Masyarakat awam seringkali memberikan julukan atau label kepada orang-orang tertentu. Bahkan orang tua kepada anak-anaknya. Julukan atau panggilan seperti : anak pintar, anak rajin, anak bodoh sesuai dengan keadaan anak tersebut. Hal tersebut dinamakan labeling.
Seringkali orang-orang tersebut “sok tahu” dengan memberikan prediksi tentang orang lain, yang diberi julukan tersebut. Anak bungsu pasti manja, tidak dapat mandiri, begitu juga dengan anak tunggal. Anak sulung pasti anak yang bertanggungjawab, mandiri dsb. Anak tengah tidak terlalu diperhatikan jika tidak ada prestasi menonjol. Semua hal yang terjadi dikaitkan dengan label yang ada di dalam diri seseorang.
Saya senang dengan orang yang suka sewenang-wenang memprediksikan saya. Senang karena saya akan berusaha keras mematahkan anggapan mereka, prediksi mereka tentang saya, tentu saja yang bernada negatif dan tidak membangun.
Keangkuhan dan kesewenangan mereka memberikan charge tambahan energi positif buat saya untuk berbuat terbaik. Keberadaan saya sebagai putri tunggal seringkali menjadi “alasan empuk” bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan memiliki niat tertentu ketika mereka tidak berhasil mempengaruhi saya yang berkait dengan sesuatu yang mereka harapkan.
Ketika saya mendapat peluang untuk studi lanjut S3 karena mereka takut tersaingi, mereka membuat excuse “dasar anak tunggal, sombong, mau-maunya sendiri..” karena saya tidak mau menuruti mereka untuk membatalkan niat tulus saya. Alasan mereka banyak dan sewenang-wenang.
Kalau alasan mereka tulus, tentunya saya tidak akan keberatan, walaupun belum tentu peluang itu datang 2 kali. Tetapi ketika ternyata saya ketahui bahwa alasan itu banyak dibuat-buat dan mereka sendiri ternyata tidak mau mendelegasikan tugas (yang ternyata ada “uang di balik gimbal..”), kemudian memang ada unsur-unsur yang “tidak sehat”, iri, dengki, envy (bukan penis envy-nya Freud loh ya..), ya sudah..mulai pasang telinga kedap suara. Maksudnya supaya tidak cepat naik darah kalau-kalau difitnah macam-macam. Konsekuensinya ya seperti itu…
Ketika saya masih kecil, saya pernah diduga nanti akan tumbuh menjadi anak yang selalu canggung, tidak bisa mandiri dan sebagainya. Ketika sekolah saya (bahkan sampai sekarang, dapat tembus strata 3 di universitas terpandang di Indonesia, di kota besar metropolitan pula), banyak yang terbengong-bengong. “Ngga ngira saya..”, begitu selalu yang diucapkan.
Selalu ingat bahwa semua hal kembali lagi ke orang yang bersangkutan. Pribadi seseorang memang terbentuk mulai dari lahir tetapi pola asuh orang tua, pendidikan, lingkungan sosial dan pengalaman hidup akan lebih mempertajam pribadi orang tersebut menuju ke arah mana. Sekarang-sekarang ini, sangatlah laku pelatihan-pelatihan tentang EQ, SQ, ESQ, AQ, Quantum Ikhlas dan lain-lain. Ternyata inteligensi hanya menyumbang 20% dari keberhasilan seseorang. Lalu apakah yang 80% itu? Jawabannya banyak, ada yang bilang soal ketekunan, jejaring, semangat pantang menyerah dan sebagainya.
Ketika dulu saya sekolah, mulai SD-SMP rasa-rasanya ranking 5 besar itu selalu di tangan. Ketika SMA mulai agak goyah, saingannya banyak dan pandai-pandai disamping banyaknya mata pelajaran yang membuat kuwalahan. Kuliah, seneng karena merupakan sesuatu yang baru, profesi lebih senang lagi karena praktek melulu. S2 mulai di Jakarta, adaptasi dan lain-lain membuat tantangan semakin tajam lagi. Hasil-hasil semua kuliah, profesi dan S2 (begitu juga S3 sekarang) lumayan, walaupun tidak cemerlang banget.
Sikap nekad dan keukeuh saya yang paling dominan. Mungkin pula, darah sanguinis alias darah Minang saya membuat saya “keras kepala” dan “keras hati” dalam menghadapi segala rintangan dan riak-riak kehidupan. Tentu saja nekad yang positif dan tidak menghalalkan segala cara. Dan terutama adalah tidak mengambil yang bukan milik kita, bukan jatah kita.
Ibaratnya tidak bisa jalan, ya merangkak, tidak bisa merangkak ya ngesot… Ketika berkali-kali diguncang hambatan baik yang sebesar pasir maupun sebesar batu kali, saya berusaha untuk tidak berhenti atau bahkan mundur. Tetap harus jalan walaupun jalannya hanya sedikit atau bahkan harus berjingkat-jingkat ataupun yang terparah, tetap berjalan walau terpincang-pincang.
Hal yang buruk yang dapat terjadi karena proses labeling adalah ketika sebenarnya orang yang sudah dilabel berbuat baik tetapi tetap diberikan label negatif sehingga akhirnya dia benar-benar berbuat yang negatif seperti yang dituduhkan. Seringkali pula orang dengan label baik, sekali saja dia lengah dan khilaf, berbuat kesalahan seolah-olah dia berbuat salah yang sangat besar dan tak ada baik-baiknya sama sekali.
Memang benar pepatah Indonesia yang berkata, “Karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga..”. Labelling terutama yang negatif, untuk amannya janganlah digunakan karena hal itu akan membekas dan bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Label yang positif dapat berfungsi sebagai pembangkit motivasi supaya tetap terpelihara dengan baik tetapi jangan sekali-kali menganggap bahwa manusia itu adalah malaikat, yang selalu benar dan tidak pernah salah.
Kasus seorang da’i kondang yang kemudian tenggelam karena kasus poligami. Tidak ada orang yang punya salah atau kekurangan. Hal manusiawi tetapi karena ini menyangkut figur masyarakat yang dalam setiap sisi kehidupannya selalu ditiru dan dikagumi, maka menjadi perbincangan hangat dan menjadi pro-kontra.
Maka, tidaklah wajar ketika orang tersebut bilang, silahkan saja mencari figur lain untuk diteladani atau dikagumi. Hal itu sangat tidak dapat diterima, kecuali ketika orang itu sudah tidak lagi dalam posisi “yang menyuruh-nyuruh” masyarakat pemerhatinya untuk berbuat. Arti lugasnya ya jangan lagi jadi public figure, apalagi seorang pemuka agama yang oleh masyarakat sudah terlanjur distempel sebagai orang yang “lebih” dibandingkan dengan orang kebanyakan.
Labelling yang terjadi pada tokoh tersebut telah berubah dari positif ke negatif. Apapun yang dia perbuat, publik tetap tidak dapat lupa tentang tindakannya yang “melukai” hati publik tersebut. Dan yang sangat disayangkan adalah hal tersebut berbuntut dengan semua usaha yang dia rintis dan melibatkan penghidupan orang banyak. Sangatlah disayangkan, karena perbuatan (atau kesalahan, tergantung apa persepsi orang tentang poligami) seseorang, berpuluh-puluh penghidupan orang lain menjadi taruhan. Hanya gara-gara labeling. Jika saja, orang mau berpikir panjang …Makanya mungkin didalam Al-Qur’an,ada disebut..maka beruntunglah kaum yang mau berpikir…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar