Senin, 30 Juni 2008

DON’T JUDGE BOOK BY ITS COVER

Orang seringkali menilai orang lain dari apa yang mereka lihat. Tidak salah memang tapi juga tidak benar jika mendasarkan semua penilaian berdasarkan apa yang terlihat. Looks can deceive..penampilan bisa jadi hanyalah suatu kebohongan, kepura-puraan.. Banyak orang yang tahu itu tapi seringkali mereka terperangkap dengan apa yang dinamakan Hallo Effect. Hallo Effect adalah apa yang terlihat pertama kali pada diri seseorang. Hal ini lazim terjadi dalam sesi wawancara, baik untuk wawancara kerja, penerima beasiswa ataupun untuk pencalonan untuk jabatan tertentu.

Dalam wawancara, penampilan memang diperlukan. Bahkan pepatah Jawa mengatakan “ajining diri saka busana” bahwa dari penampilan itulah, orang akan dihargai. Argumentasinya adalah kalau dia tidak bisa menghargai dirinya sendiri (dengan tampilan luar), bagaimana bisa dia menghargai orang lain.

Saya termasuk ke dalam kelompok orang yang santai (dibaca: tidak terlalu mementingkan penampilan), bisa dibilang tidak pernah dandan, pakaian juga apa adanya. Bukannya dari dulu seperti itu. Waktu remaja, seperti jamaknya remaja putri lain, juga senang mencoba baik dandanan, potongan rambut, pakaian dan segala aksesorisnya. Tapi ya sudah, cuma sebatas itu. Apalagi semenjak menikah, maklum suami saya tipikal orang teknik. Tahu maksud saya? Ya cuek dalam penampilan, lebih konsen ke dunia pekerjaannya (sebagai technical engineering di sebuah maskapai), tidak pernah mengomentari apapun penampilan istrinya. Jadi ya sudah klop dengan saya yang pada dasarnya juga cuek, disamping jadi lebih hemat dengan jarangnya beli kosmetik dan aksesoris.

Waktu itu fokus kami adalah keliling nusantara dengan semi-backpacker (lihat blog kami : www.trans-port.blogspot.com). Ternyata hal tersebut sangatlah menguntungkan dengan perjalanan kami, tidak terlalu banyak bawaan, karena kami biasanya hanya membawa 1 buah ransel untuk perlengkapan kami berdua. Hal itu juga memudahkan kami untuk berwisata dengan angkot keliling kota.

Tetapi ternyata penampilan saya yang seadanya (menurut teman-teman saya : sederhana) membuat saya pernah dibengongin orang. Tahu nggak kenapa? Karena mereka tidak menyangka saya yang berpenampilan seperti ini adalah mahasiswa Doktoral Fakultas Psikologi UI. Juga status saya sebagai dosen disalah satu universitas negeri di Semarang. Banyak sekali komentar mereka : “Waduh, nggak kelihatan ya?” (apanya yang gak kelihatan, wong orang didepannya segede gambreng gini), “Pantes..kalau orang pinter itu gak kelihatan” (emangnya Mama Lauren?), “Masih muda gini sudah S3” (dia gak tahu banyak orang yang lebih muda dari saya sudah post-doc).

Gara-gara penampilan pula, saya yang lebih muda dari suami sering dikira kakaknya atau bahkan ibunya (waduh…). Sudah jamak, wanita itu pada dasarnya lebih cepat kelihatan matang daripada lelaki apalagi kalau hampir sebaya. Emang, saya dipikir “tante-tante girang pemburu daun muda..”

Saya sering terkagum-kagum dengan orang (yang mungkin kebetulan teman, kenalan bahkan saudara) yang berpenampilan sederhana tetapi dia seorang pengambil keputusan di suatu perusahaan besar atau instansi pemerintah. Dia kaya tetapi tidak perlu menunjukkan pada semua orang bahwa dia kaya, pintar tetapi tidak merendahkan orang lain, terbuka pada semua hal.

Seperti pelawak Tukul Arwana. Saya melihat dia malah sebagai “orang yang mau belajar dan quick learning” walaupun kesusahan melafalkan bahasa Inggris (karena logat Jawa-nya sangat kental, seperti juga banyak dari kita) tapi paling tidak dia berani berbicara. Ketika melihat acara Empat Mata itu saya malah sering geli dengan bintang tamu yang penampilannya wah dan kadang-kadang sok kebarat-baratan tetapi malah kelihatan kampungannya, seringkali melecehkan Tukul sebagai host acara tersebut tetapi malah ketahuan dia sendiri yang bodoh, bahkan seringkali akhirnya terjebak melecehkan secara fisik. Jadi, saya pikir kok terbalik-balik ya? Apa mereka pikir audience kita, penonton Indonesia itu nggak pintar-pintar. Seringkali under-estimated.

Inilah yang sebenarnya dibutuhkan bangsa ini sehingga seringkali kita dengarkan keluhan wisatawan domestik yang selalu dinomorduakan setelah wisatawan mancanegara. Jadi jangan terbelenggu dengan mental “terjajah” walaupun memang kita, bangsa Indonesia telah dijajah selama berabad-abad. Padahal belum tentu wisatawan kita itu lebih miskin, bukan tidak mungkin turis bule itu adalah bule belel, seperti yang sering kami lihat waktu di Bali, tepatnya di Jimbaran, restoran Uluwatu. Turis bule yang sama selalu hadir dengan teman-teman yang berbeda. Selidik punya selidik, dia itu adalah bule yang ‘cekak’ sehingga selalu menggaet teman-teman yang berbeda untuk dapat ikut. Tapi lagaknya itu minta ampun, sok akrab dll.

So, pelajaran yang dapat dipetik adalah penampilan itu memang penting. Tapi yang lebih penting adalah jangan menilai seseorang hanya dari penampilannya. Don’t judge book by its cover.

Kamis, 26 Juni 2008

DISPRAKSIA

Orang sering kali salah mempersepsikan dan mengartikan ketika menemui anak-anak yang sukar berbicara atau mengeja umumnya dianggap sebagai disleksia padahal mungkin dapat saja yang terjadi adalah sebenarnya anak tersebut mengidap dispraksia. Dispraksia pada umumnya masih terasa asing di telinga orang Indonesia, namun bukan tidak mungkin kasus dispraksia juga terjadi pada anak-anak di Indonesia.

Sekitar 10 % anak-anak di Inggris mengalami dispraksia dan 2 % diantaranya mengalami dispraksia yang parah. Menurut penelitian ada satu diantara 30 anak dalam 1 kelas yang mengalami dispraksia. Dispraksia sering kali dikelirukan sebagai disleksia yaitu : kesukaran untuk membaca, menulis atau mengeja dan sering kali diikuti dengan masalah lain seperti ketrampilan pengorganisasian yang buruk. Dispraksia mungkin juga dianggap dengan ADD (Attention Deficit Disorder), ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau Discalculia yaitu : kesukaran untuk menangkap konsep-konsep dalam matematika. Padahal sebenarnya, dispraksia mencakup masalah yang lebih luas dan bervariasi.

1. Pengertian Dispraksia

Dispraksia berasal dari kata “Dys” yang artinya tidak mudah atau sulit dan “praxis” yang artinya bertindak, melakukan. Nama lain Dispraksia adalah Development Co-ordination Disorder (DCD), Perceptuo-Motor Dysfunction, dan Motor Learning Disability. Pada jaman dulu lebih dikenal dengan nama Clumsy Child Syndrome. Menurut penelitian, gangguan ini kadang diturunkan dalam keluarga dan gejalanya tumpang tindih dengan gangguan lain yang mirip misalnya disleksia.

Menurut penelitian secara medis, dispraksia adalah gangguan atau ketidakmatangan anak dalam mengorganisir gerakan akibat kurang mampunya otak memproses informasi sehingga pesan-pesan tidak secara penuh atau benar ditransmisikan. Dispraksia mempengaruhi perencanaan apa-apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Hal ini menyebabkan timbulnya kesulitan dalam berpikir, merencanakan dan melakukan tugas-tugas motorik atau sensori.

Menurut Belinda Hill, speech pathologist di Australian Dyspraxia Support Group and Resource Centre Inc. di New South Wales, dispraksia bukanlah gangguan yang terjadi pada otot dan gangguan kecerdasan walaupun akibatnya mempengaruhi kemampuan berbahasa dan pengucapan. Masalah dispraksia terjadi ketika otak mencoba memerintahkan untuk melaksanakan apa yang mesti dilakukan, namun kemudian sinyal perintah otak itu diacak sehingga otot tidak dapat membaca sinyal tersebut. Keluarga yang hidup dengan anak dispraksia sering kali biasanya tidak menyadari kondisi anak dengan segera. Hal ini menyebabkan anak dispraksia mempunyai kepercayaan diri yang rendah akibat gangguan yang dideritanya dan kekurangtahuan keluarga. Anak dispraksia juga rawan terhadap gangguan depresi serta mempunyai kesulitan dalam emosi dan perilaku.

Gejala-gejala Dispraksia

Pada bayi

Dispraksia sering ditandai dengan sedikit atau tidak adanya ocehan. Ketika mulai belajar bicara, huruf konsonan yang diucapkannya sangat sedikit.

Pada anak usia 3 – 5 tahun (usia pra sekolah)

- Aktivitas motorik yang sangat tinggi termasuk mengayun-ayunkan kaki dan menghentak-hentakan kaki ketika duduk, bertepuk tangan atau menari.

- Tangan mengembang ketika berlari.

- Kesukaran mengayuh pedal sepeda roda tiga atau mainan serupa.

- Ketrampilan motorik halus yang jelek, misal sukar memegang pensil atau menggunakan gunting.

- Kurang melakukan permainan yang imajinatif.

- Mengalami kesulitan berbahasa yang terus menerus.

- Respon terbatas pada instruksi lisan apa saja.

- Terlambat berguling, merangkak, berjalan.

- Sukar menyesuaikan diri saat beralih ke makanan padat.

- Sukar melangkah, memanjat, menyusun puzzle, mempelajari ketrampilan baru secara insting dan lambat mengembangkan kata-kata.

- Sulit berbicara dengan jelas dan kesulitan menggerakkan mata sehingga lebih suka menggerakkan kepalanya daripada menggerakkan matanya.

Pada anak yang lebih besar (usia sekolah)

- Kesulitan dalam berkata-kata maupun mengekspresikan diri.

- Sebagian anak dispraksia terlalu sensitif terhadap sentuhan.

- Sukar mengingat instruksi dan menyalin tulisan dari papan tulis.

- Tidak dapat menangkap konsep seperti : “di bawah”, “di atas”, “di dalam” atau “di luar”.

- Mengalami kesukaran dalam memakai baju, menalikan sepatu dan menggunakan garpu atau pisau.

- Keseimbangan badan yang buruk, sulit belajar naik sepeda.

- Kemampuan membaca yang rendah dan buruk dalam menulis.

- Sebagian anak dispraksia mengalami articulatory dyspraxia yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam berbicara dan mengeja.

2. Pengertian Developmental Verbal Dyspraxia (DVD)

Developmental Verbal Dyspraxia (DVD) adalah suatu kondisi bicara yang dihasilkan dari ketidakmatangan pada bagian otak yang mngurusi tentang bicara. Anak mengalami kesulitan dalam membuat bunyi suara yang konsisten karena daerah bicaranya tidak dapat mengirim pesan-pesan yang konsisten pada perangkat bicara. Dalam hal ini adalah lidah, bibir, laring, dan sebagainya.

Developmental Verbal Dyspraxia (DVD) juga dikenal sebagai : Apraxia of Speech, Developmental Apraxia of Speech, Apraxia, Dyspraxia, dan Developmental Articulatory Dyspraxia. Label-label yang berbeda ini dapat menimbulkan kebingungan tetapi memiliki arti kondisi bicara yang sama.

Gejala-gejala DVD

- Ketrampilan menerima bahasa yang normal atau di bawah rata-rata tapi terjadi penundaan ketrampilan mengekspresikan bahasa.

Contoh : Anak-anak mengerti atau memahami lebih baik daripada saat dia berbicara.

- Pada beberapa tahun pertama terjadi perkembangan bicara yang sangat lambat.

- Adanya regresi dalam berbicara, seperti contoh : kata-kata yang sudah dipelajari menjadi hilang.

- Terjadinya kemajuan dalam berbicara pada saat dia mendapatkan usia yang lebih tua.

- Secara keseluruhan terjadi ketidakkonsistenan bunyi-bunyi bicara pada permulaan tahun-tahun pertama, seperti contoh : setiap kali anak diminta untuk berbicara suatu kata, dia melakukannya dengan cara yang berbeda (adanya penekanan pada kata atau pronounced yang berbeda).

- Bunyi atau suara tercetak dalam polanya sendiri dan tidak berhubungan sama sekali dengan perkembangan bicara yang “normal” dimana anak-anak yang lain mengalaminya.

- Kekonsistenan bunyi bicara terjadi secara bertahap.

3. Global Dyspraxia

Ada pula anak-anak yang menderita global dyspraxia dimana gejala-gejalanya adalah :

- Pada saat bayi mengalami hipotonia yaitu dimana perkembangan sel-sel yang terlambat.

- Mempunyai kontrol yang sangat lambat.

- Mempunyai refleks menghisap yang sangat lemah seperti pada saat baru lahir, hal ini mungkin mengindikasikan kesulitan pada saat menyusui.

- Kemampuan untuk duduk yang sangat lambat.

- Kemampuan berjalan yang sangat lambat.

- General Clumsiness pada gross motor skills.

4. Terapi untuk Anak Dispraksia

Sebagai suatu sistem pendidikan untuk anak-anak dengan gangguan motorik, Conductive Education mengajarkan bagaimana untuk “break down” kemampuan dan ketrampilan yang mereka coba untuk ditampilkan. Dengan keberhasilan, keyakinan, dan kepercayaan diri yang meningkat, mereka dapat melatihnya dalam kehidupan sehari-hari.

Anak dispraksia kurang efektif jika dimasukkan dalam kelas khusus untuk anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Yang dibutuhkan oleh anak-anak dispraksia adalah terapi satu lawan satu yaitu suatu terapi dimana satu orang anak dispraksia ditangani oleh satu orang fisioterapis atau speech pathologist. Mereka butuh penanganan dan dukungan profesional secara teratur termasuk juga dukungan dari pendidikan yang dijalani.

Anak dispraksia biasanya dapat disembuhkan tergantung dari tingkat keparahannya. Ada kemungkinan kambuh beberapa kali tapi tingkat kesukaran dalam koordinasi gerakan akan semakin menurun. Anak juga bisa sembuh sendiri namun lebih lambat dan tidak seefisien jika ditangani oleh terapis.

Rabu, 18 Juni 2008

ANAK TUNGGAL UNTUK MENGHINDARI RESIKO SIBLING RIVALRY

Belum lama ini pemerintah kota Semarang menyebarkan pamflet yang berjudul “Satu Anak Saja, Mengapa Tidak?” Sekilas, hal ini adalah ajakan untuk setiap keluarga mengikuti program keluarga berencana yang dahulu disertai ajakan untuk memiliki anak maksimal hanya 2 orang saja. Setelah ditelusuri lebih lanjut, alasan untuk memiliki anak hanya seorang atau yang lazim disebut tunggal bukannya tanpa alasan yang kuat. Melihat perkembangan situasi dan kondisi di negara kita yang belum lagi bangkit karena krisis moneter dan segala macam permasalahannya termasuk juga teror bom yang meluluhlantakkan kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter yang menyebabkan. segala macam kebutuhan yang harus dipenuhi menjadi serba mahal, bukan hanya segala macam kebutuhan materi atau fisik saja tapi juga kebutuhan psikis dan mental seseorang yang telah lama terkikis oleh dunia yang mayoritas dikuasai oleh kaum hedonis.

Kebutuhan seorang anak dan fakta-fakta yang banyak terjadi
Kebutuhan seorang anak bukan hanya apakah dia telah makan saja tapi juga perlu diingat apa yang dimakannya, apakah benar-benar telah memenuhi gizi yang dibutuhkan seorang anak sesuai tingkat umurnya Melihat realita yang ada sekarang, banyak anak yang tidak lagi mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dengan dalih masalah ekonomi. Apakah mereka telah terpenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian dan rumah tempat mereka berlindung? Apakah mereka telah merasa aman secara fisik dan psikis?
Bagaimana mengenai pendidikan mereka, apakah mereka telah mendapatkan pendidikan standar yang mereka butuhkan sebagai bekal untuk meniti hidup? Apakah para orang tua telah cukup memberikan perhatian mereka untuk kebutuhan sang anak? Mengapa sekarang semakin banyak anak-anak yang menjadi pengemis di jalan-jalan, gelandangan, pengamen, bahkan tidak jarang diantara mereka menjadi penjahat yang mau menghilangkan nyawa orang yang tidak berdosa hanya gara-gara uang seribu rupiah? Sementara anak-anak perempuan tanpa malu-malu menjajakan dirinya di jalan-jalan bahkan menerima ajakan kencan seorang pria paruh baya yang lebih pantas sebagai ayah atau bahkan kakek mereka? Bagaimana tanggung jawab dan peran orang tua tentang hal ini? Apakah mereka hanya menyalahkan nasib yang tidak berpihak pada mereka, masalah ekonomi yang selalu menjadi alasan utama?
Apakah mereka tidak memiliki perencanaan sama sekali ketika pertama kali memasuki mahligai rumah tangga, mengenai gambaran suatu keluarga yang ideal tidak hanya secara materi tapi juga secara spirituil, apakah mereka hanya berpikir mengenai memiliki anak saja, setelah itu urusan nanti, kalau perlu sudah menjadi tanggung jawab sang anak untuk mencari penghidupan sendiri. Hal ini masih lebih dapat diterima jika jumlah anak yang ada tidak banyak. Hanya yang jadi masalah, biasanya keluarga yang kondisinya seperti itu adalah keluarga dengan jumlah anak banyak.Mereka kebanyakan masih mengadopsi prinsip lama yaitu banyak anak banyak rejeki. Bahkan jika mereka hanya memiliki sedikit anak, malah dianggap suatu hal yang aneh apalagi memiliki anak tunggal. Dengan bekal latar belakang pendidikan yang rendah, mereka hanya melihat dunia hanya dengan satu visi saja, berpikir bagaimana hidup untuk memenuhi kebutuhan saja, dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, pekerjaan yang tidak tetap dan menjamin untuk hidup dengan layak, telah membuat mereka berpikir bahwa sudah bersyukur jika hari ini ada yang akan dimakan. Mereka bahkan tidak sempat berpikir lagi mengenai kualitas hidup yang layak atau baik.

Melihat jauh ke depan, tidaklah mengherankan jika kualitas sumber daya manusia Indonesia telah jauh terpuruk, bahkan dengan sesama negara berkembang yang pada jaman dulu belajar di negara kita. Tidaklah mengherankan, untuk ukuran negara kecil, Singapura, negara tetangga seberang pulau Indonesia menetapkan peraturan bahwa seorang ibu yang mempunyai pendidikan setingkat SMU di Indonesia, hanya boleh memiliki anak seorang saja sementara seorang ibu yang setingkat sarjana boleh memiliki 2 orang anak, jika setingkat S2 boleh mempunyai 3 orang anak, dan setingkat S3 boleh memiliki lebih dari 3 orang anak. Mereka berpendapat seorang anak yang lahir dari ibu yang berpendidikan tinggi tentunya memiliki kualitas yang tidak jauh dengan orang tuanya. Memang terdenganr ekstrim, tetapi kalau kita telaah secara tenang dan rasional, hal ini adalah suatu usaha antisipasi yang baik dan mungkin patut ditiru oleh Indonesia. Seorang anak yang berpotensi dan memiliki kesempatan untuk mewujudkan potensi tersebut dengan dukungan orang tua baik secara materi dan spirituil akan tumbuh menjadi suatu aset bangsa yang berkualitas dan terhindar dari dampak jelek yang menyebabkan mereka hanya menjadi sampah masyarakat.

Di negara Cina (RRC) sudah terlebih dahulu mensosialisasikan keluarga berencana dengan satu anak saja mengingat mereka menduduki tempat tertinggi negara berpenduduk terpadat di dunia. Dulu bahkan setiap orang tua sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka, hanya menginginkan seorang anak laki-laki sehingga jika mendapat anak perempuan, mereka merasa malu dan dibuang ke tempat penampungan atau rumah yatim piatu. Salah seorang tokoh olahraga Indonesia yang sering menjadi manajer tim olahraga Indonesia di luar negeri mengakui bahwa atlet olahraga dari RRC terutama atlet putri memiliki kemampuan dan tekad yang luar biasa sehingga mereka seringkali menjadi juara dunia. Tengok saja atlet bulutangkis, atletik, renang, loncat indah, panahan, menembak, bridge, catur, tenis meja, bola voli dan lain-lain. Prestasi mereka sangatlah dominan dibanding atlet negara lain. Prestasi mereka di Olimpiade bahkan jauh melampaui Amerika Serikat yang menjadi icon di beberapa hal atau bidang. Pemerintah mereka menjadikan olahraga sebagai mata pencaharian yang menggiurkan disamping bidang pekerjaan formal lainnya. Mereka merekrut anak-anak perempuan yang menjadi penghuni rumah yatim piatu untuk dijadikan atlet yang handal. Dengan kondisi psikologis merasa ditinggalkan dan tidak diakui oleh keluarganya membuat anak-anak di tempat penampungan tersebut menjadi terdorong dan termotivasi untuk berprestasi sehingga mereka merasa diakui keberadaannya dari orang yang terbuang menjadi seseorang yang berprestasi.

Ilustrasi
y Sikap seorang anak laki-laki kami (2,5) aneh sekali sekarang, sejak adiknya lahir. Ia yang semula anak yang lincah dan periang, tak bisa diam. Setiap benda baru menarik perhatiannya, seakan tidak ada yang ditakuti. Kamilah yang takut ketika ia menarik ekor kucing atau naik ke kursi tinggi.
Setelah adiknya lahir, ia menjadi pemurung, cepat menangis dan cepat marah. Sekarang ia sering mengikuti saya ke mana-mana, lebih murung kalau saya menolong adiknya yang masih sangat kecil—baru beberapa minggu umurnya. Dia tidak rela memberikan tempat tidurnya buat adiknya, sampai menangis berkepanjangan.
Padahal kami sudah memberikan tempat tidur yang lebih besar dan bagus buat kakaknya. Padahal buat adiknya ini, persiapan kami jauh lebih sederhana daripada buat kakaknya, anak sulung kami. Kakaknya mendapatkan semua yang serba baru dan serba baik sedangkan adiknya banyak mendapatkan sisa-sisa dari kakaknya. Yang paling menyedihkan adalah ia minta adiknya dikembalikan saja ke dokter.
y Akhir-akhir ini kami sering terganggu dengan tingkah laku putri kami yang sering bentrok walaupun masalahnya sepele. Tindakan saya pada mereka adalah memarahi atau mencubit keduanya, tanpa mau tahu siapa yang salah karena saya berpikir mereka tidak dapat bertenggang rasa walaupun akhirnya saya menyesal. Banyak teman-teman mengatakan bahwa hal itu biasa dan tidak akan terjadi pada saat mereka dewasa nanti. Tetapi, saya tidak mau dan tidak percaya bahwa hal itu biasa.

Dari ilustrasi di atas dapat dilihat suatu kemiripan kasus mengenai perselisihan dan persaingan antara saudara kandung dalam suatu keluarga. Hal ini tentu saja tidak dapat diremehkan begitu saja. Banyak ahli menyimpulkan bahwa inti antara pertengkaran dan ketegangan antar saudara adalah untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya. Mereka ingin memiliki ayah bunda mereka secara eksklusif buat dirinya sendiri saja, sebab ibu dan ayah bagi anak yang bersangkutan adalah sumber kenikmatan mereka yang dapat memenuhi segala kebutuhan dan perasaan aman mereka. Makanan, minuman, rasa aman dan kehangatan kasih sayang orang tua.

Dalam teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow, ada beberapa kebutuhan yang sekaligus terpenuhi jika mereka memiliki orang tua untuk diri mereka sendiri yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan akan rasa aman. Dari kebutuhan-kebutuhan yang telah dicukupi itu dapat memacu untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Hal ini dapat menjadi positif jika dapat diarahkan dengan baik.

Mengenai kasus di atas, agar para orang tua dapat memahami dan menghayati bagaimana perasaan anak anda ketika mendapat adik baru, dua orang ahli perkembangan anak, Adele Faber dan Elaine Mazlish memberikan sejumlah sejumlah pertanyaan pada orang tua, antara lain :
Ø Bagaimana jika suami anda datang bersama gadis mungil yang cantik. Sambil memeluk anda, ia berkata : “Sayangku, saya begitu cinta padamu sampai memutuskan untuk mengambil istri baru, yang saya cintai seperti kamu. Apa reaksi anda?

Ø Para tetangga anda dan teman suami menjenguk istri muda yang jelita itu sambil memuji, “Aduh manisnya…”, “Wow cantik sekali… “. Tak lupa mereka menyodorkan aneka bingkisan yang bagus-bagus buat istri muda itu. Ketika mereka melihat anda, mereka hanya menegur sambil lalu saja tanpa memberikan hadiah yang kecil sekalipun. Bagaimana perasaan anda?

Ø Si istri muda membutuhkan pakaian dan tempat tidur, lalu suami anda mengambil baju-baju, tempat tidur dan selimut anda sambil berkomentar, “Kamu sudah terlalu gemuk, baju-baju yang sempit bagimu itu pas betul buat istri muda yang badannya masih mungil”. Apa reaksi anda?

Kira-kira begitulah perasaan anak ketika menerima kedatangan adik baru di mana tempatnya akan digeser oleh orang lain. Itulah yang membuat si anak yang lincah dan periang itu kemudian menjadi anak yang pendiam, pemurung, tidak bergairah untuk bermain dan merasa tidak berdaya. Pada saat awal inilah merupakan titik kritis pada kehidupan sang anak. Bukan tidak mungkin hal tersebut terbawa hingga sang anak dewasa. Banyak kasus di sekitar kita, di mana menyimpan bara yang sewaktu-waktu hal tersebut menjadi meledak.

Sibling Rivalry
Persaingan untuk “merebut” kasih sayang orang tua seringkali hadir dalam keluarga. Sejak kehadiran adik pertama dapat terus berlangsung sampai dewasa. Aneka ragam bentuknya, dari pertengkaran kecil-kecilan untuk menarik perhatian orang tua, saling menjatuhkan, sampai bersaing dalam kebaikan. Jika persaingan dan perselisihan anak-anak sering diatasi dengan cubitan dan marah-marah, akan sukar mengharapkan anak-anak menjadi aman dan damai. Bahkan, mereka menjadi tambah mahir marah-marahnya dan dapat pula saling menyakiti.
Persaingan antar saudara kandung yang lazim disebut dengan istilah Sibling Rivalry ini sering terlihat pada anak-anak maupun mereka yang sudah dewasa. Persaingan ini ada yang dapat memotivasi untuk menjadi lebih baik atau ke arah yang positif tapi ada pula yang berkembang menjadi persaingan yang tidak sehat dan saling menjatuhkan satu sama lain. Bahkan jika anak-anak dalam satu keluarga ini lebih dari 3 orang, kadang-kadang ada 2 kubu yang saling berlawanan dalam keluarga tersebut. Persaingan tersebut jika pada masa kecil tersebut sangat tajam terkadang ketika sudah dewasa akan terbawa pula. Jika orang tua bertindak kurang bijaksana atau memihak salah satu anak dibanding yang lain maka hal ini menggoreskan luka dalam hati anak yang bersangkutan dan luka ini akan dibawanya sepanjang hidupnya. Jika si anak tidak kuat mentalnya, bukan tidak mungkin hal ini menjadi suatu “penyakit” atau kelainan mental.

Sibling Rivalry yang paling menonjol terlihat adalah pada Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia dan adiknya, Rachmawati Soekarnoputri. Terlihat di layar televisi bagaimana si adik selalu saja mengkritik dan memojokkan kakaknya. Hal tersebut bukan lagi menjadi suatu kritik yang membangun tetapi lebih mengarah pada adanya perasaan iri, dengki pada sang kakak. Mungkin kecemburuan itu sudah ada sejak mereka masih kecil. Posisi Rachma sebagai anak tengah di bawah bayang-bayang Mega, merasa mungkin selalu dikalahkan oleh Mega yang statusnya lebih tua sehingga merasa tidak mempunyai arti dan kurang diakui keberadaan dirinya. Hal ini berlangsung terus menerus hingga mereka tumbuh dewasa dimana Mega kemudian dari seorang ibu rumah tangga biasa karena keadaan, menjadi seorang pemimpin partai yang berpengaruh dan disegani banyak kalangan. Keadaan ini semakin memperuncing kecemburuan sang adik yang kemudian mengikuti jejaknya dan selalu berkonsolidasi dengan orang-orang dan kalangan yang tidak setuju dengan pemerintahan Mega.

Sibling Rivalry yang tidak muncul ke permukaan lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Kasus Sibling Rivalry yang sangat ekstrim bahkan dapat membuat si anak kemudian berkembang menjadi seseorang yang memiliki kelainan seperti seorang psikopat dimana orang tersebut dapat membunuh seorang ibu atau seorang ayah yang telah memarahi anaknya karena anak tersebut secara tidak sengaja menyebabkan adiknya jatuh atau terluka. Itu adalah kasus yang sangat ekstrim tapi bisa saja terjadi dan bahkan sudah terjadi di dunia barat yang kontrol sosialnya lebih lemah daripada di dunia timur. Kasus-kasus yang lain adalah seseorang yang sangat depresif, sangat tertutup, yang selalu minder, kurang percaya diri karena pada saat dia masih anak-anak sampai dia dewasa selalu dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya oleh orang tuanya atau bahkan oleh orang luar sekalipun. Dia selalu menjadi bayang-bayang dari kakaknya, tidak pernah “terlihat” oleh orang lain bahkan sama sekali tidak mendapatkan penghargaan dari orang tua maupun keluarganya bahkan untuk sebuah pujian sekalipun. Tentunya kita pernah melihat atau merasakan adanya Sibling Rivalry di sekitar kita atau yang terjadi pada orang-orang di sekitar kita. Orang-orang sering melihat hal itu sebagai suatu hal yang biasa, normal-normal saja dan hal itu akan hilang, lenyap seiring dengan perjalanan waktu. Tapi untuk beberapa kasus tertentu hal itu tidak semudah halnya membalik telapak tangan, sangat membutuhkan perhatian yang khusus. Apalagi jika terjadi dimana kontrol sosial dari masyarakat agak longgar dimana segala macam hal dapat dan boleh terjadi.

Benih-benih Sibling Rivalry menyebabkan ekses yang tidak sesederhana tampaknya. Ada beberapa kasus di ibukota yang kemudian mendapat penanganan dari psikolog atau tenaga ahli lain tapi jauh lebih banyak yang tidak terdeteksi dan kemudian meletus begitu saja.
Sibling Rivalry dapat menorehkan luka yang paling dalam di lubuk hati seseorang, apalagi jika orang tersebut introvet, tertutup; semua kejengkelan, kemarahan akan tersimpan begitu saja di hati tapi pada suatu saat tertentu bila kebetulan ada pemicu yang tepat, tekanan tersebut dapat menjadi suatu ledakan kemarahan yang hebat dan bahkan tidak terpikirkan sebelumnya dan seseorang tersebut dapat berubah menjadi bentuk yang tidak terperikan. Seperti ibarat : semutpun jika diinjak akan menggigit. Akibat Sibling Rivalry yang tidak berkesudahan menjadikan hal yang sebelumnya biasa-biasa saja, normal-normal saja menjadi suatu hal yang luar biasa, tidak terpikirkan sebelumnya.

Sibling Rivalry terjadi pada anak-anak yang jarak usianya tidak terlampau jauh sehingga ada benarnya jika ada anjuran untuk memberikan adik kepada si sulung setelah si sulung berumur 5 tahun. Hal ini untuk memberikan peluang yang lebih besar untuk anak sulung meraih kasih sayang yang dia perlukan dari kedua orang tuanya, selain itu juga untuk memberikan pengertian yang cukup tentang seorang adik yang nantinya akan hadir dan selalu mengisi hidupnya kelak. Jadi, semestinya orang tua memahami kondisi psikis seorang anak sebelum memutuskan untuk memberikan seorang adik baru bagi anak tersebut.

Memiliki seorang anak mempunyai kaitan yang cukup signifikan dengan mencegah akibat buruk dari Sibling Rivalry. Dengan memutuskan untuk memiliki seorang anak, orang tua mempunyai kesempatan lebih besar untuk mencurahkan perhatian pada si anak baik secara fisik maupun psikis. Mereka juga dapat merencanakan dan memberikan pendidikan yang maksimal pada si anak. Seorang anak juga akan merasakan bahwa dia amat dihargai oleh orang tuanya dan selalu didukung untuk tumbuh berkembang secara maksimal. Jika masing-masing orang tua telah tertanam suatu pengertian mengenai psikologi anak untuk menghindari adanya Sibling Rivalry maka anak-anak tersebut akan tumbuh secara maksimal sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Jika kemudian seorang keluarga dengan ayah dan ibu seorang yang berpendidikan tinggi memiliki satu orang anak, maka satu orang anak ini akan dididik dan dibina dengan kondisi finansial dan kasih sayang yang cukup sehingga sampai berhasil. Jika model ini ditiru oleh keluarga lain akan memberikan efek bola salju yang pada akhirnya tercipta suatu aset bangsa yang berkualitas dan bermutu secara fisik dan psikologis. Apabila aset-aset bangsa tersebut bergabung dan saling bekerjasama maka akan tercipta suatu negara yang kuat. Makna pendidikan bagi anak-anak tidaklah semata-mata menyekolahkan anak tersebut ke sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan dan pengalaman.

Seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik manakala ia memperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif) agar ia kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Anak yang demikian ini adalah anak yang sehat dalam arti luas yaitu sehat fisik, mental emosional, mental intelektual, mental sosial, dan mental spiritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin di rumah maupun di luar rumah, formal di institusi pendidikan dan non formal dalam masyarakat.

Anak-anak dalam keluarga memiliki dan menempati kedudukan yang khas dan pada umumnya menunjukkan tipe-tipe yang khas pula dalam keluarga bila dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Kedudukan yang khas ini mempunyai konsekuensi tersendiri bagi anak tersebut. Anak akan memiliki suatu tugas perkembangan maupun tugas dari keluarga yang lain dari anak-anak lain (bahkan saudara-saudaranya sendiri). Pengaruh adanya urutan dalam keluarga pada anak secara langsung maupun tidak langsung akan membawanya pada peran mereka masing-masing di dalam keluarga, lingkungan masyarakat, maupun dalam lingkungan sekolah. Biasanya konsekuensi tersebut dapat berupa peran mereka di dalam sekolah, prestasi akademik mereka di sekolah maupun hubungan sosial mereka terhadap lingkungan dan teman-temannya.
Pada anak-anak, suatu prestasi sekolah menjadi penting karena di sini merupakan salah satu aktualisasi diri mereka dalam masyarakat (dalam hal ini adalah masyarakat sekolah dan keluarga) dan merupakan pembuktian mereka terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain bahwa “mereka bisa”, mereka juga bisa menjawab tantangan yang diberikan pada mereka.
Dalam keluarga, anak-anak dengan kedudukan yang khas akan menunjukkan tipe-tipe yang khas pula sehingga memerlukan perlakuan tersendiri sehingga tidak merugikan anak itu sendiri.

My Sweet Audrina


Audrina adalah nama anak kami. Nama ini terinspirasi oleh judul buku berjudul My Sweet Audrina yang menjadi salah satu tugas pada saat saya kuliah S2 di Psikologi UI. Setelah selesai sidang Magister, dua minggu kemudian lahirlah Audrina Salsabila Rosmaningtyas Arifin. Saat ini Audri (panggilan untuk Audrina) sudah berumur 3,5 tahun dan sudah mengenali tulisan "audrina" adalah namanya meskipun ia belum bisa menulis sendiri dan ia lebih sering menyebut dirinya sendiri "drina".