Rabu, 16 Juli 2008

IN THE NAME OF MY DAUGHTER

Anak saya, Audrina sekarang sudah berusia 3,5 tahun. Banyak sekali kemajuan yang telah dicapainya dan hal ini berbanding lurus dengan kebandelannya. Menurut psikolog anak, memang sudah seharusnya seperti itu karena sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Saya ingat dulu ketika menikah, saya dan suami berkomitmen untuk tidak punya anak dulu karena waktu itu saya sedang menyelesaikan S2 saya. Waktu itu hanya terpikir, tidak sanggup dengan segala kerepotan dan keribetan yang terjadi dengan kehamilan itu. Tetapi ternyata rencana hanya tinggal rencana, pada bulan Mei 2004 sebelum ulang tahun saya ke 27 tahun, saya dinyatakan positif hamil oleh dokter.

Berbeda dengan reaksi kebanyakan orang yang akan melonjak kesenangan ketika dinyatakan hamil, saya dan suami (terutama saya) langsung terhenyak. Waktu itu yang langsung terbayang di pelupuk mata adalah S2 saya terancam gagal, saya harus mengejar berapa tahun lagi.

Pada tahun 2004, saya memang tinggal menyelesaikan tesis. Kami memang tidak menggunakan KB dari dokter, hanya sistem kalender saja. Dan waktu itu (kami menikah bulan Februari 2003) rasanya aman-aman saja. Setelah mama saya dan suami saya wisuda S2 di tahun yang sama, saya dan suami berencana untuk keliling Indonesia. Waktu tahun 2004 tersebut, kami baru saja pulang dari perjalanan ke Denpasar, Manado dan Lombok.

Saya takut dengan bayangan kegagalan dan kekecewaan dari orang tua jika saya gagal menyelesaikan tesis. Kehamilan membuat saya berpikir banyaknya hal yang saya sukai akan dilarang dan dibatasi. Saya pada dasarnya orang yang dinamis, mobile (baca: tidak dapat diam) bahkan jika harus bepergian dengan angkutan jika di Depok atau menyetir mobil sendiri ketika di Semarang. Kesukaan saya akan traveling sudah jelas akan terganggu dengan adanya kehamilan ini. Padahal waktu itu, time schedule kita berdua berikutnya adalah Batam dan kemudian ke Medan yang dengan terpaksa kami batalkan. Kemudahan tiket gratis (konsesi) dari maskapai penerbangan tempat suami bekerja akhirnya tidak kami gunakan.

Pada akhirnya memang ada penerimaan dari diri saya ketika suami yang begitu sabar membujuk saya bahwa kehamilan tidak perlu dikhawatirkan, sebaiknya tetap fokus terhadap tujuan dan tidak meninggalkan apa yang sudah kita rencanakan. Kebetulan si bayi dalam kandungan sepertinya tahu kalau ibunya harus menyelesaikan sekolah, sehingga tidak pernah rewel dan bermasalah. Kami tetap pergi ke Denpasar lagi karena ada tawaran, kemudian Batam dengan Medan kami alihkan untuk ke Bandung dan Bogor yang lebih dekat dan tetap menarik.

Waktu itu bahkan saya tidak merasakan kalau saya hamil dan saya juga tidak berpikir kalau saya hamil. Tesis tetap jalan terus, konsultasi dengan dosen pembimbing walaupun harus naik turun tangga tetap jalan terus, begitu juga ketika harus melakukan penelitian di Magelang.

Kalau merasa suntuk dan pengen suasana baru, saya dan suami pergi ke Bandung atau Bogor bahkan dengan cueknya waktu antri lesehan ketika beli tiket kereta api di Gambir karena loket belum buka dan waktu itu travel ke Bandung belum seperti sekarang dimana dari Depokpun ada di beberapa tempat. Berburu makanan enak, mainan yang lucu dan putar-putar naik angkot melihat daerah baru.

Saya tidak mau memakai baju hamil, tetap seperti biasa, baju kaos yang longgar dan celana panjang. Bahkan beberapa teman yang masih sering ketemu dan dosen pembimbing tidak tahu kalau saya hamil. Anehnya saya malah senang-senang saja karena tidak merasa dikasihani atau diistimewakan gara-gara kehamilan itu. Setelah kehamilan menginjak 7 bulan lebih, baru deh kelihatan kalau hamil. Teman waktu itu yang biasa merokok di kafetaria, kalau melihat saya datang, spontan mematikan rokok. Begitu juga dosen pembimbing yang mulai khawatir, melihat saya ketika konsultasi naik turun tangga menemui beliau. “Sudahlah titipkan saja sama satpam di depan, nanti biar dia yang kasih ke sopir saya, kamu ngga usah naik-naik tangga lagi”.

Pada saat sudah selesai penelitian untuk tesis, kondisi hamil saya sudah hampir 8 bulan dan kepada dosen pembimbing sayameminta supaya dapat sidang sebelum melahirkan karena saya pernah mendengar pengalaman kakak kelas yang harus melahirkan dulu sebelum sidang karena pembimbingnya tidak mau menguji pada saat dia hamil tua. Waduh, ngga terbayangkan kalau hal itu terjadi pada saya, apalagi jelas saya ada di Semarang.

Untungnya dengan kebaikan pembimbing saya (Alm.Bapak Prof Dr Fuad Hassan dan ibu Dra Evita Singgih, MPsi) akhirnya tepat 2 minggu sebelum melahirkan, saya dinyatakan lulus sidang Magister Sains Psikologi Klinis. Jadi waktu itu yang sidang adalah saya dan anak saya yang masih dalam kandungan. Ketika harus presentasi di hadapan dewan penguji, saya diberi privilege boleh dengan duduk karena saya hamil besar tetapi saya tolak karena seperti tadi saya bilang, saya tidak mau diistimewakan karena saya masih kuat.

Ketika kembali ke Semarang, 2 minggu kemudian, saya dinyatakan harus operasi Caesar karena posisi bayi yang tidak mau turun. Ibu Evita bahkan setelah sidangpun, masih memberikan perhatiannya ketika tahu saya harus operasi. Dokter kandungan saya di Semarang, seorang perempuan dan hampir mirip saya, sedikit tomboy. Ketika tahu saya masih harus menyelesaikan S2, dia sangat memberikan support. Bahkan ketika mama saya ikut mengantar periksa, mengeluhkan kalau saya masih bandel menyetir sendiri, dengan santainya ia berkata “Ngga’ pa-pa bu, yang penting tetap hati-hati saja, kalau perlu waktu melahirkan nanti, setir sendiri saja ke rumah sakit”. Pokoknya funky banget dan saya merasa cocok. Ngga’ terlalu menggurui. Ketika tahu kepala bayi belum turun juga, dia tetap santai dan menyarankan supaya sering dipakai jalan.

Dokter Lilien menyarankan untuk operasi caesar karena takutnya kalau menunggu normal bisa-bisa bayinya keracunan. Waktu itu bahkan menawarkan tanggal 1 Januari pas tahun baru 2005 tetapi karena suami masih bekerja di Jakarta, akhirnya disepakati tanggal 4 Januari 2005. Dan lahirlah anak kami, AUDRINA SALSABILA ROSMANINGTYAS ARIFIN.

Nama yang berasal dari kombinasi sumbangan nama dari papa, mama dan saya. Saya memilih nama Audrina tepat setelah dia lahir, ketika langsung terlintas tugas saya waktu S2, My Sweet Audrina. Sementara Salsabila dari papa ketika beliau habis sholat dan Rosmaningtyas dari mama, yang terilhami dari nama ibu dari papa saya, Uwa Rosma yang meninggal waktu melahirkan papa dan nama itu juga dilekatkan pada nama saya, untuk rememberance beliau (karena ning-tyas itu artinya didalam hati) dan Arifin dari nama belakang suami. Habis dia ditanya dari sebalum melahirkan selalu saja masih bingung belum menemukan nama yang pas.

Saya dan suami saya selalu mengharapkan agar Audrina bisa “lebih” segalanya daripada kami, terutama adalah lebih tangguh dalam menghadapi hidup, lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai macam hal dalam hidup dan lebih beruntung dalam mendapatkan hidup. For you, my dear daughter, We hope that life is always kind to you…

Tidak ada komentar: