik angkot melihat daerah baru.

Saya tidak mau memakai baju hamil, tetap seperti biasa, baju kaos yang longgar dan celana panjang. Bahkan beberapa teman yang masih sering ketemu dan dosen pembimbing tidak tahu kalau saya hamil. Anehnya saya malah senang-senang saja karena tidak merasa dikasihani atau diistimewakan gara-gara kehamilan itu. Setelah kehamilan menginjak 7 bulan lebih, baru deh kelihatan kalau hamil. Teman waktu itu yang biasa merokok di kafetaria, kalau melihat saya datang, spontan mematikan rokok. Begitu juga dosen pembimbing yang mulai khawatir, melihat saya ketika konsultasi naik turun tangga menemui beliau. “Sudahlah titipkan saja sama satpam di depan, nanti biar dia yang kasih ke sopir saya, kamu ngga usah naik-naik tangga lagi”.

Pada saat sudah selesai penelitian untuk tesis, kondisi hamil saya sudah hampir 8 bulan dan kepada dosen pembimbing sayameminta supaya dapat sidang sebelum melahirkan karena saya pernah mendengar pengalaman kakak kelas yang harus melahirkan dulu sebelum sidang karena pembimbingnya tidak mau menguji pada saat dia hamil tua. Waduh, ngga terbayangkan kalau hal itu terjadi pada saya, apalagi jelas saya ada di Semarang.

Untungnya dengan kebaikan pembimbing saya (Alm.Bapak Prof Dr Fuad Hassan dan ibu Dra Evita Singgih, MPsi) akhirnya tepat 2 minggu sebelum melahirkan, saya dinyatakan lulus sidang Magister Sains Psikologi Klinis. Jadi waktu itu yang sidang adalah saya dan anak saya yang masih dalam kandungan. Ketika harus presentasi di hadapan dewan penguji, saya diberi privilege boleh dengan duduk karena saya hamil besar tetapi saya tolak karena seperti tadi saya bilang, saya tidak mau diistimewakan karena saya masih kuat.

Ketika kembali ke Semarang, 2 minggu kemudian, saya dinyatakan harus operasi Caesar karena posisi bayi yang tidak mau turun. Ibu Evita bahkan setelah sidangpun, masih memberikan perhatiannya ketika tahu saya harus operasi. Dokter kandungan saya di Semarang, seorang perempuan dan hampir mirip saya, sedikit tomboy. Ketika tahu saya masih harus menyelesaikan S2, dia sangat memberikan support. Bahkan ketika mama saya ikut mengantar periksa, mengeluhkan kalau saya masih bandel menyetir sendiri, dengan santainya ia berkata “Ngga’ pa-pa bu, yang penting tetap hati-hati saja, kalau perlu waktu melahirkan nanti, setir sendiri saja ke rumah sakit”. Pokoknya funky banget dan saya merasa cocok. Ngga’ terlalu menggurui. Ketika tahu kepala bayi belum turun juga, dia tetap santai dan menyarankan supaya sering dipakai jalan.

Dokter Lilien menyarankan untuk operasi caesar karena takutnya kalau menunggu normal bisa-bisa bayinya keracunan. Waktu itu bahkan menawarkan tanggal 1 Januari pas tahun baru 2005 tetapi karena suami masih bekerja di Jakarta, akhirnya disepakati tanggal 4 Januari 2005. Dan lahirlah anak kami, AUDRINA SALSABILA ROSMANINGTYAS ARIFIN.

Nama yang berasal dari kombinasi sumbangan nama dari papa, mama dan saya. Saya memilih nama Audrina tepat setelah dia lahir, ketika langsung terlintas tugas saya waktu S2, My Sweet Audrina. Sementara Salsabila dari papa ketika beliau habis sholat dan Rosmaningtyas dari mama, yang terilhami dari nama ibu dari papa saya, Uwa Rosma yang meninggal waktu melahirkan papa dan nama itu juga dilekatkan pada nama saya, untuk rememberance beliau (karena ning-tyas itu artinya didalam hati) dan Arifin dari nama belakang suami. Habis dia ditanya dari sebalum melahirkan selalu saja masih bingung belum menemukan nama yang pas.

Saya dan suami saya selalu mengharapkan agar Audrina bisa “lebih” segalanya daripada kami, terutama adalah lebih tangguh dalam menghadapi hidup, lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai macam hal dalam hidup dan lebih beruntung dalam mendapatkan hidup. For you, my dear daughter, We hope that life is always kind to you…

Selasa, 01 Juli 2008

Pengaruh Tipologi Anak Dalam Keluarga terhadap terjadinya Sibling Rivalry

Tipologi anak dalam keluarga

Anak Sulung

Anggapan umum yang kurang benar adalah bahwa anak sulung tentu membawa beban terberat diantara saudara-saudaranya. Pendapat semacam itu timbul karena logika bahwa anak sulung akan mengganti kedudukan orang tu a jika orang tua tidak ada lagi. Penyerahan tanggung jawab sudah mulai dilatih orang tua kepadanya sejak kecil yaitu : ia harus mengasuh adik-adiknya, menjaga, mengajak bermain, memberinya makan, dan sebagainya. Tiap kekeliruan perbuatan adik-adiknya, anak sulunglah yang ditegur dan yang harus menerima hukuman.
Kekurangbenaran anggapan ini terletak pada penyerahan tanggung jawab orang tua yang terlalu cepat pada anak sulung sebab pada saat si adik lahir, ia masih dalam usia anak-anak. Ia belum mempunyai sifat kedewasaan bahkan oleh karena kelahiran adiknya, ia merasa terabaikan oleh orang tuanya sehingga membuat ia selalu bersaing dengan adiknya dengan jalan berbuat sesuatu agar perhatian orang tua yang memusat pada adiknya dengan jalan berbuat sesuatu agar perhatian orang tua yang memusat pada adiknya dapat direbutnya. Anak sulung sering diminta agar lebih banyak mengalah terhadap adik-adiknya, kadang-kadang dengan alasan dengan sengaja dicari-cari dan lebih merugikannya.
Orang tua seharusnya dapat bertindak bijaksana dengan berbuat adil terhadap anak-anaknya dengan pembagian tugas yang rata dan adil sehingga pada anak tidak timbul prasangka adanya pilih kasih, berat sebelah dan sebagainya. Jika orang tua menginginkan anak sulung menjadi contoh sehingga anak dapat mengetahui suatu peraturan, sesuatu keharusan memang berlaku sama untuk semua. Hal-hal yang sering terjadi pada anak sulung dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa mempercepat waktu dan memperberat beban tentu tidak akan menimbulkan anggapan-anggapan yang kurang benar.

Anak Bungsu
Status bungsu dari orang tua pada anak sukar diramalkan kecuali apabila kedua orang tua bersama-sama mengusahakan untuk tidak mempunyai anak lagi. Kadang-kadang tampak seakan ada hak istimewa dari orang tua kepada anak bungsu yaitu apabila orang tua tersebut mempunyai banyak anak sehingga tampak status ekonomi sosialnya menurun. Dengan menurunnya status ekonomi sosial ini, anak bungsu dirasakan sebagai anak yang hidup dalam keadaan yang tidak sama dengan waktu kakak-kakaknya masih kecil dulu sehingga orang tua menghayati hal semacam ini dengan mencurahkan perasaan dengan perbuatan-perbuatan yang menampakkan lebih menyayangi anak tersebut.
Dari pihak saudara-saudaranya yang lebih besar, anak bungsu mengalami perlakuan yang hampir sama dengan yang dilaksanakan orang tuanya. Kakak-kakaknya selalu berusaha untuk memanjakan, menyayanginya sehingga karena terlalu selalu mendapatkan perhatian, perawatan, pertolongan maka si bungsu selalu berada di dalam kehidupan yang serba berkecukupan, menyenangkan sehingga timbul sikap manja dan tidak mempunyai pengalaman untuk melaksanakan sesuatu. Untuk dapat melaksanakan sesuatu berarti memiliki pengertian tentang sesuatu itu sehingga karena ia tidak dapat melaksanakan sesuatu, ia merasa malu terhadap teman-temannya dan akibatnya ia akan mengasingkan diri. Bila hal ini berlarut-larut maka ia akan kehilangan kesempatan untuk dapat berbuat sesuatu dan jatuh dalam keputusasaan.

Anak Tengah
Anak tengah (diantara anak sulung dan bungsu) umumnya mempunyai kepribadian tengah yang ambigu antara anak sulung dan anak bungsu. Anah tengah oleh orang tua tidak terlalu diperhatikan karena posisinya berada di tengah atau diantara si sulung yang mempunyai beban tanggung jawab dari orang tua dan si bungsu yang umumnya banyak diperhatikan atau dibimbing oleh orang tua. Anak tengah biasanya terdorong untuk menyamai atau melebihi kakaknya tapi juga ada ketakutan untuk dilampaui oleh adiknya.

Anak Tunggal
Anak tunggal boleh jadi berada dalam dua kutub yang sangat bertolak belakang. Jika orang tuanya memahami bahwa anak mereka adalah anak tunggal yang nantinya harus dapat hidup mandiri maka ia akan dididik untuk belajar mandiri, tidak banyak tergantung pada orang lain, dalam hal ini adalah keluarganya. Hal ini bertolak belakang dengan pemikiran orang tua yang hanya menyadari bahwa mereka hanya mempunyai satu anak sehingga seluruh kebutuhan anak tersebut dipenuhi dan selalu dilindungi yang menyebabkan anak tersebut tumbuh menjadi anak yang manja, selalu tergantung pada orang lain, dan tidak dapat mandiri. Persepsi mengenai anak tunggal ini biasanya berbeda antara orang tua yang tidak sengaja mempunyai anak tunggal (karena penyebab medis atau penyebab lain yang tidak memungkinkan mereka untuk mempunyai anak lagi) atau mereka yang memang merencanakannya dengan alasan faktor ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Orang tua yang tidak sengaja mempunyai anak tunggal biasanya cenderung untuk lebih memanjakan karena mereka sadar bahwa mereka tidak akan memiliki anak lagi. Di samping itu jika ada faktor psikologis yang secara tidak langsung mereka merasa “bersalah” sehingga mereka memanjakan anak mereka tersebut sebagai kompensasi bahwa mereka tidak akan memiliki anak lagi.

Orang tua yang memang mempunyai rencana untuk mempunyai anak tunggal dengan alasan agar mereka lebih dapat terfokus dalam membina dan mendidik anak mereka biasanya lebih bertindak bijaksana. Mereka sudah berencana mempunyai anak tunggal agar anak tersebut benar-benar cukup dilimpahi kasih sayang dan perhatian sehingga si anak tidak perlu lagi mencari hal tersebut pada orang lain atau pihak luar. Konsekuensi mempunyai anak tunggal menyebabkan mereka lebih berhati-hati dalam menjaga dan mendidik karena semua keuntungan dan kerugian sudah mereka pertimbangkan. Dengan kondisi dunia yang semakin tidak bersahabat, maraknya persaingan dalam globalisasi membuat mereka benar-benar menyiapkan si anak dengan sebaik-baiknya baik dalam hal fisik (materi) maupun spiritual.

Kondisi anak tunggal memang tidak memunculkan Sibling Rivalry, permasalahan yang terjadi dan harus mereka hadapi adalah kondisi psikis yang terjadi pada anak tersebut dan hubungannya dengan orang tua maupun lingkungan serta stereotip-stereotip yang lebih dulu muncul dan berkembang mengenai anak tunggal.

Bagaimanapun juga, dalam kehidupan bersaudara setiap manusia, pastilah ada yang dinamakan Sibling Rivalry. Hanya saja dalam bentuk, kadar, dan konotasi yang berbeda-beda. Ada yang berkonotasi negatif karena Sibling Rivalry tersebut telah berada dalam tingkat yang mengkhawatirkan dan memunculkan perkelahian atau permusuhan. Ada juga yang menjadikannya sebagai pemicu untuk meraih prestasi yang setinggi-tingginya (dalam belajar maupun bekerja). Semua hal tersebut berpulang kepada individu masing-masing. Hanya saja pemikiran yang terungkap di awal tulisan ini mengenai ajakan untuk ber-KB dengan satu anak dan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan serta untuk mencegah dampak buruk Sibling Rivalry, bagaimanapun juga mempunyai anak tunggal dengan segala pemikiran dan pertimbangan merupakan suatu ide atau masukan yang cukup bertanggung jawab.

Dalam masalah ini, peran orang tua sangatlah strategis untuk pembentukan karakter anak, pemenuhan kebutuhan serta pengarahan karakter anak.

WINNING IS NOT AN OPPURTUNITY BUT IS AN OPTION

Kemenangan terjadi bukan karena adanya kesempatan tetapi karena kita memilih untuk menang. Kata-kata mutiara ini saya dapat tidak sengaja ketika membaca buku kenang-kenangan suami di SMA nya dulu, sekitar 13 tahun yang lalu. Kata mutiara ini ditulis oleh adik angkatannya di SMA. Kesan saya akan kata mutiara ini adalah sangat optimis bahkan sangat percaya diri dan melihat kondisi bangsa saat ini sangatlah tepat kata-kata ini untuk dicamkan sehingga kita sebagai bangsa tidak lagi dilecehkan bangsa lain di dunia ini.

Berapa kali kita mendengar kata “Pilihan”? Sering mendengar tetapi kadang sulit untuk mau meresapi. Di dalam “Pilihan” tersebut mengandung konsekuensi, resiko baik positif maupun negatif. Selama kita hidup, selalu saja bersinggungan dengan “Pilihan”. Ketika sekolah, bermain, belajar, kuliah, menikah, bekerja, mempunyai anak dan lain-lain.

Seringkali orang berkata, “kita tidak ada pilihan lain” untuk berkata bahwa kita tetap harus memutuskan, yang berarti kita tetap harus memilih..Kita bukan tidak memiliki pilihan, bahkan ketika akhirnya memutuskan untuk tidak memilihpun, kita telah membuat pilihan untuk..tidak memilih. Seperti kasus yang tengah marak di tanah air yaitu pilkada. Ketika kita mengikuti maupun tidak mengikutinya, memilih atau tidak memilih, kita telah mengambil suatu pilihan.

Pilihan tersebut membawa konsekuensi bagi kita, itu sudah menjadi suatu keniscayaan. Ketika kita memilih sekolah di A, memilih suami atau istri “si B”, memilih bekerja di “C”, memilih figure “si D” sebagai gubernur atau kepala daerah. Ketika kita memilih hanya karena dipaksa oleh pihak lain atau karena tergiur oleh embel-embel berwujud materi tentunya akan membawa dampak lain bagi kehidupan kita baik fisik maupun psikologis.

Di dalam psikologi, sering dibahas tentang “free will”, dimanakah posisi dari free will ini? Dulu ketika belajar tentang sejarah, kita masih ingat tentang “freedom from fear..” Apakah maknanya? Bebas dari rasa takut. Takut terhadap apa? Apakah hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dunia pada saat ini? Kenapa kita takut ? Karena ketakutan itu adalah suatu hal yang manusiawi, ketika suatu hal yang lain dirasa mengancam keberadaan kita baik secara fisik maupun psikis.

Dalam teori Eric Fromm “Escape from Freedom”, Lari dari Kebebasan menggambarkan mengapa orang yang diberi kebebasan pada akhirnya malah merasa ketakutan. Hal yang esensial adalah karena rasa takut akan tanggung jawab yang harus dipikul. Konsekuensi dari suatu pilihan akan kebebasan. Tidak ada lagi yang menanggung keberadaan kita karena kita memilih untuk bebas.

Kembali ke judul tulisan ini, menurut saya ketika kita telah memilih untuk “menang” (pada perspektif kita) misalnya, saya telah berani untuk mengungkapkan pendapat atau melakukan suatu hal berdasarkan kebenaran walaupun tidak sama dengan kebanyakan orang, walaupun kemudian setelah saya mengungkapkan pendapat, kemudian ada resiko dijauhi, disingkirkan ataupun tidak disenangi karena saya “berbeda”dengan mereka (sementara menurut hati nurani saya, hal tersebut adalah suara kebenaran). Ya sudah, berarti saya telah menang dalam pertempuran. Menang karena saya tidak mengingkari hati nurani dan saya tidak menjadikan rasa takut tersebut menguasai diri sehingga saya berubah menjadi “bukan diri saya”. Level kebenaran pada hati nurani menurut saya adalah hampir sama untuk semua orang yang juga mengedepankan hati nurani yang bersih.

Para pemimpin negeri yang berani mengambil tindakan yang tidak populis untuk kepentingan bangsa yang lebih besar, saya rasa merupakan suatu hal yang patut diacungi jempol daripada para pemimpin lain yang hanya bisa mengkritik, menghujat dan tidak berani mengambil keputusan yang tegas dan hanya bersembunyi di “kolong” menghindari kenyataan.

Pada dasarnya, siapapun butuh waktu untuk belajar. Belajar apapun dalam hidup, termasuk belajar untuk memilih. Hal yang terutama adalah memilih berdasarkan hati nurani karena terkadang orang cenderung untuk mengabaikan hati nuraninya untuk kepentingan sesaat.

A FEW GOOD MEN

Berlanjut dengan bagian “Diam itu tidak selamanya emas” tentang pembelaan suami saya terhadap petugas cek-in Batavia, di boarding lounge ketika kami menunggu pesawat datang (kebetulan waktu itu ada delay), kami berkenalan dengan seorang bapak yang juga akan ke Palu. Obrol punya obrol, akhirnya kami sama-sama tahu bahwa bapak tersebut dulunya juga dari maskapai dan sedang bisnis di Palu. Begitu juga terungkap bahwa asal bapak itu dari Padang, sama dengan daerah kelahiran papa saya.

Ketika beliau tanya ada perlu apa ke Palu dan kami menjawab mau main-main aja, kontan ekspresi terkejut terlihat di wajah beliau. Tidak mengira ada yang mau seight seeing di Palu.Ketika tahu kami tidak ada kerabat di sana, beliau mengajak supaya sama-sama saja. Benar saja, sampai Palu, hari telah menjelang larut malam dan saya takjub walaupun telah larut malam, kota itu masih ramai, tidak ada tanda-tanda dulu pernah mencekam akibat dari kerusuhan Poso. Tapi ya itu..hotel-hotel yang kami datangi semua sudah fully booked, wah..benar-benar bikin lemas..untungnya saja oleh yang menjemput bapak tadi tahu ada mess milik kabupaten Poso yang dapat digunakan untuk umum dan ketika kami disana, untunglah masih ada kamar.

Waktu kami putar-putar cari hotel di Palu, saya bilang pada bapak ini, “Wah, maaf sekali ya Pak , ngrepotin banget..” Kontan bapak itu menjawab hal yang sama sekali tidak saya sangka (a stranger in the night in a stranger place), ”Ibu ini pasti orang baik, percayalah bu, kalau orang baik pasti akan bertemu dengan orang baik ketika sedang dalam kesulitan, percayalah bu , saya dulu juga ditolong mas ini ketika pertama kali ke Palu dan mencari penginapan.” Ucapan yang sangat menyejukkan jiwa. Bukan sesuatu yang hanya memuji tetapi menyiratkan pula adanya ketulusan dan keyakinan akan kebaikan.

Mas yang menjemput bapak tadi adalah orang Minahasa yang tinggal di Palu. Dia juga dengan ramahnya menawarkan untuk mencicipi masakan khas Palu yang kebetulan memang saya impi-impikan untuk dinikmati jika sudah sampai Palu yaitu Kaledo (Kaki Lembu Donggala) yang kebetulan di dua restoran sudah habis ludes. Memang apes , sampai kami mau pulang Jakarta, belum sempat mencicipi Kaledo karena selalu habis.

Setelah selesai mengantar kami, mas tadi memberikan nomor telepon genggamnya jika sewaktu-waktu kami membutuhkan bantuan. So wonderful people of Indonesia, disaat bangsanya sendiri pesimis akan kebesaran hatinya, kami mendapati kebaikan hati sesama anak negeri yang asing bagi kami dengan memberikan pertolongan tulus tanpa pamrih pada saat kami berniat (suci) berwisata di salah satu wilayah propinsi Indonesia.

Ketika seseorang berkata, “Don’t talk to a stranger” but finally dalam kasus kami di Palu “the stranger has helped us”. Ketika orang saling mencurigai, saling tidak percaya karena banyaknya tuntutan kehidupan dan tingkat kompetisi atau persaingan yang sedemikian tinggi ternyata masih banyak orang baik di sekitar kita. Mungkin tidak banyak tetapi ada..Ketika kita memiliki niat yang baik dan tulus, ketika kesulitan datang, niscaya Tuhan akan mengirim seseorang atau orang-orang untk membantu kita. Not many..but there’s always a Few Good Men..

DIAM TIDAK SELAMANYA EMAS

Saya dan suami seringkali melakukan perjalanan ke luar daerah di Indonesia. Pada tahun 2007 lalu, kami berkesempatan bepergian ke daerah Palu, Sulawesi Tengah. Perjalanan dari Jakarta ke Palu, kami lewati dengan satu kali transit di Balikpapan karena harus ganti pesawat. (Jakarta-Balikpapan dengan Mandala, Balikpapan-Palu dengan Batavia).

Yang menarik yang akan saya ceritakan disini bukan cerita perjalanan maupun wisatanya (karena telah ditulis suami di http://trans-ports.blogspot.com tentang wisata kota) tetapi persinggungan kami dengan beberapa orang ketika di bandara Sepinggan, Balikpapan maupun di kota Palu.

Ketika transit di Balikpapan, kami menunggu cukup lama karena pesawat yang digunakan berbeda. Pada saat kami antri cek-in di counter Batavia, ada rombongan dari suatu instansi lengkap dengan seragam penanda mereka dari instansi tertentu (tidak perlu saya cantumkan karena kejadiannya sangat memalukan). Mereka berombongan banyak sekali dan seperti biasa karena berombongan (jumlahnya banyak), mereka agak sedikit “berulah”. Hal ini yang dimaksud dengan psikologi massa, diffusion of responsibility etc etc yang orang psikologi pasti tahu ini.

Mereka datang tidak atas nama perorangan karena kalau ada masalah, mereka “tercover” dengan identitas kelompok, yang diperkuat dengan seragam yang mereka pakai (jadi membulatkan tekad saya untuk meneliti soal seragam ini). Dengan arogannya, mereka meminta petugas cek-in (waktu itu petugasnya seorang perempuan, masih muda dan hanya 1 orang) untuk mendahulukan rombongan mereka dibandingkan penumpang yang lain sementara bawaan mereka bejibun banyaknya dan tidak terkoordinir.

Anehnya, sudah rombongan begitu, masing-masing anggota kelompok saling tidak percaya satu sama lain terutama mengenai bagasi mereka. Sudah minta didahulukan tapi tidak sekaligus sehingga mbaknya agak kesulitan dan meminta mereka untuk ikutan antri kalau tidak bisa sekaligus. Rombongan tersebut sepertinya baru saja studi banding ke luar negeri (kalau tidak salah dari Singapura) dan kemungkinan untuk pertama kali karena melihat dari obrolan yang mereka perbincangkan sehingga mereka mungkin merasa “statusnya agak naik” dibandingkan orang lain.

Kasihan sekali mbak tersebut disudutkan oleh salah satu orang tersebut (entah pimpinan rombongan atau tidak, soalnya kalau pimpinan rombongan kok tidak dipercaya anggota yang lain) yang masih terus memaksa bahkan menyalahkan petugas cek-in. Akhirnya, karena sudah tidak tahan melihat kelakuan mereka, suami mulai membela mbak tersebut yang memang telah melakukan pekerjaannya dengan cepat tetapi direcoki oleh rombongan tersebut. Karena kaget, mungkin tidak mengira akan ditegur orang lain dan karena memang posisinya salah, orang tersebut akhirnya mau menepi dan tidak ribut lagi.

Banyak penumpang lain yang resah dan jengkel pada mereka tetapi sepertinya tidak mau ribut berurusan dengan mereka kalau meng-complain. Tetapi masalahnya, terkadang saya melihat manusia, mungkin tidak hanya di Indonesia saja, kalau tidak ditegur sama sekali tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut salah atau bahkan malah merugikan orang lain. Ketika orang diam untuk mengalah atau menghindari keributan, sepintas hal tersebut no big deal, tetapi untuk orang lain yang melakukan hal tersebut merasa bahwa tindakannya tidak merugikan orang lain karena melihat tidak adanya reaksi dari yang bersangkutan. Dan untuk kasus ini, bayangkan berapa orang yang akan terlambat cek-in hanya gara-gara ulah rombongan tersebut?

Melihat kasus lain yang mungkin dapat dijelaskan adalah soal korupsi yang sulit diberantas di republik ini. Amien Rais pernah menyatakan adanya penyakit sosial yang kronis didalam masyarakat yaitu “korupsi berjemaah”. Yang korupsi lebih banyak daripada yang tidak korupsi. Menurut teori soal diffusion of responsibilities akan lebih terlihat dengan tidak adanya pihak yang benar-benar merasa bertanggungjawab karena adanya difusi itu. Semuanya melakukan korupsi tersebut. Karena jumlahnya lebih banyak, maka mereka menilai yang tidak korupsi itu yang bodoh, salah karena tidak mengikuti yang mayoritas sementara yang tidak korupsi untuk mempermasalahkan..ah.. buang-buang waktu dan tenaga.. belum tentu juga selamat jadi yang penting saya tidak korupsi sehingga banyak pihak yang tahupun diam, tidak mau ada masalah, tapi bagi sebagian orang yang nuraninya jernih selalu dibayangi rasa bersalah. Benarkah sikap diam itu benar? Benarkah sikap diam itu menyelesaikan masalah? So, ternyata untuk beberapa kasus “Diam itu tidak selamanya menjadi emas”.