Cahaya bulan menerangi malamnya hati, just like you…my hubby…ah, saya bukan tipe orang yang romantis. Jadi agak sulit buat berkata-kata, it’s really about my feeling…Suami saya adalah seperti orang kebanyakan, tidak banyak ngomong, orangnya dobel serius tetapi kalau sudah ketemu dengan ‘alam’nya wah…ngomong bisa sampai berjam-jam dan terkadang lupa kalau bawa bininya. Banyak juga humornya yang kadang-kadang tidak terpikir oleh saya. He makes me laugh…
‘Alam’ yang dimaksud ya bidang yang dia tekuni, aviation engineering, soal teknis penerbangan. Ilmu yang dia tekuni hingga master dan membawa dia ke dunia kerja dengan atmosfer yang selalu soal…pesawat..Gara-gara itu, saya jadi tahu istilah-istilah penerbangan seperti taxi way, divert, ETA, bounce etc selain boarding lounge, check-in, delay. Masternya dia selesaikan di sela-sela pekerjaannya, antara Jakarta dan Bandung. Dan kadang-kadang dilewati dengan begadang sampai hampir pagi, pada hal pagi-pagi sekali, dia harus ke kantor lagi. Saya sendiri heran, fisiknya benar-benar tertempa seperti itu. Hal itu juga termasuk the part of his commitment to my father when he wants to marry me…
Pada saat saya sudah di Semarang, dia bolak-balik seminggu sekali pulang dengan kereta (kadang-kadang pesawat), sampai teman kerjanya bilang, “Gila…Jakarta-Semarang kok kayak Bandara-Kalideres saja”. Walaupun tetap saja dia human beings..kami tetap sering berselisih paham untuk hal-hal tertentu, tetap saja he’s the right kind for me…
Pada saat saya habis operasi caesar melahirkan Audrina, our precious…dia dengan setia dan sabar menemani saya, menuntun saya yang masih tertatih-tatih ke kamar mandi, memandikan saya, mengganti pembalut yang penuh dengan darah, semuanya dia kerjakan sendiri tanpa ada rasa jijik dan enggan. Ketika saya masih kesakitan, Audrina menangis dan saya belum bisa menyusui, dia dengan sigap menggendong Audrina dan memberinya susu botol. Dia, my husband, real husband…
Ketika saya mengalami hard times ketika bekerja dan segala cobaan yang menghadang karena saya mau melanjutkan sekolah, dia selalu ada untuk saya, dia selalu percaya kalau saya pasti bisa. Dia memberikan pandangan yang menyejukkan. You’ll do the right thing, not only for both of us but also the others too…katanya. Dialah bersama keluarga saya yang benar-benar menjadi batu karang buat saya walau badai melanda untuk tidak gentar selama kita berada di jalan yang benar dan kita tidak menyakiti orang lain.
Dia sudah mengalami asam garam hidup, jungkir balik kehidupan pada saat-saat sulit ketika sekolah sehingga mungkin dia jauh lebih matang dari usia sebenarnya. Menginap di masjid, benar-benar tidak punya uang di daerah asing sehingga harus bekerja extra keras, bahkan jalan kaki karena tidak punya uang untuk naik angkot. Belum lagi dia harus tetap mengirim uang ke rumah demi adik-adiknya sekolah.
Dia adalah teman saya di SMP. Omnya adalah teman bridge om saya, yang sering main ke tempat kakeknya. Prestasinya di sekolah membawanya ke SMU Taruna Nusantara di Magelang dimana hanya ada 3 orang dari Semarang yang lolos seleksi. Waktu itu yang terpikir olehnya adalah bahwa di sekolah itu semuanya gratis, ayahnya tidak perlu memberi uang saku karena sekolah tersebut sudah memberi uang saku pada muridnya, begitupun perlengkapan lainnya dan juga makan dan tempat tidur.
Di sekolah itu, dia benar-benar belajar tentang awal dari struggle for life, bagaimana tidak? Teman-temannya adalah anak-anak pilihan terbaik dari seluruh penjuru negeri yang membawa kebiasaan dan adat istiadat yang berbeda-beda. Selain belajar, disana juga diajari bagaimana cara bergaul dan menerima segala macam perbedaan serta menghadapi masalah secara elegan.
Teman-temannya yang sekarang menjadi ‘picture perfect’ soal pemuda Indonesia yang semestinya; kuat, smart, tahan banting, pantang menyerah, ulet, berdedikasi, family man dan rasa ke-Indonesiaan yang kuat dimanapun mereka berada. Mungkin juga itulah yang membuat saya cocok dengannya, persamaan pandangan terutama tentang hal-hal yang fundamental buat saya.
Itulah juga yang membuat saya berani untuk menempuh hidup baru dengannya. Saya yakin dia bisa menjawab segala kekhawatiran saya dalam mengarungi pasang surut riak kehidupan dan saya tahu juga dia mencintai Indonesia sedalam perasaannya kepada saya. Hal itu sudah dibuktikannya ketika dia bekerja. It’s a long story…but it’s all about courage ‘under fire’, conscience, faith dan termasuk soal pilihan yang membuat manusia itu ternyata tidaklah sama. Sama-sama rambutnya hitam tapi dalamnya hati, siapa yang tahu…apalagi ketika berada dalam ‘pressure’
Pada saat ada peralihan oleh asing. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah kita bukan xenofobia (takut pada segala sesuatu yang asing), kita open terhadap segala hal yang baik dan positif tentunya…tetapi ketika semuanya bertolak belakang dan merugikan bangsa sendiri (yang anehnya beberapa dari bangsa kita sendiri itu tidak “aware” atau pura-pura tidak tahu atau malah memang mengambil keuntungan dari situ, semuanya serba tidak jelas dan benar-benar mental terjajah).
Dia bilang, sudah waktunya buat saya…It’s time for me to leave…dia bilang, sudah percuma juga, yang bangsa sendiri dibilangin nggak mau tahu malah lebih mendewa-dewakan orang asing, jelas-jelas tidak benar ya diikutin aja, rasa takutnya terlalu besar…ya sudah…Sikapnya tegas, bahkan untuk dealing dengan orang asing mungkin dari itu, dia dan teman-temannya yang satu visi “terbuang”. Bukan lagi hanya masalah dignity of our nation tapi juga between the right or wrong…It’s OK..saya bilang, Tuhan akan mengganti yang lebih baik untukmu. Saya selalu mendukungmu, I’m proud of you, paling tidak ada bangsa Indonesia yang tidak bisa ‘dibeli’, tidak semuanya jelek.
Dan memang, here he goes now…God loves him, actually…di tempat yang baru yang lebih baik tidak hanya dari segi material tetapi juga spiritual…dibanding tempat yang dulu. With all my respect with the old one, the spirit of humanity which there were one of the greatest reason he wanted to stay, now its all vanished away…semuanya telah hilang satu persatu. And remember, suami saya dan saya paling tidak suka kalau ada orang-orang tidak berdaya yang dizalimi.
Tempaan waktu, pendidikan di sekolah Taruna (walaupun dia memilih tidak masuk tentara karena dia merasa destiny-nya di tempat lain), pelajaran dari sang hidup, kecintaannya pada Indonesia, dan conscience-nya that money can’t buy my happiness and my dignity…and that so I love you, Moonlight…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar