Rabu, 10 Desember 2008

LOST IN SINGAPORE

Perjalanan pertama saya ke luar negeri adalah Singapura dan Malaysia (lebih tepatnya Johor Bahru). Berdasarkan info dari internet dan teman yang tinggal/sudah pernah ke sana. Kepergian ke Singapura hanya satu hari kemudian kami lanjut ke Johor, yang letaknya dekat dari Singapura.

Saya dan suami terus terang tidak terkesan dengan Singapura. Banyak hal seperti harga yang lebih mahal daripada Malaysia, sulitnya mencari makanan yang halal di sana, perilaku warganya yang lebih banyak indifferent pada orang asing (atau lebih tepatnya dengan Melayu / Indonesia, yang mungkin identik dengan tenaga kerja kasar di sana). Rasanya selama putar-putar itu, jarang sekali orang yang terlihat tersenyum, ramah dan terbuka. Mereka rata-rata seperti orang autis, hidup di dunianya sendiri dan seperti “robot”. Memang ada sih beberapa yang lumayan ketika ditanya kami tetapi kebanyakan ya itu..kurang semanak (kalau dalam bahasa Indonesianya kurang lebih ya hangat, ramah, bersahabat). Langsung aja deh kita ngacir ke Johor, cari atmosfer baru yang terasa lebih beda.

Di Singapura, kami kebanyakan memakai MRT (Mass Rapid Transport-semacam kereta api cepat, yang ternyata tidak ada masinisnya, murni memakai teknologi) dan bus (semacam busway tapi lebih lapang). Kalau tidak ya jalan kaki aja..putar-putar. Kebingungan pertama sudah mulai ketika kami masuk ke Harbourfront, Singapura. Masuk ke imigrasi, cap stempel dan ini dia..ke down-town, waktu itu kita masih bingung mau naik MRT/bus. Sampai akhirnya pilihan ke MRT, karena paling tidak kita sudah punya peta (dapat dari teman kantor suami, yang orang Singapura). Masuk ke stasiun MRT yang lokasinya di sub-way sudah bikin panik (sedikit sih, karena kita sih sudah pernah keliling Indonesia dan bertemu banyak orang asing). Mana eskalator ke bawahnya sangat cepat dibanding eskalator-eskalator yang ada di Indonesia.

Untuk dapat masuk MRT, selain tahu rutenya, kita juga harus beli tiketnya di mesin (namanya kartu EZ Link). Untuk yang baru pertama kali jelas panik, untungnya di dekat mesin yang mirip mesin ATM tersebut ada petugas-petugas yang siap membantu. Siap-siap dengan bahasa Inggris yang ajaib-ajaib (maklum kebanyakan dari mereka dari etnis Cina, yang terkadang Inggris-nya masih kental dengan logat Mandarin dan diucapkan agak cepat). Ada juga yang orang India, yang biasanya lebih tidak ramah. Kami ketemu orang ini ketika tanya arah dari MRT yang kami maksud. Hampir tidak mengeluarkan suara, mukanya sama sekali tidak ramah, hanya kepalanya yang dia anggukkan ke kanan/kiri, kaya mainan anjing-anjingan di dashboard mobil.

Mungkin kelebihan Singapura dibanding Indonesia adalah di sini, infrastruktur yang sangat memadai. Cepat, pasti dan terintegrasi. Peraturannya yang ketat tidak memungkinkan adanya pelanggaran seperti dilarang makan dan minum di MRT, dilarang buang sampah sembarangan. Di stasiun hampir tidak ada tempat sampah jadi tidak ada alasan buang sampah. By the way, untuk masalah buang sampah ini ternyata tidak terlalu berlaku di daerah-daerah kantong pemukiman seperti di Little India, Bugis Street yang ternyata ditemukan beberapa sampah. Untuk yang lainnya, saya pikir hampir sama ya dengan Indonesia. Indonesia tidak kalah dengan mereka. Macam shopping centre di Orchard Road (favorit belanja orang-orang berduit dari Indonesia). Banyak juga mall di Indonesia yang sebesar dan semegah itu.

Lalu lintasnya dibilang teratur banget ya nggak juga..Karena kepemilikan mobil pribadi dibatasi dan sulit, mobil di sana kalau jalan, kenceng-kenceng. Kalau di perempatan untuk belok, mereka dengan tenangnya tidak mengurangi kecepatan. Cuma untuk pejalan kaki memang terjamin banget, kalau menyebrang di tempatnya, ada sign hijau untuk boleh menyebrang. Di jalan-jalan kecil yang tidak ada traffic lightnya, mobil yang akan melintas harus menunggu sampai pejalan kaki sudah menyebrang.

Untuk yang lain-lain, saya pikir di Indonesiapun ada. Di Little India mungkin hampir seperti wilayah di kota Medan yang banyak orang Indianya. Begitu juga di Bugis Street. Makanan, pernik-pernik yang dijual, di Indonesiapun banyak dan mungkin lebih murah. Mereka tidak memiliki masakan/makanan khas. Adanya hanya Chinnese Food (yang lebih banyak tidak halalnya, karena mereka kebanyakan pakai minyak babi kalau tidak daging babi), masakan India (ini dia yang kami nggak berani coba..takut selain halal/tidak, kayaknya rempahnya cukup kuat, takut kalau perut gak kuat). Gak lucu juga sakit perut di negeri orang.

Masakan Malaysia (ini yang akhirnya setelah lama berpusing-pusing ria, ketemu nasi lemak). Ini dia yang mungkin bagi orang Semarang, agak menaikkan alis karena sebal, di sana ada lumpia (mereka namakan popiah) yang rasanya jauh dari lumpia Semarang. Nasi lemak (rasanya gurih, kalau menurut saya sih cenderung eneg), macam nasi uduk Betawi atau nasi gurih, nasi liwet kalau di Solo. Lauknya ada ayam goreng, teri goreng dan kacang goreng, telur dadar dan beberapa jenis lauk tergantung paket. Nasi lemakpun pernah kami temui di Palembang dan Jambi, bahkan ada yang menamainya nasi minyak.

Yang heran adalah hampir beberapa orang Singapura kita tanya soal Merlion selalu bingung. Heran kan? Tadinya kami pikir karena pronouncision kami tapi kelihatannya tidak. Baru ketika dijelaskan soal Lion Statue baru ngeh..Dobel heran lagi ketika ditanya soal restoran Chinnese sebelah mereka tinggal (di tempat kami menginap), mereka tidak tahu sama sekali soal tetangga mereka. Agak keterlaluan sih…bener-bener kayak orang autis..Di tempat kami menginap, di jalan Besar, daerah Little India, banyak juga café-café pinggir jalan (kebanyakan masakan North Indian), selain itu juga ada…Thai Massage…lengkap dengan gadis-gadis pemijatnya yang seronok.

Untuk makanannya, ada pengalaman tak terlupakan. Dari browsing internet, kami menemukan Lucky Plaza di daerah Orchard sering sekali disebut untuk pencari makanan Indonesia karena disana banyak berkumpul TKI. Setelah ketemu Merlion, kemudian berfoto-foto dengan ‘Sir Stamford Raffles’ termasuk latar belakang Esplanade Theatre dan Fullerton Hotel, kami langsung mencari bus ke Lucky Plaza.

Setelah tanya-tanya dengan supir bus yang lumayan informatif (sopirnya bapak-bapak sudah tua dan masih ganteng) dan secara kebetulan (mungkin ini yang dinamakan jalan Tuhan) kami bertemu Bu Anis, TKW yang sudah 6 tahun bekerja di Singapura. Beliau ikut dengan majikannya yang orang Indonesia yang membeli rumah di kawasan Marina Bay (anda tahu berapa harga rumah di sana? Menurut info dari orang Sin sendiri sekitar $SIN 10.000.000). Hebat kan orang Indonesia? Yang orang Singapura aja sudah ngos-ngosan beli apartemen yang sempit sampai diikuti dengan kerja keras dan hampir-hampir ngga punya keramahan karena selalu sibuk kerja eh…orang Indonesia enak aja beli properti di sana…Siapa bilang orang Indonesia miskin?

Kami diantar bu Anis ini sampai di depan rumah makan Indonesia di Lucky Plaza. Saya yang mengikuti dari belakang sempat santai aja waktu masuk Lucky Plaza. Ramai sekali, banyak orang lalu lalang dan rasanya parasnya mirip dengan orang Indonesia, Cuma yang saya agak terkesiap, banyak sekali diantara mereka yang berpakaian minim dan terbuka.

Masak sih orang Indonesia kok seterbuka itu? Memang di Singapura, banyak sekali wanitanya yang berpakaian minim, tahu-tahu bu Anis yang sudah jauh di depan saya menghampiri saya dan berbisik, “Hati-hati bu, disini sekarang sudah banyak Filipino”. Oh…ternyata yang dari tadi saya lihat itu tenaga kerja dari Filipina yang memang mendapat jatah libur hari Minggu dan kebetulan mereka banyak yang mengirim uang ke kampung halamannya. Menurut cerita dari internet dan teman-teman, TKI biasanya memang mangkal di Lucky Plaza, tapi kalo melihat cerita bu Anis, mereka sudah tergusur oleh tenaga kerja Filipina.

Sampai saya masih berpikiran baik, mungkin TKI-TKI kita sudah naik derajat karena kerja keras mereka sehingga mereka tidak lagi nongkrong di Lucky Plaza, tapi di tempat lain. Soalnya rasanya nggak tega melihat mereka yang sudah berani mencari uang di luar negeri, mencari sesuap nasi dengan meninggalkan negeri tercinta dan seringkali mendapat perlakuan kurang manusiawi baik dari bangsanya sendiri maupun dari bangsa lain masih harus tersingkirkan oleh bangsa lain.

Sudah sepatutnya pemerintah yang terkait memikirkan masalah ini dan mereka yang sudah kaya turut membuka hati untuk turut membangun dalam negeri, tidak hanya membuat rumah atau shopping di luar negeri. Itulah pemikiran saya, seorang half back-packer, yang pergi ke luar negeri dengan biaya sendiri, tabungan kami (bukan karena dinas apalagi dari uang rakyat) untuk melihat sekelumit kehidupan anak bangsa di rantau orang.

Tidak ada komentar: