Selasa, 29 Juli 2008

PICTURE PERFECT

Setiap manusia ditakdirkan untuk saling berpasangan sehingga tercipta suatu harmoni diantara mereka. Ketika Tuhan menyatukan dua insan, tidak seorangpun manusia yang dapat memisahkannya.

Anda percaya jodoh? Dulu waktu saya remaja, saya tidak begitu percaya. Rasanya kok too good to be true..Memang di dalam agama sudah tertulis bahwa yang namanya lahir, jodoh dan mati merupakan kekuasaan penuh Yang Di Atas. Tetapi ketika hal itu terjadi sendiri pada saya, mau tidak mau saya benar-benar percaya akan sejatinya perjalanan jodoh itu. Tidak mudah memang tetapi juga bukannya tidak mungkin.

Dari dulu, saya berharap bahwa jodoh saya adalah orang dari suku lain (saya keturunan Jawa-Minang) supaya bisa lebih tahu tentang Indonesia, selain itu orang tersebut dapat membimbing saya, mengatasi semua ketakutan saya dan benar-benar paham akan diri saya. Saya sendiri tidak yakin ada figur orang yang benar-benar memahami saya—karena saya merasa berbeda dari kebanyakan orang, terutama waktu itu teman-teman sekolah dan teman sebaya saya. Tetapi believe or not, ternyata orang itu memang ada, dan telah diset oleh Tuhan menjadi pendamping saya. Dan lucunya dia adalah teman saya satu angkatan—walaupun saya dan dia tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

Ketika perjalanan jodoh saya sudah sampai, semuanya (kecuali berharap asal dari suku lain yang tidak terpenuhi) akhirnya menjadi kenyataan. Dan yang menjadi dasar kepercayaan saya akan jodoh itu ada adalah suami saya adalah teman seangkatan saya waktu SMP yang tidak pernah saya kenal sebelumnya bahkan ketika kami bertemu setelah 10 tahun kemudian. Kata Papa, itulah “retak tangan kamu” (garis tangan-takdir).

Saya dari mulai lahir sampai bekerja di Semarang, sementara dia sudah melanglang buana kemana-mana semenjak lulus SMP. SMA nya dia tempuh di Magelang (dia satu-satunya wakil dari SMP kami di SMA Taruna Nusantara), kuliah bahkan hingga S2 di Bandung sementara bekerja di Jakarta. Dia yang hampir tidak pernah pulang Semarang, kok ya pulang ke Semarang waktu kami bertemu untuk pertama kali. Saya jadi semakin yakin bahwa ada campur tangan Tuhan didalamnya.

Banyak teman SMP yang terbengong-bengong waktu mendapat undangan pernikahan kami atau mendengar kami bersama. Soalnya di SMP dulu, kami memang tidak pernah mengenal bahkan tidak pernah bertegur sapa. Saya orangnya serius, sementara dia lebih-lebih lagi, dobel serius… Memang kalau dipikir-pikir, too good to be true juga. Sahabat saya (selama 23 tahun hingga sekarang ini) yang mengenal kami berdua juga sangat kaget mendengar kebersamaan kami. Teman yang lain bilang, “Ketemu pirang perkoro kok iso dadi karo deknen?” (Ketemu berapa perkara kamu kok bisa jadian sama dia--ungkapan yang lazim diucapkan oleh orang Jawa kalau merasa keheranan, takjub dsb). Bisa dibilang kami malah mulus-mulus aja, tidak terlalu ada masalah berarti. Mungkin dia memang sudah jodoh saya sejak dari dulu, yang harus melewati puluhan tahun baru bisa ketemu.

Dan anehnya, memang setelah bersama dengan dia terutama semenjak menikah rasa-rasanya saya menjadi semakin berani. Bayangkan, saya yang dari dulu berkutat di Semarang, mengambil lompatan yang jauh tak terduga untuk mengambil S2 bahkan sampai S3 di UI, di Jakarta, suatu tempat dimana dulu semenjak kecil saya benar-benar anti dengan daerah ini. Bukan apa-apa, tetapi berita yang negatif dan tiap kali datang ke Jakarta selalu pusing dan stres soal macet dsb.

Begitu juga harapan saya soal keliling Indonesia (minus Papua) akhirnya dapat terpenuhi walaupun suami bukan dari suku lain, karena suami bekerja di maskapai penerbangan maka tiap waktu kami dapat pergi dengan memanfaatkan fasilitas konsesi (tiket gratis atau potongan harga). Bahkan tanpa konsesi kemudian kami tetap melakukan perjalanan ke tempat yang hendak kami tuju. Saya yang dulu rasanya selalu enggan untuk melakukan perjalanan jauh karena terbayang bagaimana ribetnya, repotnya melakukan persiapan, dengan adanya suami (yang semenjak SMA nya yang semi militer tersebut terbiasa packing secara ringkas dan praktis) berani untuk melakukan perjalanan semi back-packer. Hanya dengan membawa satu ransel untuk kami berdua dan keliling kota dengan menggunakan angkot. Bahkan ketika mencari makanan khas, oleh-oleh atau souvenir tertentu di suatu daerah.

Ketika orang sering menyebut tentang soul mate (belahan jiwa), sepertinya itupun yang saya rasakan terhadap suami saya. Beberapa hal jika ditanyakan pada suami saya maka jawaban yang sama akan meluncur dari saya. Banyak pandangan dan penilaian terhadap sesuatu hal hampir bisa dipastikan sama. Ketika satu orang tidak ada, maka yang lainnya akan merasa kehilangan. Bukan kami tidak ada perbedaan, bahkan banyak perbedaan diantara kami tetapi kami merasa perbedaan itu bukanlah untuk digembar-gemborkan tetapi adalah untuk saling melengkapi dan memperkaya kehidupan kami dalam berumahtangga.

Picture perfect—pada dasarnya tidak ada satupun manusia di dunia ini yang sempurna. Bahkan dari ketidaksempurnaan itu merupakan gambaran betapa perfect-nya dunia ini dimana kita masing-masing dapat saling menghargai, toleransi, menjaga, melengkapi dan memperkaya. Bayangkan saja jika Indonesia ini hanya terdiri satu suku saja, satu budaya, rambutnya keriting semua, kulitnya kuning semua..ah betapa bosannya wisatawan yang datang, hanya satu hari datang, sudah habis yang akan dilihat..Justru dari perbedaan itu muncul suatu peluang modal untuk membangun. Begitu juga dengan rumah tangga..

Tidak ada komentar: