Selasa, 29 Juli 2008

STOCKHOLM SYNDROME

Saya tahu tentang Stockholm Syndrome tidak terlalu lama terutama semenjak kuliah S3. Banyak hal yang terkait dengan Stockholm Syndrome terutama tentang manusia dan hubungannya dengan manusia lain. Stockholm Syndrome adalah sindrom seseorang yang membelenggukan diri dengan penyandera – bisa tanda kutip pada kata penyandera.

Masih ingat film James Bond “The World is Not Enough” ? Di film itu ada tokoh yang bernama Elektra King yang anak seorang triliuner minyak dunia dan ayahnya merupakan teman dari M, atasan Bond. Elektra adalah contoh paling jelas tentang kasus Stockholm Syndrome.

Elektra ketika remaja diculik oleh penjahat, yang pada akhirnya malah mencintai sang penculik, dan marah kepada ayahnya yang sepertinya tidak peduli – dan di akhir cerita terungkap bahwa yang mengotaki pembunuhan ayahnya dan master mind dari segala konspirasi tersebut adalah dia, Elektra.

Bond dan M yang awalnya terenyuh dengan penampilan Elektra, yang terlihat rapuh dan tidak berdaya dan bertindak melindunginya sontak kaget melihat sosok yang beringas dan menyimpan dendam bahkan memanipulasi sang penculik yang menjadi kekasihnya untuk melakukan apapun yang dimintanya termasuk mengorbankan dirinya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah itu tidak ada di Indonesia? Jawabannya ternyata banyak, tentu saja tidak seekstrim Elektra tetapi simpul kasusnya hampir sama. Hal ini ternyata banyak dialami oleh wanita, yang secara struktur sistem masyarakat kita berada di posisi subordinat.

Sekarang ini banyak kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang terjadi di Indonesia. Kekerasan itu tidak hanya berbentuk fisik tetapi juga psikis. Dengan berkembangnya jaman, posisi tawar wanita sekarang semakin tinggi. Sudah banyak wanita yang mengisi posisi puncak dalam instansi tempatnya bekerja. Tidak sedikit pula masalah yang terjadi dengan maraknya dengan kenyataan tersebut.

Stockholm Syndrome terjadi karena banyak wanita pula yang menemui adanya fenomena glass ceiling, setinggi apapun yang selalu ada saja hambatan yang “kasat mata” – sehingga diumpamakan sebagai atap kaca, karena kita dapat melihatnya tetapi seakan-akan susah untuk menjangkaunya.

Lagi-lagi, masalah yang sama dan klasik yaitu urusan domestik rumah tangga, keluarga dan anak. Dan parahnya lagi, yang membuat segalanya memburuk juga berasal dari kaumnya sendiri, sesama wanita, entah itu tetangga, keluarga, teman kerja atau siapapun yang merasa iri akan keberhasilan kaumnya. Sangat dimengerti, tingkat kecemburuan wanita terhadap wanita biasanya lebih tinggi dibanding terhadap pria. Pria sukses di karir itu biasa, kalau wanita bisa jadi berita..

Sindrom mulai terjadi ketika wanita mulai “mengalah” atau takut menjadi sorotan kalau berhasil. Ketika mengambil peran tidak berdaya (seperti banyak stereotip tentang wanita), maka sang wanita mengambil sikap dependen terhadap sosok yang lebih memiliki power (dalam hal ini si pria), dan terjadilah Stockholm Syndrome tersebut.

Saya jadi ingat suatu kasus. Ada seorang wanita, sebut saja W. Dia anak bungsu, seorang sarjana dan pegawai negeri. Sampai usia yang hampir mendekati setengah abad, dia masih single. Ketika ada upaya untuk mencari jodoh lewat seseorang yang memiliki kemampuan spiritual (sebut saja F) ternyata W ini dalam rentang waktu yang cukup lama, jatuh cinta pada F. Dari pihak keluarga W mengecap bahwa F yang “menguna-gunai” W sehingga W seperti lupa daratan. Apalagi sosok W yang sepertinya rapuh, tidak berdaya dsb. Sementara F seperti gold-digger, pencari wanita-wanita bekerja yang dapat dikibuli untuk diperas uangnya. Status F sendiri juga menikah dengan anak yang banyak.

Ingat kan seperti siapa kasus W di atas? Benar, mirip banget dengan Elektra. Kalau anda sendiri mengikuti kasusnya, andapun akan mengira sama seperti banyak “penonton” lain. Ketika saya menelaah lebih lanjut, sampailah saya pada kesimpulan Stockholm Syndrome tersebut. Kemudian saya ingat ulasan Monty Setiadharma di Femina dimana kebetulan latar belakang W semenjak dulu sangat bergantung pada ayah dan kakak-kakaknya. Tidak pernah benar-benar mandiri.

Sosok F yang gold-digger, saya pikir tidak perlu dibahas karena ternyata banyak korbannya yang dapat lepas. Ketika kekuatan yang bukan kekuatan Tuhan beraksi, hal tersebut akan ada limitnya karena yang abadi hanya yang berasal dari Tuhan. Jadi “hal itu” akan ada batas expired-nya, akan tetapi ketika “hal itu” masih berjalan bahkan setelah sepuluh tahun berjalan maka yang terjadi adalah Stockholm Syndrome.

Saya bukan seorang feminis sejati tetapi saya juga paling benci ketika orang, tidak peduli wanita atau pria sudah “kalah sebelum berperang”. Yang penting adalah usaha kita. Nasib kita bukan orang lain yang menentukan tetapi kita sendiri, tentunya dengan perkenaan ijin Tuhan.

Orang sering mendramatisasi dirinya seakan-akan dirinya itu yang paling menderita, penderitaan orang lain tidak apa-apanya. Padahal banyak orang yang menderita tetapi tidak pernah mau menyerah, selalu berusaha bahkan untuk kehidupan yang lebih baik. When there is a will, there is a way…

Orang harus mempunyai tujuan yang jelas dalam hidup, sehingga dalam perjalanan hidupnya yang berliku itu dia tetap fokus terhadap tujuan hidupnya. Ketika dia tidak memiliki purpose of life, guess what..? You’ll know when and where there’s end up…

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Thanks.. Infonya

Htpp://hanyagoresanbiasa.blogspot.com