Rabu, 10 Desember 2008

DESTINY IS OURS

Bagaimana kondisi dunia saat ini? Mencemaskan, membuat ragu-ragu? Mengkhawatirkan dan segala hal negatif lainnya? Anda tentunya tidak sendirian, ribuan orang yang berpikir demikian bahkan mungkin jutaan.. Terus kemudian apa yang harus kita lakukan? Sudah cukupkah persiapan kita ini?

Tahu tidak, my friend, dulu saya rasanya pemberani sekali. Naik pesawat sendiri saat masih muda dulu, di dalam pesawat, karena duduk dekat wing merasakan ada guncangan yang tidak enak, saya perkirakan ada burung yang masuk. jadi tahu tiba-tiba kok ada guncangan jadi sudah terbang harus turun lagi. Tapi hal itu masih tenang aja. Dari Jakarta ke Semarang sendirian, tahu-tahu pesawat dialihkan ikut maskapai lain (waktu itu Merpati) yang mau ke Surabaya. Masih tenang pula, padahal waktu itu orang tua masih perjalanan menuju Semarang, jadi rumah di Semarang masih dalam keadaan kosong. Waktu itu karena ada ujian, jadi saya disuruh duluan pulang ke Semarang. Mana nomer telepon keluarga di Jakarta tidak kebawa, jadi terpikir lha kalau pesawatnya cancel bagaimana…saya kan sendirian? Apalagi waktu itu saya belum kenal seluk beluk Soekarno Hatta seperti sekarang.

Saya pikir waktu itu toh takdir di tangan Tuhan dan saya bepergian ini dalam rangka jihad. Jihad untuk bersekolah, menuntut ilmu yang syukur-syukur bisa bermanfaat untuk orang banyak. Jadi perjalanan takdir, saya pasrahkan kepada Tuhan. Dear God, my life is Absolutely Yours…

Waktu ada accident-accident pesawat itu saya tetap aja ‘asyik’ mencari tiket yang murah untuk pergi ke pelosok Indonesia. Ketika Jakarta banjir bandang, flight saya dari Semarang langsung saya switch ke Pontianak bareng suami, kebetulan pas week-end. Dan ternyata perjalanan ke Pontianak sangat mulus dan cuaca di sana panasnya ngaudzubillah. Pernah juga dari bandara, langsung bablas naik Prima Jasa ke Bandung karena bus damri Pasar Minggunya nggak tentu datang perginya akibat banjir.

Tetapi karena terlalu sering naik pesawat ke seluruh penjuru Indonesia, saya jadi hapal nama-nama pilotnya. Makanya ketika ada kabar crash, langsung aja hati rasanya langsung meleleh. Siapa sih yang nggak meleleh, kita pernah naik pesawat itu, pernah dengar nama pilot itu, begitu juga pramugarinya rasanya kok pernah lihat. It could be us

Jadi terkadang, yang saya rasakan terutama setahun terakhir ini, saya jadi agak penakut. Ada guncangan dikit, sudah pucat. Pesawatnya manuver dikit alias miring juga sudah takut. Nggak tahu kenapa…itupun setelah rutinitas menjelajah negeri sudah khatam…mungkin juga saya menyadari anak saya sudah mulai tumbuh dewasa, saya masih ingin bersama dia dan keluarga saya. Tapi tetap saja “my obligation going 1stSaya tetap harus menyelesaikan sekolah ini karena ini penting untuk pembelajaran anak saya untuk tetap “keep on going and fighting spirit”.

Padahal gara-gara itu, saya jadi seperti pengamat dan sedikit peramal lho.. Kalau rasanya seperti ini, kayaknya anginnya nggak bagus deh atau mungkin awannya banyak kosong. Kalau begini, rasa-rasanya ini akan hard landing, jadi sudah siap-siap dulu. Kadang saya juga cross-check dengan pegawai maskapainya, terutama kalau di Semarang. “Anginnya kenceng ya Mas? Kok pesawatnya putar-putar dulu?”. Kebanyakan tebakan saya tepat.

Ada kalanya seperti yang pernah saya bilang, mata saya seringkali menjadi seperti mata ‘yuyu’ (kepiting), selalu basah. Kadang kita tahu kabar pesawat crash dan pilot yang menjadi korban adalah pilot yang ramah, tidak arogan, alim dan nggak macam-macam. Tahu kan, kadang kelakuan oknum pilot seperti apa, rahasia umumlah, semuanya banyak yang tahu.

Ketika semuanya sudah melupakan bahkan mungkin maskapai penerbangan itu sendiri, saya masih teringat. Kata Papa, kamu terlalu banyak mikir. Tapi kadang dalam kontemplasi saya, kenapa sih Tuhan begitu banyak mengambil orang yang baik, sementara orang yang asshole (I’m sorry with my language, saya tidak bisa menemukan istilah halus yang lain) malah masih berkeliaran saja di dunia ini. Mengapa bukan mereka saja? Tidak ada yang kehilangan mereka karena mereka tidak lebih dari a****** yang merugikan orang banyak, malah mungkin banyak yang bersyukur mereka telah hilang.

Tahu tidak, my friend, orang-orang inilah yang terkadang bahkan sering mengambil keuntungan dari kesengsaraan, derita orang lain. Orang yang humanis-relijius mengatakan karena Tuhan memberi kesempatan untuk mereka bertobat. Hah…? Berapa lama hingga mereka sadar, mereka telah merenggut kesempatan, harta, bahkan nyawa orang lain? Dengan itu, mereka mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang baik langsung maupun tidak langsung. Si humanis-relijius itu bilang lagi, “Tidak akan lama, Dear…mereka sama sekali tidak akan mendapatkan kedamaian dengan itu semua..”

Tahu tidak, my friend…Seperti kata Leo Tolstoy, “Tuhan Tahu tapi Ia Menunggu”. Menunggu apa…? Kata orang bijak dari Jawa, “Becik ketitik Ala Ketara”—artinya kebenaran dan kesalahan itu akan selalu terbukti. Dan karma akan menemukan jalannya sendiri. Semuanya itu ada takdirnya masing-masing…Begitu juga dengan kita. Kita memegang takdir kita masing-masing. Selalu saja harus ada proses untuk mematangkan jiwa kita dan untuk memahami bahwa Destiny is OursKita yang mempertanggungjawabkan…

Tidak ada komentar: