Selasa, 01 Juli 2008

Pengaruh Tipologi Anak Dalam Keluarga terhadap terjadinya Sibling Rivalry

Tipologi anak dalam keluarga

Anak Sulung

Anggapan umum yang kurang benar adalah bahwa anak sulung tentu membawa beban terberat diantara saudara-saudaranya. Pendapat semacam itu timbul karena logika bahwa anak sulung akan mengganti kedudukan orang tu a jika orang tua tidak ada lagi. Penyerahan tanggung jawab sudah mulai dilatih orang tua kepadanya sejak kecil yaitu : ia harus mengasuh adik-adiknya, menjaga, mengajak bermain, memberinya makan, dan sebagainya. Tiap kekeliruan perbuatan adik-adiknya, anak sulunglah yang ditegur dan yang harus menerima hukuman.
Kekurangbenaran anggapan ini terletak pada penyerahan tanggung jawab orang tua yang terlalu cepat pada anak sulung sebab pada saat si adik lahir, ia masih dalam usia anak-anak. Ia belum mempunyai sifat kedewasaan bahkan oleh karena kelahiran adiknya, ia merasa terabaikan oleh orang tuanya sehingga membuat ia selalu bersaing dengan adiknya dengan jalan berbuat sesuatu agar perhatian orang tua yang memusat pada adiknya dengan jalan berbuat sesuatu agar perhatian orang tua yang memusat pada adiknya dapat direbutnya. Anak sulung sering diminta agar lebih banyak mengalah terhadap adik-adiknya, kadang-kadang dengan alasan dengan sengaja dicari-cari dan lebih merugikannya.
Orang tua seharusnya dapat bertindak bijaksana dengan berbuat adil terhadap anak-anaknya dengan pembagian tugas yang rata dan adil sehingga pada anak tidak timbul prasangka adanya pilih kasih, berat sebelah dan sebagainya. Jika orang tua menginginkan anak sulung menjadi contoh sehingga anak dapat mengetahui suatu peraturan, sesuatu keharusan memang berlaku sama untuk semua. Hal-hal yang sering terjadi pada anak sulung dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa mempercepat waktu dan memperberat beban tentu tidak akan menimbulkan anggapan-anggapan yang kurang benar.

Anak Bungsu
Status bungsu dari orang tua pada anak sukar diramalkan kecuali apabila kedua orang tua bersama-sama mengusahakan untuk tidak mempunyai anak lagi. Kadang-kadang tampak seakan ada hak istimewa dari orang tua kepada anak bungsu yaitu apabila orang tua tersebut mempunyai banyak anak sehingga tampak status ekonomi sosialnya menurun. Dengan menurunnya status ekonomi sosial ini, anak bungsu dirasakan sebagai anak yang hidup dalam keadaan yang tidak sama dengan waktu kakak-kakaknya masih kecil dulu sehingga orang tua menghayati hal semacam ini dengan mencurahkan perasaan dengan perbuatan-perbuatan yang menampakkan lebih menyayangi anak tersebut.
Dari pihak saudara-saudaranya yang lebih besar, anak bungsu mengalami perlakuan yang hampir sama dengan yang dilaksanakan orang tuanya. Kakak-kakaknya selalu berusaha untuk memanjakan, menyayanginya sehingga karena terlalu selalu mendapatkan perhatian, perawatan, pertolongan maka si bungsu selalu berada di dalam kehidupan yang serba berkecukupan, menyenangkan sehingga timbul sikap manja dan tidak mempunyai pengalaman untuk melaksanakan sesuatu. Untuk dapat melaksanakan sesuatu berarti memiliki pengertian tentang sesuatu itu sehingga karena ia tidak dapat melaksanakan sesuatu, ia merasa malu terhadap teman-temannya dan akibatnya ia akan mengasingkan diri. Bila hal ini berlarut-larut maka ia akan kehilangan kesempatan untuk dapat berbuat sesuatu dan jatuh dalam keputusasaan.

Anak Tengah
Anak tengah (diantara anak sulung dan bungsu) umumnya mempunyai kepribadian tengah yang ambigu antara anak sulung dan anak bungsu. Anah tengah oleh orang tua tidak terlalu diperhatikan karena posisinya berada di tengah atau diantara si sulung yang mempunyai beban tanggung jawab dari orang tua dan si bungsu yang umumnya banyak diperhatikan atau dibimbing oleh orang tua. Anak tengah biasanya terdorong untuk menyamai atau melebihi kakaknya tapi juga ada ketakutan untuk dilampaui oleh adiknya.

Anak Tunggal
Anak tunggal boleh jadi berada dalam dua kutub yang sangat bertolak belakang. Jika orang tuanya memahami bahwa anak mereka adalah anak tunggal yang nantinya harus dapat hidup mandiri maka ia akan dididik untuk belajar mandiri, tidak banyak tergantung pada orang lain, dalam hal ini adalah keluarganya. Hal ini bertolak belakang dengan pemikiran orang tua yang hanya menyadari bahwa mereka hanya mempunyai satu anak sehingga seluruh kebutuhan anak tersebut dipenuhi dan selalu dilindungi yang menyebabkan anak tersebut tumbuh menjadi anak yang manja, selalu tergantung pada orang lain, dan tidak dapat mandiri. Persepsi mengenai anak tunggal ini biasanya berbeda antara orang tua yang tidak sengaja mempunyai anak tunggal (karena penyebab medis atau penyebab lain yang tidak memungkinkan mereka untuk mempunyai anak lagi) atau mereka yang memang merencanakannya dengan alasan faktor ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Orang tua yang tidak sengaja mempunyai anak tunggal biasanya cenderung untuk lebih memanjakan karena mereka sadar bahwa mereka tidak akan memiliki anak lagi. Di samping itu jika ada faktor psikologis yang secara tidak langsung mereka merasa “bersalah” sehingga mereka memanjakan anak mereka tersebut sebagai kompensasi bahwa mereka tidak akan memiliki anak lagi.

Orang tua yang memang mempunyai rencana untuk mempunyai anak tunggal dengan alasan agar mereka lebih dapat terfokus dalam membina dan mendidik anak mereka biasanya lebih bertindak bijaksana. Mereka sudah berencana mempunyai anak tunggal agar anak tersebut benar-benar cukup dilimpahi kasih sayang dan perhatian sehingga si anak tidak perlu lagi mencari hal tersebut pada orang lain atau pihak luar. Konsekuensi mempunyai anak tunggal menyebabkan mereka lebih berhati-hati dalam menjaga dan mendidik karena semua keuntungan dan kerugian sudah mereka pertimbangkan. Dengan kondisi dunia yang semakin tidak bersahabat, maraknya persaingan dalam globalisasi membuat mereka benar-benar menyiapkan si anak dengan sebaik-baiknya baik dalam hal fisik (materi) maupun spiritual.

Kondisi anak tunggal memang tidak memunculkan Sibling Rivalry, permasalahan yang terjadi dan harus mereka hadapi adalah kondisi psikis yang terjadi pada anak tersebut dan hubungannya dengan orang tua maupun lingkungan serta stereotip-stereotip yang lebih dulu muncul dan berkembang mengenai anak tunggal.

Bagaimanapun juga, dalam kehidupan bersaudara setiap manusia, pastilah ada yang dinamakan Sibling Rivalry. Hanya saja dalam bentuk, kadar, dan konotasi yang berbeda-beda. Ada yang berkonotasi negatif karena Sibling Rivalry tersebut telah berada dalam tingkat yang mengkhawatirkan dan memunculkan perkelahian atau permusuhan. Ada juga yang menjadikannya sebagai pemicu untuk meraih prestasi yang setinggi-tingginya (dalam belajar maupun bekerja). Semua hal tersebut berpulang kepada individu masing-masing. Hanya saja pemikiran yang terungkap di awal tulisan ini mengenai ajakan untuk ber-KB dengan satu anak dan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan serta untuk mencegah dampak buruk Sibling Rivalry, bagaimanapun juga mempunyai anak tunggal dengan segala pemikiran dan pertimbangan merupakan suatu ide atau masukan yang cukup bertanggung jawab.

Dalam masalah ini, peran orang tua sangatlah strategis untuk pembentukan karakter anak, pemenuhan kebutuhan serta pengarahan karakter anak.

Tidak ada komentar: