Senin, 11 Agustus 2008

THAT’S IT, ENOUGH IS ENOUGH

Berapa kali kita berani bilang, bahwa That’s it! Enough is enough kepada orang lain, pihak lain atau diri sendiri? Kadangkala kalau tidak terpaksa banget, kita malas mengambil sikap ini. Hal ini sangat bisa dimaklumi karena terkadang konsekuensi atau resiko yang harus kita tanggung sangatlah besar dan tidak jarang akan menguras tenaga dan pikiran kita. Apalagi kalau berhadapan dengan pihak lain dan jika pihak tersebut memiliki otoritas di atas kita. Tetapi bagaimanapun juga, hidup akan tetap mengalir dengan ada atau tidaknya pihak tersebut.

Banyak pihak yang bilang, orang atau manusia yang merdeka adalah manusia yang tidak memiliki rasa takut. Rasa takut memang dapat membantu kita untuk menakar seberapa kuat kita dapat menghadapi tetapi seringkali rasa takut seperti juga rasa pesimis akan menghancurkan orang tersebut, sedikit demi sedikit, dari dalam, bahkan tanpa orang tersebut menyadarinya.

Amerika pernah menyatakan “Freedom from Fear”. Ketakutan akan kemiskinan, kelaparan, pendidikan, penindasan dari pihak lain dan sebagainya. Perancis pernah mengibarkan asas-asas Fraternity, Liberty dan Egalite. Indonesia pada tahun 1908, 1928, 1945 dan 1998 pernah secara eksplisit bilang, “That’s It, Enough is Enough” terhadap segala bentuk penindasan, penjajahan, kediktatoran dan pemberangusan demokrasi. Bahkan sekarang ada momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional. Apa yang bisa kita rayakan dan kita syukuri dari perayaan tersebut?

Niat baik tidaklah selalu mulus. Apalagi pada manusia, tempat segala macam nafsu bahkan nafsu yang rendah melebihi nafsu binatang. Maksud yang baik terkadang tidak selalu dibalas dengan kebaikan. Air susu tidak selalu dibalas dengan air susu juga terkadang malah diberi air tuba. Selalu ada jalan “jihad” bagi amar ma’ruf nahi mungkar.

Di dalam lingkungan yang konservatif, one man one show, iklim patronisme yang kuat mengedepankan senioritas agak sulit bagi kaum muda untuk berkreasi apalagi berprestasi. Ada pemakluman bahwa tidak boleh ada yang menonjol. Sama rata, sama rasa (walaupun untuk rasa, agak diberi tanda petik sebenarnya). Sebanyak orang suka pada kita, sebanyak pula orang yang tidak suka. Apa mau dikata, ketika yang paling kuat berkata, “Tidak..!”, maka yang lainnya harus koor bilang “Tidak…”juga, bahkan dengan suara yang paling lantang untuk memperlihatkan rasa loyalitasnya yang lebih dibandingkan yang lain. Heil..Hitler!!!. Saya kok jadi ingat film Band of Brothers : D-Day.

Ketika ada yang berani menjawab lain maka sudah spontan langsung menjadi highlight. Yang melihat, hanya bisa memuji (tentu saja dalam hati), yang ingin ikut ambil bagian tentu saja meneriakin bahkan ikut-ikutan menghujani dengan segala perkataan negatif. Ada semacam euphoria, karena rasanya hampir seperti ratusan tahun melihat ada “tontonan” karena selama ini belum ada yang berani.

Tetapi ketika mereka ditanya apa pendapat mereka secara terbuka. “Wah, off the record, saya gak ikut-ikutan”, “Saya sih Sluman-Slumun Slamet saja. Nanti jabatan saya dipertaruhkan gara-gara saya ikut-ikutan”. “Wah, nggaklah. Saya tetap di sini saja” (sambil kemudian terus menggerutu, menyalahkan nasib yang tidak pernah berpihak). Benar saja, seperti halnya pengamat politik atau sepak bola yang tahunya hanya mengkritik ketika ditanya solusi atau langkahnya belum tentu mereka sepintar ulasannya.

Tidak jarang, orang iri kepada “whistle blower”, kenapa ya bukan saya yang kemudian jadi perhatian”, “Dia kan berani karena di bla-bla-bla (segala ujaran negatif)”. Ketika ada yang “breaking the silence”, banyak yang kemudian menjadi dengki karena keberanian mereka, sementara mereka yang menggerutu hanya duduk sambil menunggu keajaiban Tuhan datang. Biasalah, di kultur yang serba sungkan kadangkala kita harus selalu berhati-hati. Kadang-kadang orang baik di depan, di belakang bisa saja berbalik memukul.

Seperti kata Tukul Arwana, jika energi negatif itu akan cepat menyebar dan mempengaruhi. Begitu juga yang saya rasakan. Segala macam cobaan, halangan dan fitnah silih berganti datang. Pada titik tertentu kemudian saya bilang pada diri sendiri dan yang lain, “That’s It. Enough is Enough”. Sudah cukuplah bagi saya.

Kalau saya bertahan lebih lama lagi, seperti kata Harvey Dent dalam The Dark Knight, “Mati sebagai pahlawan atau hidup terus tetapi lama kelamaan menjadi penjahat seperti mereka”. Kamu dapat berubah menjadi “penjahat” jika berada di lingkungan yang abnormal terlalu lama. Atau dari John Rambo dalam Rambo IV : “Live for nothing or die for something”. Atau John Mc Clane dalam Die Hard IV : “Live freely or die harder..”

Memang benar, hal ini mulai dari komplain suami kalau setiap kali pulang dari Jakarta, “Kamu kok sekarang jadi nyinyir (apa ya padanan bahasa Indonesianya?) gitu sih, padahal dulu waktu di Jakarta tidak begitu”. Mulai dari situ, saya berpikir untuk “hijrah” walau hanya sementara karena saya tidak mau menjadi bagian dari “bad environmental” tadi. Hijrah untuk tujuan jihad. Jihad untuk bersekolah. Good intention kan?

Ada yang bilang pada saya, “Air di laut itu asin tetapi tidak semua ikan di laut asin”. Tetapi buat saya, hidup hanya sekali, mengapa harus menjadi orang yang munafik? (kalau memang reinkarnasi ada, biarlah saya nanti tetap menjadi saya yang seperti sekarang). Yang lainnya ngomong, ikutan ngomong (walaupun tidak tahu artinya) bahkan ditambah-tambahin bumbu biar semakin “panas”, yang lainnya menghujat, ikutan menghujat (walaupun tidak tahu akar masalahnya). Apa esensi kita dalam hidup? Kalau hanya puas seperti burung beo, yang selalu menirukan tanpa tahu artinya.

Nabi Muhammad SAW pernah hijrah dari Mekkah ke Medinah untuk menghindari mara bahaya dari kaum yang tidak menghendaki beliau dan ajarannya. Hijrah berarti pindah, tetapi bukan berarti beliau meninggalkan Mekkah selamanya. Hijrah dimaksudkan untuk sementara, untuk menyelamatkan kaumnya dari segala bentuk penindasan dan siksaan dari kaum Quraish, juga untuk menghindari keberingasan system yang dapat mengubah mereka yang telah bertobat. Jika kita tidak berubah maka lambat laun sistem yang akan mengubah kita. Kalau sistemnya bagus maka akan menjadi bagus, tetapi kalau jelek, akan jadi apa jadinya?

Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa jika suatu kaum tidak mau berubah untuk kebaikan maka Tuhan-lah yang akan bertindak. Hal ini juga yang terjadi pada kaum Nabi Nuh AS dan Nabi Luth AS. Azab dari Tuhan akan segera datang, cepat atau lambat dan dalam bentuk yang sangat misterius. Dan ternyata hal itu memang terjadi, tidak selalu roda itu di atas terus, kadang juga di bawah. Dan percayalah, karma itu ternyata ada. Balasan akan segala perbuatan yang baik maupun yang buruk. Tidak perlu kita ikut-ikutan menghujat ternyata dengan kuasa pihak lain, tangan Tuhan menunjukkan kuasa-Nya.

So, my point is..if you must say..That’s It, Enough is Enough…just go ahead..don’t be afraid. God’s always be with good people..anyway..