Rabu, 29 Oktober 2008

I LOVE THE BLUE OF INDONESIA

I love the blue of Indonesia…you can taste it everywhere…Bagaimana perasaan anda tentang Indonesia? Bagaimana anda memandangnya? Kalau anda tanya pada saya, tentu akan saya jawab, “berjuta rasanya”, takjub, bangga, sedih, prihatin, sayang, cinta…dan lain-lain bercampur aduk menjadi satu. Kalau anda berkesempatan menjelajahi wilayahnya seperti pengalaman saya bersama suami tercinta, mungkin anda akan merasa sama.

Ketika saya SD, sekitar tahun 80-an, saya selalu antusias dengan yang namanya pelajaran ilmu bumi, bahkan tanpa bermaksud menyombongkan diri, I’m good on it..Peta buta…Ketika yang lain pada gemetaran disuruh maju oleh ibu guru, saya justru menikmatinya. Saya hafal seluruh lekuk Indonesia, tanpa berpikir bahwa someday…20 tahun kemudian, saya berkesempatan menyusuri setiap lekuknya.

Walaupun belum sepenuhnya, tapi bisa dibilang hampir seluruh ibukota propinsi kami pernah menjelahinya. Kota-kota atau daerah penghasil hasil bumi, pertanian, dulu saya sangat hafal. Tetapi ternyata ketika ada lomba bidang studi, saya malah dipilih untuk bidang studi IPA. Yang IPS malah jatuh ke teman saya, yang memang “musuh bebuyutan” untuk bidang studi tersebut. Ternyata ada yang lebih jago daripada saya. Waktu itu di IPA, saya dapat juara 2.

Cinta saya pada Indonesia seperti cinta saya kepada kedua orang tua saya, keluarga saya…Mungkin Papa saya berperan besar dalam hal ini. Beliau sering bercerita tentang bagaimana perjuangan kakek-kakek leluhur kami memperjuangkan kemerde kaan. Bagaimana semua tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa taruhannya. Ketika slogan “merdeka atau mati” bukan hanya kata-kata kosong.

Papa saya juga memiliki andil besar dengan tumbuhnya rasa nasionalisme saya dengan sering mengajak saya ke pertandingan-pertandingan olahraga besar yang waktu itu diperhelatkan di Semarang. Bulutangkis, sepakbola, bridge, tenis dan lain-lain. Di saat anak-anak lain berkutat dengan dunianya sendiri, saya justru malah akrab dengan sensasi kegairahan nasionalisme bangsa. Nama-nama seperti Tintus Arianto Wibowo, Suzanna Anggarkusuma, Ferdy Waluyan, Denny Sakul, Rudy Gunawan, Eddy Hartono, Bobby Ertanto, Wailan Walalangi, Ricky Yakob. Anda tahu nama-nama itu?

Pasti anda lebih kenal jika saya sebut Susy Susanti, Taufik Hidayat, Yayuk Basuki yang lebih fenomenal. Dulu saya masih ingat ketika Piala Thomas di Malaysia, ketika partai ganda putra Indonesia, Eddy Hartono (Kempong)/Rudy Gunawan melawan ganda Malaysia, Razif Sidek/Jaelani Sidek. Ketika sedang ramai-ramainya partai itu, poin-poin genting, beberapa kali Indonesia dicurangi Malaysia. Saya sampai menangis dibuatnya, gregetan, jengkel. Papa sampai heran kok saya sampai dibawa perasaan. Ya iyalah…rasanya bangsa ini dipermainkan..Kalau mereka bertanding, kami tidak pernah absen menonton.

Tidak hanya itu, Papa juga sering bercerita tentang jenderal-jenderal hebat Indonesia yang berjuang demi kejayaan bangsa dan negara. Makanya, walaupun kami bukan keluarga militer, tetapi kami memiliki respek terhadap mereka. Di saat yang lain latah menisbikan soal itu (saat HAM mulai naik daun), kami tidak pernah sekalipun ragu akan kebenaran. Bukan berarti membabi-buta tetapi bagaimanapun juga selalu ada 2 sisi mata uang dan selalu saja ada oknum. Tidak berarti semuanya lalu menjadi salah. There’s always a reason and there’s always a hero..

Ketika saya dan suami menjelajah Indonesia, kami menemukan bahwa negara kita ini sangatlah kaya, sangat besar, begitu juga potensinya. Anda tahu di Jawa itu ada berapa suku? Bahkan di Jawa Tengah sendiri ada berapa suku? Antara yang pesisir dengan yang di bukan pesisir saja sudah banyak berbeda. Itu aja hanya satu wilayah kecil dari Indonesia. Negeri kita sangatlah kaya, bahkan semestinya kita “menghidupi” kebutuhan kita sendiri tanpa tergantung dengan bangsa lain.

Coba anda bayangkan, Bengkulu saja yang berada di pojok barat Indonesia, jarang sebagai tempat persinggahan, selalu menjadi korban bencana, entah itu gempa, tsunami dan lain-lain, tidak kami kira ketika kami lihat di sana, orang-orangnya sangat bersemangat, sangat friendly. Yang punya usaha kain basurek, tabot bengkulu, kerajinan lantung dan lain-lain semuanya tampak semangat. Mereka menghasilkan barang selain untuk orang luar juga dipakai oleh mereka sendiri. Sekarang ini, tambah ramai dengan dibangunnya bandara Fatmawati dan masuknya beberapa maskapai nasional ke Bengkulu.

Belum lagi anda lihat di Kupang. Pasti anda hanya bayangkan kotanya sepi, di pojok selatan agak ke timur Indonesia, panas dan tandus. Tapi anda coba buktikan dengan menghampiri kota itu. Betapa mobilenya masyarakat di sana. Angkotnya sangat banyak dan beragam, didandani dengan trendy sekali. Sound systemnya canggih bahkan sopir dan kernetnyapun tidak kalah trendy. Makanannya yang berupa sei daging sangat yummy, ramai orang beli. Belum lagi titi jagungnya yang crunchy, tidak kalah dengan tortilla Mexico. Terus kain tenunnya yang sangat banyak macamnya, ada yang khas So’e (Timor Tengah Selatan), Belu, Kefamenanu (Timor Tengah Utara), Sumba Timur (Waingapu), Sumba Barat (Waikabubak), Flores Timur, Maumere, Bajawa, Ngada dan lain-lain. Saya punya beberapa koleksinya tetapi tidak banyak karena harganya mahal…Patung Timor yang eksotis, sasando dari Rote-Ndao berikut topi dan tempat airnya.

Mana lagi yang anda tanyakan pada saya? Gorontalo..propinsi yang masih relatif baru ini popularitasnya menjulang berkat kiprah gubernurnya yang dulu terkenal sebagai pengusaha besar, Dr.Ir.Fadel Muhammad. Lulusan ITB Sipil dan doktor dari UGM yang mengeluarkan buku tentang kebijakannya dalam membangun Gorontalo yang tercermin dari desertasi doktoralnya. Penghasil jagung terbesar dan mencoba membangun propinsi seperti Aceh tetapi di Sulawesi (gerbang timur Indonesia) dengan masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam. Pia kerawangnya sangat lezat, berbeda rasa dengan bakpia Pathok Jogya, pia Semarang atau Surabaya. Tenun Kerawangnya juga sangat elegan.

Palu di Sulawesi Tengah yang karena tetangga kabupatennya (yang kenyataannya jaraknya sangat jauh) Poso pernah “berkobar” membuat keberadaannya juga dijauhi. Ketika saya dan suami pergi ke sana, banyak yang membelalakkan mata. Mengapa di sana? Apa tidak bahaya? Faktanya, di Palu saat weekend sangatlah sulit mencari hotel. Padahal hotel yang ada sangat banyak. Tetapi kami malah dibantu “stranger” hingga dapat penginapan di mess Kabupaten Poso. Pemandangan lautnya sangat indah. Makanan khasnya kaledo di beberapa restoran selalu saja habis. Bayangkan betapa ramainya kota itu terutama di malam hari. Angkotnyapun selalu available hingga malam. Nggak terbayang kan kerusuhan Poso di Palu. Pasti kotanya langsung jadi kota mati, sepi.

Belum lagi anda berkunjung ke Medan, Palembang, Makasar, Manado, Pekanbaru, Padang dan lainnya yang relatif lebih besar dan lebih dikenal. Belitung baru dilirik ketika Laskar Pelanginya Andrea Hirata “meledak”. Kami sudah kesana sebelumnya. Berbeda dengan Pangkalpinang di Bangka, Tanjung Pandan sangatlah sepi. Traffic lightnya hanya satu. Tetapi keberadaan pasar sangat menghidupkan suasana kota. Masakan gangan (ikan kuah asam) khas Belitung, terasinya dan kerupuk ikannya sangat menggoyang lidah. Batu satam merupakan oleh-oleh yang hanya bisa anda jumpai di Belitung. Batu tersebut bisa dipakai sebagai perhiasan dan hiasan di tongkat komando. Pantainya sangat unik seperti di pulau Bangka berhiaskan batu granit yang besar-besar.

Kita semestinya membangun negara ini dengan kekuatan sendiri. Makanya sangatlah tepat ketika Time menganugerahkan “The Most Dangerous Man” pada Adi Sasono (mantan Menkop). Beliau sangat berdedikasi pada perekonomian rakyat kecil. Rakyat kecil diajari cara berdikari, berusaha sendiri. Mereka diberikan kail, bukan ikan sehingga tidak ada bangsa pengemis, peminta-minta, mental terjajah. Memang benar yang dikatakan Tukul soal hati yang miskin. Bagaimanapun kayanya, tetap saja menjadi peminta-minta karena pada dasarnya selalu merasa kurang, selalu merasa miskin

Tidak ada komentar: