Belum lama ini pemerintah kota Semarang menyebarkan pamflet yang berjudul “Satu Anak Saja, Mengapa Tidak?” Sekilas, hal ini adalah ajakan untuk setiap keluarga mengikuti program keluarga berencana yang dahulu disertai ajakan untuk memiliki anak maksimal hanya 2 orang saja. Setelah ditelusuri lebih lanjut, alasan untuk memiliki anak hanya seorang atau yang lazim disebut tunggal bukannya tanpa alasan yang kuat. Melihat perkembangan situasi dan kondisi di negara kita yang belum lagi bangkit karena krisis moneter dan segala macam permasalahannya termasuk juga teror bom yang meluluhlantakkan kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter yang menyebabkan. segala macam kebutuhan yang harus dipenuhi menjadi serba mahal, bukan hanya segala macam kebutuhan materi atau fisik saja tapi juga kebutuhan psikis dan mental seseorang yang telah lama terkikis oleh dunia yang mayoritas dikuasai oleh kaum hedonis.
Kebutuhan seorang anak dan fakta-fakta yang banyak terjadi
Kebutuhan seorang anak bukan hanya apakah dia telah makan saja tapi juga perlu diingat apa yang dimakannya, apakah benar-benar telah memenuhi gizi yang dibutuhkan seorang anak sesuai tingkat umurnya Melihat realita yang ada sekarang, banyak anak yang tidak lagi mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dengan dalih masalah ekonomi. Apakah mereka telah terpenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian dan rumah tempat mereka berlindung? Apakah mereka telah merasa aman secara fisik dan psikis?
Bagaimana mengenai pendidikan mereka, apakah mereka telah mendapatkan pendidikan standar yang mereka butuhkan sebagai bekal untuk meniti hidup? Apakah para orang tua telah cukup memberikan perhatian mereka untuk kebutuhan sang anak? Mengapa sekarang semakin banyak anak-anak yang menjadi pengemis di jalan-jalan, gelandangan, pengamen, bahkan tidak jarang diantara mereka menjadi penjahat yang mau menghilangkan nyawa orang yang tidak berdosa hanya gara-gara uang seribu rupiah? Sementara anak-anak perempuan tanpa malu-malu menjajakan dirinya di jalan-jalan bahkan menerima ajakan kencan seorang pria paruh baya yang lebih pantas sebagai ayah atau bahkan kakek mereka? Bagaimana tanggung jawab dan peran orang tua tentang hal ini? Apakah mereka hanya menyalahkan nasib yang tidak berpihak pada mereka, masalah ekonomi yang selalu menjadi alasan utama?
Apakah mereka tidak memiliki perencanaan sama sekali ketika pertama kali memasuki mahligai rumah tangga, mengenai gambaran suatu keluarga yang ideal tidak hanya secara materi tapi juga secara spirituil, apakah mereka hanya berpikir mengenai memiliki anak saja, setelah itu urusan nanti, kalau perlu sudah menjadi tanggung jawab sang anak untuk mencari penghidupan sendiri. Hal ini masih lebih dapat diterima jika jumlah anak yang ada tidak banyak. Hanya yang jadi masalah, biasanya keluarga yang kondisinya seperti itu adalah keluarga dengan jumlah anak banyak.Mereka kebanyakan masih mengadopsi prinsip lama yaitu banyak anak banyak rejeki. Bahkan jika mereka hanya memiliki sedikit anak, malah dianggap suatu hal yang aneh apalagi memiliki anak tunggal. Dengan bekal latar belakang pendidikan yang rendah, mereka hanya melihat dunia hanya dengan satu visi saja, berpikir bagaimana hidup untuk memenuhi kebutuhan saja, dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, pekerjaan yang tidak tetap dan menjamin untuk hidup dengan layak, telah membuat mereka berpikir bahwa sudah bersyukur jika hari ini ada yang akan dimakan. Mereka bahkan tidak sempat berpikir lagi mengenai kualitas hidup yang layak atau baik.
Melihat jauh ke depan, tidaklah mengherankan jika kualitas sumber daya manusia Indonesia telah jauh terpuruk, bahkan dengan sesama negara berkembang yang pada jaman dulu belajar di negara kita. Tidaklah mengherankan, untuk ukuran negara kecil, Singapura, negara tetangga seberang pulau Indonesia menetapkan peraturan bahwa seorang ibu yang mempunyai pendidikan setingkat SMU di Indonesia, hanya boleh memiliki anak seorang saja sementara seorang ibu yang setingkat sarjana boleh memiliki 2 orang anak, jika setingkat S2 boleh mempunyai 3 orang anak, dan setingkat S3 boleh memiliki lebih dari 3 orang anak. Mereka berpendapat seorang anak yang lahir dari ibu yang berpendidikan tinggi tentunya memiliki kualitas yang tidak jauh dengan orang tuanya. Memang terdenganr ekstrim, tetapi kalau kita telaah secara tenang dan rasional, hal ini adalah suatu usaha antisipasi yang baik dan mungkin patut ditiru oleh Indonesia. Seorang anak yang berpotensi dan memiliki kesempatan untuk mewujudkan potensi tersebut dengan dukungan orang tua baik secara materi dan spirituil akan tumbuh menjadi suatu aset bangsa yang berkualitas dan terhindar dari dampak jelek yang menyebabkan mereka hanya menjadi sampah masyarakat.
Di negara Cina (RRC) sudah terlebih dahulu mensosialisasikan keluarga berencana dengan satu anak saja mengingat mereka menduduki tempat tertinggi negara berpenduduk terpadat di dunia. Dulu bahkan setiap orang tua sesuai dengan kepercayaan dan tradisi mereka, hanya menginginkan seorang anak laki-laki sehingga jika mendapat anak perempuan, mereka merasa malu dan dibuang ke tempat penampungan atau rumah yatim piatu. Salah seorang tokoh olahraga Indonesia yang sering menjadi manajer tim olahraga Indonesia di luar negeri mengakui bahwa atlet olahraga dari RRC terutama atlet putri memiliki kemampuan dan tekad yang luar biasa sehingga mereka seringkali menjadi juara dunia. Tengok saja atlet bulutangkis, atletik, renang, loncat indah, panahan, menembak, bridge, catur, tenis meja, bola voli dan lain-lain. Prestasi mereka sangatlah dominan dibanding atlet negara lain. Prestasi mereka di Olimpiade bahkan jauh melampaui Amerika Serikat yang menjadi icon di beberapa hal atau bidang. Pemerintah mereka menjadikan olahraga sebagai mata pencaharian yang menggiurkan disamping bidang pekerjaan formal lainnya. Mereka merekrut anak-anak perempuan yang menjadi penghuni rumah yatim piatu untuk dijadikan atlet yang handal. Dengan kondisi psikologis merasa ditinggalkan dan tidak diakui oleh keluarganya membuat anak-anak di tempat penampungan tersebut menjadi terdorong dan termotivasi untuk berprestasi sehingga mereka merasa diakui keberadaannya dari orang yang terbuang menjadi seseorang yang berprestasi.
Ilustrasiy Sikap seorang anak laki-laki kami (2,5) aneh sekali sekarang, sejak adiknya lahir. Ia yang semula anak yang lincah dan periang, tak bisa diam. Setiap benda baru menarik perhatiannya, seakan tidak ada yang ditakuti. Kamilah yang takut ketika ia menarik ekor kucing atau naik ke kursi tinggi.
Setelah adiknya lahir, ia menjadi pemurung, cepat menangis dan cepat marah. Sekarang ia sering mengikuti saya ke mana-mana, lebih murung kalau saya menolong adiknya yang masih sangat kecil—baru beberapa minggu umurnya. Dia tidak rela memberikan tempat tidurnya buat adiknya, sampai menangis berkepanjangan.
Padahal kami sudah memberikan tempat tidur yang lebih besar dan bagus buat kakaknya. Padahal buat adiknya ini, persiapan kami jauh lebih sederhana daripada buat kakaknya, anak sulung kami. Kakaknya mendapatkan semua yang serba baru dan serba baik sedangkan adiknya banyak mendapatkan sisa-sisa dari kakaknya. Yang paling menyedihkan adalah ia minta adiknya dikembalikan saja ke dokter.
y Akhir-akhir ini kami sering terganggu dengan tingkah laku putri kami yang sering bentrok walaupun masalahnya sepele. Tindakan saya pada mereka adalah memarahi atau mencubit keduanya, tanpa mau tahu siapa yang salah karena saya berpikir mereka tidak dapat bertenggang rasa walaupun akhirnya saya menyesal. Banyak teman-teman mengatakan bahwa hal itu biasa dan tidak akan terjadi pada saat mereka dewasa nanti. Tetapi, saya tidak mau dan tidak percaya bahwa hal itu biasa.
Dari ilustrasi di atas dapat dilihat suatu kemiripan kasus mengenai perselisihan dan persaingan antara saudara kandung dalam suatu keluarga. Hal ini tentu saja tidak dapat diremehkan begitu saja. Banyak ahli menyimpulkan bahwa inti antara pertengkaran dan ketegangan antar saudara adalah untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya. Mereka ingin memiliki ayah bunda mereka secara eksklusif buat dirinya sendiri saja, sebab ibu dan ayah bagi anak yang bersangkutan adalah sumber kenikmatan mereka yang dapat memenuhi segala kebutuhan dan perasaan aman mereka. Makanan, minuman, rasa aman dan kehangatan kasih sayang orang tua.
Dalam teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow, ada beberapa kebutuhan yang sekaligus terpenuhi jika mereka memiliki orang tua untuk diri mereka sendiri yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan akan rasa aman. Dari kebutuhan-kebutuhan yang telah dicukupi itu dapat memacu untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Hal ini dapat menjadi positif jika dapat diarahkan dengan baik.
Mengenai kasus di atas, agar para orang tua dapat memahami dan menghayati bagaimana perasaan anak anda ketika mendapat adik baru, dua orang ahli perkembangan anak, Adele Faber dan Elaine Mazlish memberikan sejumlah sejumlah pertanyaan pada orang tua, antara lain :
Ø
Bagaimana jika suami anda datang bersama gadis mungil yang cantik. Sambil memeluk anda, ia berkata : “Sayangku, saya begitu cinta padamu sampai memutuskan untuk mengambil istri baru, yang saya cintai seperti kamu. Apa reaksi anda?
Ø
Para tetangga anda dan teman suami menjenguk istri muda yang jelita itu sambil memuji, “Aduh manisnya…”, “Wow cantik sekali… “. Tak lupa mereka menyodorkan aneka bingkisan yang bagus-bagus buat istri muda itu. Ketika mereka melihat anda, mereka hanya menegur sambil lalu saja tanpa memberikan hadiah yang kecil sekalipun. Bagaimana perasaan anda?
Ø
Si istri muda membutuhkan pakaian dan tempat tidur, lalu suami anda mengambil baju-baju, tempat tidur dan selimut anda sambil berkomentar, “Kamu sudah terlalu gemuk, baju-baju yang sempit bagimu itu pas betul buat istri muda yang badannya masih mungil”. Apa reaksi anda?
Kira-kira begitulah perasaan anak ketika menerima kedatangan adik baru di mana tempatnya akan digeser oleh orang lain. Itulah yang membuat si anak yang lincah dan periang itu kemudian menjadi anak yang pendiam, pemurung, tidak bergairah untuk bermain dan merasa tidak berdaya. Pada saat awal inilah merupakan titik kritis pada kehidupan sang anak. Bukan tidak mungkin hal tersebut terbawa hingga sang anak dewasa. Banyak kasus di sekitar kita, di mana menyimpan bara yang sewaktu-waktu hal tersebut menjadi meledak.
Sibling RivalryPersaingan untuk “merebut” kasih sayang orang tua seringkali hadir dalam keluarga. Sejak kehadiran adik pertama dapat terus berlangsung sampai dewasa. Aneka ragam bentuknya, dari pertengkaran kecil-kecilan untuk menarik perhatian orang tua, saling menjatuhkan, sampai bersaing dalam kebaikan. Jika persaingan dan perselisihan anak-anak sering diatasi dengan cubitan dan marah-marah, akan sukar mengharapkan anak-anak menjadi aman dan damai. Bahkan, mereka menjadi tambah mahir marah-marahnya dan dapat pula saling menyakiti.
Persaingan antar saudara kandung yang lazim disebut dengan istilah
Sibling Rivalry ini sering terlihat pada anak-anak maupun mereka yang sudah dewasa. Persaingan ini ada yang dapat memotivasi untuk menjadi lebih baik atau ke arah yang positif tapi ada pula yang berkembang menjadi persaingan yang tidak sehat dan saling menjatuhkan satu sama lain. Bahkan jika anak-anak dalam satu keluarga ini lebih dari 3 orang, kadang-kadang ada 2 kubu yang saling berlawanan dalam keluarga tersebut. Persaingan tersebut jika pada masa kecil tersebut sangat tajam terkadang ketika sudah dewasa akan terbawa pula. Jika orang tua bertindak kurang bijaksana atau memihak salah satu anak dibanding yang lain maka hal ini menggoreskan luka dalam hati anak yang bersangkutan dan luka ini akan dibawanya sepanjang hidupnya. Jika si anak tidak kuat mentalnya, bukan tidak mungkin hal ini menjadi suatu “penyakit” atau kelainan mental.
Sibling Rivalry yang paling menonjol terlihat adalah pada Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia dan adiknya, Rachmawati Soekarnoputri. Terlihat di layar televisi bagaimana si adik selalu saja mengkritik dan memojokkan kakaknya. Hal tersebut bukan lagi menjadi suatu kritik yang membangun tetapi lebih mengarah pada adanya perasaan iri, dengki pada sang kakak. Mungkin kecemburuan itu sudah ada sejak mereka masih kecil. Posisi Rachma sebagai anak tengah di bawah bayang-bayang Mega, merasa mungkin selalu dikalahkan oleh Mega yang statusnya lebih tua sehingga merasa tidak mempunyai arti dan kurang diakui keberadaan dirinya. Hal ini berlangsung terus menerus hingga mereka tumbuh dewasa dimana Mega kemudian dari seorang ibu rumah tangga biasa karena keadaan, menjadi seorang pemimpin partai yang berpengaruh dan disegani banyak kalangan. Keadaan ini semakin memperuncing kecemburuan sang adik yang kemudian mengikuti jejaknya dan selalu berkonsolidasi dengan orang-orang dan kalangan yang tidak setuju dengan pemerintahan Mega.
Sibling Rivalry yang tidak muncul ke permukaan lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Kasus Sibling Rivalry yang sangat ekstrim bahkan dapat membuat si anak kemudian berkembang menjadi seseorang yang memiliki kelainan seperti seorang psikopat dimana orang tersebut dapat membunuh seorang ibu atau seorang ayah yang telah memarahi anaknya karena anak tersebut secara tidak sengaja menyebabkan adiknya jatuh atau terluka. Itu adalah kasus yang sangat ekstrim tapi bisa saja terjadi dan bahkan sudah terjadi di dunia barat yang kontrol sosialnya lebih lemah daripada di dunia timur. Kasus-kasus yang lain adalah seseorang yang sangat depresif, sangat tertutup, yang selalu minder, kurang percaya diri karena pada saat dia masih anak-anak sampai dia dewasa selalu dibanding-bandingkan dengan kakak-kakaknya oleh orang tuanya atau bahkan oleh orang luar sekalipun. Dia selalu menjadi bayang-bayang dari kakaknya, tidak pernah “terlihat” oleh orang lain bahkan sama sekali tidak mendapatkan penghargaan dari orang tua maupun keluarganya bahkan untuk sebuah pujian sekalipun. Tentunya kita pernah melihat atau merasakan adanya Sibling Rivalry di sekitar kita atau yang terjadi pada orang-orang di sekitar kita. Orang-orang sering melihat hal itu sebagai suatu hal yang biasa, normal-normal saja dan hal itu akan hilang, lenyap seiring dengan perjalanan waktu. Tapi untuk beberapa kasus tertentu hal itu tidak semudah halnya membalik telapak tangan, sangat membutuhkan perhatian yang khusus. Apalagi jika terjadi dimana kontrol sosial dari masyarakat agak longgar dimana segala macam hal dapat dan boleh terjadi.
Benih-benih Sibling Rivalry menyebabkan ekses yang tidak sesederhana tampaknya. Ada beberapa kasus di ibukota yang kemudian mendapat penanganan dari psikolog atau tenaga ahli lain tapi jauh lebih banyak yang tidak terdeteksi dan kemudian meletus begitu saja.
Sibling Rivalry dapat menorehkan luka yang paling dalam di lubuk hati seseorang, apalagi jika orang tersebut introvet, tertutup; semua kejengkelan, kemarahan akan tersimpan begitu saja di hati tapi pada suatu saat tertentu bila kebetulan ada pemicu yang tepat, tekanan tersebut dapat menjadi suatu ledakan kemarahan yang hebat dan bahkan tidak terpikirkan sebelumnya dan seseorang tersebut dapat berubah menjadi bentuk yang tidak terperikan. Seperti ibarat : semutpun jika diinjak akan menggigit. Akibat Sibling Rivalry yang tidak berkesudahan menjadikan hal yang sebelumnya biasa-biasa saja, normal-normal saja menjadi suatu hal yang luar biasa, tidak terpikirkan sebelumnya.
Sibling Rivalry terjadi pada anak-anak yang jarak usianya tidak terlampau jauh sehingga ada benarnya jika ada anjuran untuk memberikan adik kepada si sulung setelah si sulung berumur 5 tahun. Hal ini untuk memberikan peluang yang lebih besar untuk anak sulung meraih kasih sayang yang dia perlukan dari kedua orang tuanya, selain itu juga untuk memberikan pengertian yang cukup tentang seorang adik yang nantinya akan hadir dan selalu mengisi hidupnya kelak. Jadi, semestinya orang tua memahami kondisi psikis seorang anak sebelum memutuskan untuk memberikan seorang adik baru bagi anak tersebut.
Memiliki seorang anak mempunyai kaitan yang cukup signifikan dengan mencegah akibat buruk dari
Sibling Rivalry. Dengan memutuskan untuk memiliki seorang anak, orang tua mempunyai kesempatan lebih besar untuk mencurahkan perhatian pada si anak baik secara fisik maupun psikis. Mereka juga dapat merencanakan dan memberikan pendidikan yang maksimal pada si anak. Seorang anak juga akan merasakan bahwa dia amat dihargai oleh orang tuanya dan selalu didukung untuk tumbuh berkembang secara maksimal. Jika masing-masing orang tua telah tertanam suatu pengertian mengenai psikologi anak untuk menghindari adanya
Sibling Rivalry maka anak-anak tersebut akan tumbuh secara maksimal sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Jika kemudian seorang keluarga dengan ayah dan ibu seorang yang berpendidikan tinggi memiliki satu orang anak, maka satu orang anak ini akan dididik dan dibina dengan kondisi finansial dan kasih sayang yang cukup sehingga sampai berhasil. Jika model ini ditiru oleh keluarga lain akan memberikan efek bola salju yang pada akhirnya tercipta suatu aset bangsa yang berkualitas dan bermutu secara fisik dan psikologis. Apabila aset-aset bangsa tersebut bergabung dan saling bekerjasama maka akan tercipta suatu negara yang kuat. Makna pendidikan bagi anak-anak tidaklah semata-mata menyekolahkan anak tersebut ke sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Seorang anak akan tumbuh kembang dengan baik manakala ia memperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif) agar ia kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Anak yang demikian ini adalah anak yang sehat dalam arti luas yaitu sehat fisik, mental emosional, mental intelektual, mental sosial, dan mental spiritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin di rumah maupun di luar rumah, formal di institusi pendidikan dan non formal dalam masyarakat.
Anak-anak dalam keluarga memiliki dan menempati kedudukan yang khas dan pada umumnya menunjukkan tipe-tipe yang khas pula dalam keluarga bila dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Kedudukan yang khas ini mempunyai konsekuensi tersendiri bagi anak tersebut. Anak akan memiliki suatu tugas perkembangan maupun tugas dari keluarga yang lain dari anak-anak lain (bahkan saudara-saudaranya sendiri). Pengaruh adanya urutan dalam keluarga pada anak secara langsung maupun tidak langsung akan membawanya pada peran mereka masing-masing di dalam keluarga, lingkungan masyarakat, maupun dalam lingkungan sekolah. Biasanya konsekuensi tersebut dapat berupa peran mereka di dalam sekolah, prestasi akademik mereka di sekolah maupun hubungan sosial mereka terhadap lingkungan dan teman-temannya.
Pada anak-anak, suatu prestasi sekolah menjadi penting karena di sini merupakan salah satu aktualisasi diri mereka dalam masyarakat (dalam hal ini adalah masyarakat sekolah dan keluarga) dan merupakan pembuktian mereka terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain bahwa “mereka bisa”, mereka juga bisa menjawab tantangan yang diberikan pada mereka.
Dalam keluarga, anak-anak dengan kedudukan yang khas akan menunjukkan tipe-tipe yang khas pula sehingga memerlukan perlakuan tersendiri sehingga tidak merugikan anak itu sendiri.