Persahabatan terjadi ketika seseorang menemukan kecocokan dan kesamaan dalam cara berpikir, hobi dan pembicaraan. Persahabatan membutuhkan rasa saling toleransi, saling menghormati dan hal itu akan melewati sekat-sekat perbedaan berupa agama, suku, ras dan budaya. Itulah yang terjadi antara saya dan sahabat-sahabat saya.
Yang paling spektakuler adalah saya dan Mira, sahabat saya. Persahabatan kami pada tahun 2008 ini telah memasuki usia ke-23 tahun. Olok-olok diantara kami mengemuka bahwasanya jika misalnya kami adalah pasangan berbeda jenis dan menikah, pasti sudah hampir memasuki usia perkawinan perak dan anak-anak kami tentu sudah besar-besar.
Saya dan Mira memiliki perbedaan mendasar yaitu agama, tetapi hingga 23 tahun persahabatan, tidak pernah sekalipun kami berselisih soal itu. Perbedaan itu tidak untuk diperdebatkan apalagi diperselisihkan. Saya begini, dia begitu tetapi pada akhirnya akan ada yang mempersatukan, yaitu rasa kasih dan sayang antar sesama umat manusia dan hamba Tuhan.
Tidak seperti peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Toleransi kami sangat kuat. Begitu juga dengan sahabat-sahabat saya ketika kuliah. Mereka berasal dari etnis, agama dan latar belakang yang berbeda. Saya sering berpikir, jika kami bisa bersatu (seperti yang diharapkan oleh Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika), kenapa yang lain tidak bisa? Kalau kita, bangsa
Kembali ke persahabatan saya dan Mira. Kami sama-sama senang membaca buku, menonton film terutama silat Hongkong klasik. Saya masih ingat ketika kami berada di SD dan SMP yang sama, kami sering berkirim
Kami sering bertukar buku cerita, yang waktu itu didominasi oleh Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Empat Serangkai, St Claire, Mallory Towers dan beberapa serial dari Enid Blyton. Pandangan dan prinsip kami sama tentang etos kerja, kerja keras dan pantang menyerah. Dia adalah supporter utama saya ketika melanjutkan sekolah, bekerja maupun ketika menikah. Dia selalu ada untuk mendengarkan saya ketika ada masalah, begitupun sebaliknya.
Bersama dia, saya bisa ketawa ngakak mengingat kelucuan-kelucuan pada saat kami bersekolah, tentang orang-orang, peristiwa tertentu dsb. Uniknya lagi, dia di mata keluarganya adalah orang yang sangat serius, jarang banget tertawa lepas dan sangat tertutup. Tetapi kata mereka, dengan saya, dia bisa lebih terbuka dan ya itu…bisa ketawa ngakak keras-keras…
Ketika saya merasa ada pressure dalam bekerja dan saya berusaha untuk tetap berbuat baik di jalur yang benar, selain pada keluarga, kepada dialah saya berkaca, bahwasanya saya masih Puti yang dulu, yang mempunyai idealisme yang sama dan tidak ada perubahan yang negatif dalam diri saya. Dialah cermin saya, yang dapat memperlihatkan siapa jati diri saya sesungguhnya. Apakah akan berubah, menjadi “orang lain” seperti halnya orang-orang lain yang saya kenal ketika mereka menghadapi tekanan ataukah bahwa deep inside, saya yang dulu tetaplah masih ada.
Bagaimana tidak, 23 tahun kami bersahabat, kami sama-sama saling tahu semenjak kami masih kecil. Kami sama-sama serius dan tidak pernah berpura-pura satu sama lain. Kami adalah Puti dan Mira yang sama sejak 23 tahun yang lalu. Walaupun ketika kami pernah berpisah di SMA, kuliah, bekerja bahkan ketika saya sudah berkeluarga dan punya anak.
Di era sekarang ini, kadang-kadang sikap muna (fik..) seringkali paling efektif dikedepankan sebagai jalur pembebasan dari tekanan akan kompetisi kerja yang tidak sehat. Kebanyakan dari kita pasti sering melihat dan mungkin bahkan mengalami sendiri fenomena tersebut. Kita menjadi tidak tahu mana kawan mana lawan, apalagi di budaya yang serba “sungkan” seperti di Jawa ini. Selain suami dan keluarga, dialah yang mampu mengembalikan keseimbangan saya. Saya menjadi “balance” lagi, saya menjadi semakin yakin lagi kalau saya tidak pernah berubah…
Hanya saja sekarang-sekarang ini setelah saya sekolah kembali di
What can I say at this term? A friend in need is a friend in deed... That’s all about My Funny Friend and Me…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar