Selasa, 29 Juli 2008

LIFE IS SO FRAGILE

Setelah usia bergerak dewasa, saya merasakan bahwa mata ini seringkali berair. Mata yuyu, orang Jawa bilang yang artinya mata kepiting. Sering merasa tersentuh oleh berbagai peristiwa sehingga menyebabkan air mata. Benar..banyak peristiwa yang seringkali membuat sedih bahkan membuat menangis.

Saya masih ingat ketika dulu SMA kelas 3, ada siswa baru yang akan datang, tetapi masih dalam kondisi sakit sehingga harus pindah dari sekolahnya dulu, yang kebetulan memang sekolah terpandang di Indonesia dimana seleksinya sangat ketat. Namanya Gabriel Probo (setelah saya menikah, saya baru tahu kalau ternyata dia adalah kakak angkatan suami saya, yang sama-sama dari Semarang).

Walaupun namanya sudah ada di daftar absen (kebetulan waktu itu saya sebagai sekertaris di kelas saya) tetapi sang teman tidak pernah kunjung datang. Waktu itu, wali kelas saya bilang dia sakit leukemia dan masih berobat bolak-balik ke rumah sakit. Saya sempat datang ke rumah sakit, tempatnya dirawat inap tetapi yang bersangkutan masih tidur sehingga saya dan teman saya hanya bisa melihat dari luar kamar dan berbincang dengan kakak perempuannya. Kakaknya bercerita, betapa adiknya itu memiliki semangat yang tinggi untuk sembuh dan bisa bersekolah lagi dan betapa keluarga mereka berusaha mati-matian untuk mengobati Gabriel (waktu itu kami berdua memanggilnya, bahkan teman saya memanggilnya “Bobo”, ternyata menurut suami, panggilan di SMA adalah “Probo”).

Sampai suatu hari, harapan Probo untuk bersekolah pupus sudah. Yang Maha Kuasa telah memanggilnya untuk meringankan penderitaannya. Saya merasa sangat kehilangan (walaupun sama sekali belum pernah mengenalnya, hanya pernah melihatnya tidur dari luar kamar), saya sangat menyayangkan kepergiannya yang begitu dini, di tengah semangatnya untuk kembali bersekolah dan juga semangat orang tuanya untuk memperjuangkan kesembuhannya. Mengapa Tuhan mengambilnya? Sementara banyak sekali orang-orang muda, tunas-tunas bangsa yang menyia-yiakan kehidupannya bahkan menjadi beban orang tua dan bangsa ini. Mengapa bukan mereka saja?

Waktu itu, saya yang masih sangat muda, masih sweet seventeen, masih sering bertanya-tanya tentang hal itu…bahkan sampai sekarang. Mungkin banyak yang bilang, kamu masih SMA, having fun aja, kenapa memikirkan yang tidak ada hubungannya dengan kamu? Tidak tahu, dari dulu mungkin saya memang serius, makanya mungkin tidak cocok dengan kebanyakan anak SMA waktu itu banyak yang doyan hura-hura, main-main.

Bahkan di hari pemakamannya, saya bisa melihat betapa rumahnya sangat sederhana dan sesuai dengan cerita kakaknya bahwa orang tua mereka sudah habis-habisan. Mebel di rumah mereka sudah banyak yang dijual untuk menutupi biaya pengobatan. Saya tidak bisa melihat wajahnya karena ketika kami datang melayat, jenasahnya sedang didoakan menurut Katolik, agama yang dianutnya.

Ketika teman-teman saya banyak yang tidak begitu peduli (pada akhirnya memang mereka tidak dapat saya salahkan sepenuhnya karena pada dasarnya mereka memang tidak mengenal Gabriel dengan baik), saya yang berdiri di bawah pohon depan rumahnya, berkali-kali menyusut air mata yang selalu jatuh berderai, mengenang seorang teman yang bahkan tidak pernah saya kenal sebelumnya..mengenang semangatnya untuk sembuh dan sekolah.. Bahkan hingga seminggu setelah pemakamannya, sebelum tidur malam, saya masih menangisi dan tidak lupa untuk selalu mendoakannya..meminta Tuhan untuk selalu menjaganya…Padahal I barely didn’t know him

Semenjak itu, saya menyadari bahwa kehidupan ini sangatlah rapuh. Life is so fragile.. Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan akan kehidupan kita. Yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik mungkin yang kita bisa dan selalu memasrahkan segala usaha kita kepada Tuhan, karena Dia-lah pada dasar sang empunya kehidupan. We must try and do ourbest and let God does the rest…

Tidak ada komentar: