Rabu, 10 Desember 2008

TEAR WINDOW

Ada suatu teori yang bernama “Tear Window”, jika retakan yang kecil itu tidak segera dibenahi maka ia akan berpotensi menjadi besar dan menyulitkan. Saya sangat heran dengan sikap orang-orang saat ini, sudah bermaksud baik kadang masih juga dicemooh bahkan “dibantai”, tetapi mereka yang jelas-jelas berkedok hal yang baik tetapi dibelakangnya tersembunyi kejahatan atau hal yang buruk malah diagung-agungkan seperti pahlawan. What’s wrong with our society? Apa sudah tidak tahu lagi membedakan mana yang benar dan salah? Sudah tidak bisa lagi mana yang hak dan bukan haknya?

Contoh yang sangat jelas adalah soal merokok dan buang sampah. Seingat saya waktu masih kecil, pada saat itu orang yang me rokok itu setelah selesai selalu memadamkan apinya, biasanya dengan menginjang puntung rokok yang masih menyala. Tetapi sekarang? Coba aja lihat, mereka dengan seenaknya membuang puntung rokok yang menyala itu di jalan. Kalau waktu itu ada tumpahan minyak bagaimana? Makanya tidak heran sekarang banyak peristiwa kebakaran yang parah, mungkin alasannya juga sepele. Korbannya tidak hanya materi saja tetapi juga nyawa. Karena hal sepele menyebabkan masalah yang besar.

Soal buang sampah. Orang dengan ringannya membuang sampah di sembarang tempat selain di rumahnya. Padahal katanya di negara ini, banyak orang yang beragama, banyak yang berduyun-duyun haji tapi tetap saja untuk kelakuan satu itu, dia tidak mengingat bahwa “Kebersihan itu adalah sebagian dari Iman”. Aneh kan? Padahal sampah juga dapat membuat malapetaka, dari mulai banjir hingga penyakit.

Ketika orang melihat tumpukan sampah tidak pada tempatnya, kok ya dengan entengnya menaburkan sampah baru lagi ke tempat itu. Mereka berpikir, wong sudah banyak sampah itu berarti tidak salah dong saya membuang ke sana. Padahal dia tidak memperhitungkan bahwa sampah yang ditambah darinya itu semakin membuka peluang orang lain untuk berpikiran yang sama seperti dirinya. Jadi semakin menggununglah tempat itu dengan sampah-sampah dari orang yang tidak merasa bersalah. Jika ada tempat yang bersih dari sampah, orang akan segan membuang sampah sembarangan di tempat tersebut. Ketika orang masih saja cuek, disinilah disiplin berperan, ketika ada sanksi diterapkan tanpa pandang bulu dan tidak ada bargaining maka orang akan berpikir ratusan kali untuk melanggarnya.

Begitu juga perilaku orang bersepeda motor yang sekarang ini seperti tidak peduli dengan nyawanya, mungkin kalo ada wajib militer, mereka bisa masuk pasukan berani mati. Salip kiri, salip kanan, kadang keluar dari gang, tidak pernah tengok kiri-kanan dan tidak pernah mengurangi kecepatan. Kalau kecelakaan karena hukumnya selalu memnangkan sepeda motor daripada mobil, mareka dengan enaknya menyalahkan orang lain. Begitu juga ketika malam tiba, banyak dari mereka tidak memakai lampu motor, sehingga ketika ada orang tua yang sudah agak rabun matanya, bisa-bisa gelagapan.

Saya bahkan sempat dengan tegas menegur seorang co-pilot (inilah contoh underestimate orang, dipikir semua orang tidak tahu bdanya pilot dengan co-pilot). Dia di dalam bandara menuju keluar (didalam ruangan, dekat tempat pengambilan bagasi), merokok dan terang-terangan. Dia pikir mungkin memperkirakan tidak ada yang berani dengan mereka—karena mereka pakai seragam pilot. Terus seragam pilot itu memiliki persepsi yang “wah”—menunjukkan strata yang tinggi dibanding yang lain. Tapi itu nggak berlaku buat saya dan suami. Orang itu terkadang memang harus ditegur supaya dapat berpikir dengan jelas. Tentu saja cara menegurnyapun harus elegan supaya orang tersebut tidak tersinggung.

Ketika papan “no smoking” dilewati, dia digamit suami dan dibilangin secara baik-baik untuk mematikan. Tapi dia hanya “nyengir monyet”. Tahu kan maksudnya? Tidak mengira ada yang menegurnya seperti anak kecil yang ketahuan melakukan apa yang dilarang orang tuanya, tapi di sisi lain juga gengsi (karena kebetulan dia berjalan bareng dengan yuniornya—tahu dari mana saya? Iya ya lah..yang satu tidak pake tanda “bar”, yang merokok itu “bar”nya 2). Dan desertasi saya soal ini. Saya sering diadu argumen oleh dosen saya soal ini. Saya bilang sudah berkali-kali ketemu kasus ini. Orang berpikir, alah perkara sepele..tapi anda tahu betapa banyaknya malapetaka yang muncul dari hal-hal yang sepele ini?

Terus akhirnya saya yang menegur lumayan keras, “Jangan begitu, yang fair dong…yang lainnya tidak boleh merokok, kok situ seenaknya sendiri…masih jadi co-pil aja sudah begitu, gimana kalo sudah jadi kapten?”. Iya kan…coba bayangin, pendidikan pilot itu termasuk yang ketat karena sama sekali tidak mentolerir adanya kesalahan. Hampir seperti militer. Mengapa? Ya karena pekerjaannya menyangkut keselamatan banyak orang. Orang-orang yang membayar tiket mahal-mahal untuk menjadi penumpang pesawat. Jadi ya jangan seenaknya gitu dong…bisa dibayangkan kan..di darat yang ada banyak orang aja seperti itu, bagaimana kalo di kokpit, yang hanya kru pesawat dan Tuhan yang tahu…

Dan kadang kru pesawat yang lain seperti pramugari tidak berani menegur. Lain dengan pramugari di maskapai nasional Myanmar. Anda pikir di negeri yang terbelenggu oleh kediktatoran pemimpin negaranya, mereka tumbuh menjadi pribadi yang takut-takut, mental terjajah? Belum tentu, ternyata mereka berani menegur pilot yang ketahuan merokok. Bahkan ketika pilotnya cuek, dia menulis nota keberatan ke maskapai yang bersangkutan. Di Indonesia yang katanya negara demokrasi, masih sering takut-takut dan itu lho…gemesnya mental terjajahnya kok ya ngga’ hilang-hilang.

Yang temannya karena mungkin pangkatnya lebih rendah, dia tahu seniornya salah tapi nggak berani bicara dan berbuat apa-apa. Ini juga yang menjadi tesis saya di S3. Semuanya terbukti kan? Padahal kan harusnya tidak seperti itu dan semestinya dengan seragam itu, mereka lebih hati-hati. Sayangnya karena tidak tertera nama maskapainya, jadi agak sulit mengkomplain ke maskapai yang bersangkutan.

Saya sering gregetan kalo di pesawat, ada aja yang masih keganjenan sms/pake hp apalagi itu sudah mau take off. Ngapain sih mereka tidak sabar barang satu atau 2 jam untuk tidak pakai hp. Kalaupun perjalanan panjang toh ya pasti ada waktu pada saat transit. Kadang orang itu hanya sok-sok’an saja. Ada juga yang iseng pengen ditegur pramugarinya..Ada lho, sudah jelas-jelas pengumuman dari pramugari untuk mematikan hp itu barusan terdengar eh..dia malah mulai buka hp dan menelpon. ‘Gatal’ nggak sih, orang lihat juga jijay…

Soal hp itu memang ada perdebatan apa benar-benar mengganggu atau membahayakan penerbangan. Tapi kalau saya sih simple aja memandangnya, apa ruginya sih kita mematikan hp? Kalau memang itu untuk keselamatan bersama. Saya pribadi sih tidak mau celaka gara-gara orang-orang seperti itu. Keluarga saya masih menunggu di rumah. Kalau memang mau celaka ya celaka aja sendiri, nggak usah ngajak-ngajak orang lain. Kalau pengen yang bebas pake hp sepanjang waktu tanpa gangguan ya naik kereta api saja sana atau naik mobil atau kapal. Nggak usah naik pesawat. Jadi bisa dibayangkan selain dari kejadian di atas, kita terkadang juga ‘dealing’ dengan penumpang-penumpang ‘narsis’ ini.

Apakah karena maskapainya yang LCC (Low Cost Carrier) maka penumpangnya juga tidak terseleksi? Tidak tentu juga, kadang-kadang di maskapai yang katanya “berkelas” banyak juga yang seperti itu. Jadi ya tidak menjamin. Kan disitu banyak juga orang yang bertugas dinas dibayari kantor sehingga kadang-kadang mereka bisa seenaknya sendiri.

Saya sering mendengar keluhan dari pegawai-pegawai maskapai apalagi kalau penumpangnya ‘merasa’ wakil rakyat (kenapa saya kasih kata ‘merasa’—ya kalau dia atau mereka benar-benar wakil rakyat, mereka justru tidak seenaknya sendiri, bahkan dengan sewenang-wenang menyuruh rakyat lain menunggu keterlambatan mereka). Iya kan? Sudah begitu, tahu kan kalau sudah merasa terlambat, ya mempercepat langkah. Jangan santai-santai bahkan lenggang-lenggang kangkung malah serasa kaya’ raja dan ratu sehari. Keterlaluan kan? Siapa sih ‘rakyat’ yang memilih mereka sebagai wakilnya?

Akhirnya saya yang mempelajari ilmu tentang manusia sampai sejauh ini cuma bisa bilang, “Kita tidak pernah tahu akan manusia…”

1 komentar:

Marinki mengatakan...

Salam kenal.
Nice posting!
Banyak sekali orang-orang sekarang mengalami gangguan perilaku, dan kecenderungan orang dewasa dengan gangguan perilaku akan menurunkan secara genetika anak-anak dengan gangguan perilaku meski pun tingkatan atau dengan spektrum bervariasi. Masalah ini merupakan kajian dan diskusi saya untuk Children with Special Needs. Berkembangnya pelaku-pelaku gangguan ini sangat pesat. Mengkhawatirkan sekali karena inilah aset generasi bangsa yang Indonesia miliki. Akan diamkah para orangtua dengan membiarkan anak-anaknya menjadi individu dengan SDM yang rendah? Untuk apa harta dan intelektual tinggi digunakan jika pelaku-pelaku dengan berbagai gangguan perilaku tidak segera ditangani oleh masyarakat dan pemerintah?

Semoga kita bisa sharing pendapat lain kali.. Tks.